OCMHS: Membangun Citra Ditengah Defisit
Tak terasa sudah lima tahun OCMHS (Ombilin Coal Mining Heritage of Sawahlunto) diakui oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia. Di kukuhkan pada Juli 2019 di Azerbaijan. Sebuah perjalanan panjang dan melelahkan telah dilakukan oleh Pemda Kota Sawahlunto dari bergai periode kepemimpinan sampai akhirnya pengakuan dunia itu datang. Tentu kita pantas memberikan apresiasi atas capaian ini karena ditengah terpuruknya pertumbuhan ekonomi Kota Sawahlunto, maka pengakuan OCMHS oleh UNESCO sebagai Warisan Budaya Dunia telah menjadi sebuah harapan baru.
Berbagai upaya juga telah dilakukan oleh Kota Sawahlunto untuk menyambut pengakuan dunia itu agar menjadi manfaat. Pemda bersama masyarakat telah menyelamatkan dan merevitalisasi aset-aset tambang batubara tertua di Indonesia itu sejak sebelum diakui menjadi Warisan Budaya Dunia UNESCO. Kemudian dibangun narasi agar situs-situs itu menjadi icon baru objek pariwisata. Sebut saja Lubang Tambang Mbah Suro, Gudang Ransum, Museum Kereta, Kantor Ombilin, Rumah Sakit Ombilin, Lubang Kalam, Cerobong Asap Central Elektrick dan lain-lain. Mungkin masih banyak situs yang belum mendapat perhatian maksimal. Membangun narasi menjadi sangat penting sebagai promosi karena hubungannya dengan realitas sejarah yang menjadi daya tarik tersendiri bagi pendatang.
Spirit dari OCMHS ini harus tetap di gelorakan baik oleh pemerintah maupun masyarakat. Tidak berhenti hanya sampai pada revitalisasi, pengakuan UNESCO dan membangun narasi-narasi semata. Tujuan akhirnya tentu adalah bagaimana OCMHS bisa menopang berbagai aspek kehidupan masyarakat Kota Sawahlunto pasca tambang. Tapi saat ini OCMHS belum berdampak signifikan terhadap kehidupan masyarakat Kota Sawahlunto. Bahkan ada timbul kekhawatiran di sebagian masyarakat, nasibnya akan layu sebelum berkembang.
Ada yang mengatakan bahwa ini akibat OCMHS sudah sejauh ini tapi masih belum punya sebuah Badan Pengelola. Konon disinalah rumitnya, karena Kota Sawahlunto tidak bisa berdiri sendiri untuk mewujudkan sebuah lembaga bernama Badan Pengelola karena sebagian kewenangannya ada di Pemerintah Pusat. Selain itu OCMHS meliputi tujuh daerah tingkat dua di Provinsi Sumatera Barat, yaitu semua daerah yang dilalui oleh jalur transportasi batubara (kereta api). Cakupannya lebih kurang 155 kilometer dari Sawahlunto sampai pelabuhan Emmahaven (Teluk Bayur) Padang.
Konon dari sekitar 50 situs OCMHS yang dilindungi, lebih dari tiga perempatnya berada di Kota Sawahlunto. Jadi tak bisa dipungkiri bahwa Sawahlunto adalah pusat epicentrum-nya. Karena itu tak ada jalan lain, Pemda dan masyarakat Kota Sawahlunto harus terus berdiri paling depan menggelorakan spirit OCMHS dan selalu menjadikan OCMHS ini sebagai sumber inspirasi dalam pembangunan. Kesulitan dalam membentuk sebuah badan pengelola biarlah waktu yang akan berbicara. Tetapi soal bagaimana cara agar OCMHS kembali menggeliat, seyogyanyalah Sawahlunto mencari solusinya sendiri. Pemda Kota Sawahlunto harus terus-menerus mengadakan evaluasi sampai ditemukan suatu cara agar warisan dunia ini menggeliat dan bisa mengangkat harkat dan martabat masyarakat Kota Sawahlunto.
Sebagai perantau, saya merasakan ada sesuatu yang perlu mendapat perhatian khusus dari semua pihak. Yaitu bagaimana caranya agar Sawahlunto bisa mempercantik dirinya terutama di sekitar pinggiran kota. Misalnya masalah ruas jalan dari Muarokalaban menuju pusat kota. Bisa jadi ini adalah salah satu permasalahan yang membuat calon pengunjung atau wisatawan kurang melirik Kota Sawahlunto. Ruas jalan utama menuju pusat kota ini tak berubah dari zaman dulu; sempit, berliku-liku dan sepi. Apalagi bila dilewati dimalam hari, terasa gelap dan mencekam. "Jalannya tak seperti jalan menuju pusat kota", kata anak saya ketika kami pulang kampung. Kelihatannya kurang representatif sebagai akses utama menuju sebuah Kota Warisan Dunia. Dulu sudah dibangun pintu gerbangnya di pertigaan Muarokalaban, tetapi ruas jalannya belum berubah dari zaman baheula. Sekarang pintu gerbang itu seakan telah mengisolasi Kota Sawahlunto menjadi bagaikan katak dalam tempurung. Sementara akses melalui jalur kereta api yang dulu jadi primadona sudah lama mati. Karena itu secara logika jalan raya yang jadi pintu gerbang utama Kota ini, "minimal" harus dua kali lipat lebih baik dari zaman dahulu. Bahkan harus berkali-kali lipat lebih baik dari zaman kejayaan Sawahlunto dulu, jika mau menebus semua ketertinggalan akibat penutupan tambang.
Kota Sawahlunto konon kabarnya mengalami defisit anggaran dari tahun ke tahun. Namun demikian pemimpin beserta jajarannya janganlah tersandra oleh defisit anggaran itu. Janganlah berhenti berimprovisasi dalam membangkitkan kembali citra Kota Tua ini. Ingat kata pepatah; gantungkanlah cita-citamu setinggi langit. Wujudkanlah cita-cita itu dengan terobosan inovasi-inovasi baru. Mulai dengan inovasi yang kecil-kecil untuk jangka pendek hingga gebrakan roadmap inovasi besar untuk pembangunan jangka panjang.
Sebagai warga masyarakat bolehlah kita bermimpi suatu saat nanti ruas jalan propinsi dari Muarokalaban menuju Pusat Kota yang hanya sepanjang 4 - 5 kilometer ini di perlebar, tidak terlalu berkelok-kelok dengan lampu penerangan yang mewah. Buatlah jalan ini seindah mungkin sebagaimana layaknya halaman depan sebuah rumah. Jika jalanan di lereng-lereng bukit yang berkelok itu bisa diperlebar dan dihubungkan oleh beberapa fly over, maka bukan hanya akan memperpendek waktu tempuh menuju pusat kota, tetapi sekaligus berpotensi menjadi icon baru objek wisata. Dari sana akan terlihat view perbukitan yang indah dan hamparan daerah Muarokalaban dibawahnya. Sementara itu di dasar lembah ada salah satu situs dunia yaitu Lubang Kalam sepanjang 835 meter yang dilindungi dunia (UNESCO). Kemudian di tempat-tempat tertentu di sepanjang jalan dibangun spot-spot indah yang Instagramable, area kuliner serta toko-toko yang menjual oleh-oleh dan merchandise khas Kota Sawahlunto. Pada akhirnya Kota Sawahlunto kembali menjadi daya tarik bagi siapapun yang melintas di Jalan Lintas Sumatra.
Untuk mewujudkan mimpi itu maka branding OCMHS ini bisa dijadikan sebagai posisi tawar baru bagi Kota Sawahlunto. Bisa dijadikan sebagai alasan atau landasan untuk mengajukan proposal ke Pemerintah Propinsi atau Pemerintah Pusat. Sekarang begitu banyak Kementrian di Kabinet Merah Putih sebagai tempat mengadu bagi OCMHS baik untuk memperbaiki infrastruktur maupun memacu pertumbuhan ekonomi dan lain-lain.
Branding OCMHS juga bisa dijadikan landasan dalam mengajukan proposal untuk menampung dana-dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari BUMN dan perusahaan-perusahaan swasta. Bukankah Sawahlunto punya BUMN yang dulu telah dia lahirkan, dia rawat dan dia besarkan. Dana-dana CSR ini bisa digunakan untuk bergai hal seperti infrastruktur, pendidikan, UMKN, ekonomi kreatif, membuat pilot projeck, mengadakan berbagai event untuk promosi dan lain-lain. Tujuannya semua untuk perbaikan taraf hidup masyarakat Kota Sawahlunto.
Di tengah hiruk-pikuk pilkada serentak November 2024 ini, semoga Kota Warisan Dunia ini mendapat solusi atas krisis anggaran dan krisis kepemimpinan saat ini. Sehingga akan terbersit secercah harapan untuk Era Baru Sawahlunto Maju. Semoga nanti terpilih pemimpin yang berkualitas, punya visi yang berani, inovatif dan punya akses kuat ke pusat kekuasaan. Itulah saatnya Sang Pemimpin Baru membuat roadmap pembangunan jangka panjang khususnya mengenai perencanaan infrastruktur di bagian selatan kota, sebagai pintu gerbang utama Kota Sawahlunto. Sehingga ditangan pemimpin baru nanti sudah tergambar akan dibawa kemana Sawahlunto empat - lima tahun mendatang. Disamping itu teruslah berinovasi ditengah defisit anggaran untuk menjalankan agenda-agenda jangka pendek.
Akhir kata, ada pepatah minang mengatakan: mancaliak tuah ka nan manang, maliek contoh ka nan sudah (mencontoh kepada yang berhasil). Dari sepuluh situs Warisan Dunia UNESCO di Indonesia, ada lima yang merupakan Warisan Budaya Dunia. OCMHS termasuk didalamnya. Selain itu ada beberapa situs Warisan Budaya Dunia UNESCO yang tersebar di seluruh dunia. Maka bolehlah situs-situs yang sudah lebih dahulu diakui sebagai Warisan Dunia UNESCO ini di jadikan tempat pembelajaran. Bagaimana mereka membangun citranya dan bagaimana mereka mengelola berbagai macam persoalannya. Bukan tak mungkin suatu saat nanti Kota Sawahlunto menjadi referensi bagi banyak orang dari berbagai bidang dan kepentingan yang pada akhirnya menghidupkan kembali aura Kota Tua ini. Wallahu a'lam bissawab***.
Lubang Kalam (terowongan kereta) di Kota Sawahlunto
Komentar
Posting Komentar