SIPULUIK
Sipuluik adalah beras pulut atau beras ketan. Dulu dikampungku bila menanam padi di sawah, maka seperti wajib hukumnya sapiriang sawah atau satu petak kecil sawah ditanami dengan padi sipuluik ini disamping padi biasa lainnya. Tetapi sipuluik ini ada dua macam yaitu sipuluik biasa dan sipuluik itam atau ketan hitam. Sipuluik biasa ini kegunaan utamanya antara lain untuk membuat lomang alias lamang atau lemang. Disamping itu, sipuluik juga untuk membuat ketan bila musim durian tiba. Karena kampungku sangat terkenal dengan 'Durian Kubangnya', maka sudah menjadi tradisi pula bila makan durian itu dengan ketan atau sering disebut makan kotan duyan.
Sementara itu lomang atau lamang alias lemang adalah jenis makanan tradisional di minangkabau umumnya. Lomang juga terbuat dari sipuluik biasa yang dimasak dengan media tolang atau bambu talang. Yaitu sejenis bambu tipis sebesar lengan orang dewasa. Bagian dalam tolang dibalut dulu dengan pucuk daun pisang batu (kepok) sebelum dimasukkan sipuluik. Kemudian sipuluik yang sudah dimasukkan kedalam tolang itu dimasak dengan santan kelapa yang sudah dicampur dengan berbagai bumbu-bumbu seperti garam, bawang merah, bawang putih dan kemiri yang sudah di giling halus. Kemudian tolang yang berisi sipuluik itu disenderkan berjejer di sebuah media lalu di sangai atau dipanaskan di bara api selama lebih kurang setengah hari sebelum akhirnya matang.
Tradisi malomang ini sudah ada sejak ratusan tajun lalu. Biasanya lomang ini dibuat jika ada acara-acara seperti alek (syukuran) nagari atau jorong (dusun). Tetapi selain itu khusus di kampungku yaitu di nagari Kubang Sawahlunto Sumatra Barat, malomang atau membuat lomang ini sudah mentradisi pula dalam rangka menyambut setiap Hari Raya Idul Fitri. Dulu hampir di setiap rumah akan membuat lomang bila Idul Fitri datang. Biasanya lomang dibuat pada hari terakhir puasa Ramadhan. Ya, hari terakhir puasa Ramadhan. Maka pada hari terakhir puasa Ramadhan itu, hampir di setiap halaman rumah penduduk akan mengepul asap karena mereka sedang malomang. Apalagi bila mendapat kabar ada keluarga yang akan pulang dari perantauan, maka biasanya wajib hukumnya malomang. Setidaknya lomang dibuat dengan cara dititip di saudara atau tetangga yang melakukan tradisi malomang ini.
Sekarang tradisi malomang di nagari Kubang Sawahlunto ini tampaknya sudah mulai tergerus zaman. Bila ditelisik penyebabnya lebih jauh mungkin karena beberapa hal. Diantaranya karena sawah-sawah umumnya sudah beralih fungsi menjadi pemukiman atau kebun. Kecuali di beberapa tempat di Desa Kubang Tangah seperti di daerah Sionsek dll. Disini umumnya sawah masih menjalankan fungsinya sebagai sawah. Tetapi ada banyak pula sawah-sawah yang sudah ditinggal merantau oleh pemiliknya karena ingin memperbaiki kehidupan.
Masalah lainnya adalah karena 'bersawah' itu sudah tidak ekonomis lagi karena lahannya tak bertambah sementara pemiliknya terus bertambah banyak seiring perjalanan waktu. Karena sawah-sawah itu umumnya adalah pusako tinggi yaitu sawah yang sudah menjadi milik sebuah keluarga besar atau kaum. Kadang sebuah keluarga perlu menunggu bertahun-tahun baru mendapat giliran bersawah dari kaumnya. Keadaan ini tentu saja rawan terhadap konflik keluarga. Hal ini kerap menimbulkan frustrasi lalu akhirnya memilih merantau untuk menghindari konflik. Mungkin sejak itulah tradisi 'menanam padi plus sipuluik' di sawah hampir sudah tak ada lagi. Ini banyak sedikitnya tentu berpengaruh terhadap tradisi malomang dalam rangka menyambut lebaran.
Hari ini kemungkinan adalah hari terakhir Ramadhan 1444 H. Kenangan indah waktu malomang di kampung halaman bersama keluarga dan sanak family kembali mengusik jiwaku. Jejak-jejak kenagan itu selalu datang di setiap Ramadhan terakhir selama puluhan tahun hidup di rantau. Jejak-jejak yang tak mungkin akan bisa ditapaki lagi...
Wallahu a'lam bissawab ***.
Taqabbalallahu minna waminkun .... Selamat Hari Raya Idul Fitri 1444 H Mohon Maaf Lahir & Bathin
Komentar
Posting Komentar