Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto
Bertahun-tahun lamanya terjadi gejolak di masyarakat nagari Kubang akibat ketidakpuasan mereka terhadap perlakuan Pemerintahan Kolonial Belanda atas tanah ulayat mereka di Sawahlunto. Tiba-tiba ada pula kebijakan belasting (pajak) yang sangat mencekik serta penerapan kerja rodi buat masyarakat adat nagari Kubang. Akibat akumulasi semua itu, timbul kemarahan yang sangat luar biasa di masyarakat adat nagari Kubang. Pemerintah Kolonial juga murka karena kebijakan-kebijakan mereka tak berjalan di nagari Kubang. Mereka menduga ada sebuah kekuatan yang menggerakkan perlawanan masyarakat itu. Pada akhir tahun 1907 Pemerintah Kolonial Belanda telah mencium adanya "gerakan bawah tanah" yang sedang dilakukan oleh masyarakat dalam menentang kebijakannya. Sejak itu serdadu Belanda mulai secara intens melakukan patroli sampai ke pelosok-pelosok nagari Kubang. Akhirnya pada akhir 1907 itu, Tuanku H. Khatib di tawan Belanda. Beliau ditangkap karena ketahuan membawa senjata tajam di Sawahkociak, Polak Datar, Kenagarian Kubang. Padahal waktu itu beliau baru pulang dari ladang. Sejak itu situasi di nagari Kubang semakin memanas.
Tuanku H. Khatib (1838-1915) adalah seorang ulama dan seorang pemimpin spiritual terpandang dari nagari Kubang. Tuanku H. Khatib mempunyai nama asli yaitu "H.Agah". Gelar Tuanku H.Khatib diberikan oleh masyarakat Kubang sejak beliau di tunjuk menjadi "khatib nagari". Waktu H. Agah atau Tuanku H. Khatib masih muda, beliau dikirim oleh ayahnya mendalamin ilmu agama kepada seorang ulama terpandang di Padang Gantiang, Tanah Datar. Disana beliau mendalami ilmu agama sampai berkeputusan (tamat), sehingga beliau dianugerahi pula gelar kehormatan oleh gurunya yaitu "Tuanku Nan Sholiah". Karena keilmuan beliau di bidang Agama akhirnya beliau tumbuh menjadi seorang ulama terpandang dari bagari Kubang.
Agah lahir di nagari Kubang (1838), dari seorang ibu bernama Sa'arah bersuku Dalimo Gadang. Sementara ayah beliau bernama Abdul Madjid berasal dari suku Supanjang, dari kaum Taratak Lawuik, nagari Kubang. Abdul Madjid dikenal juga dengan gelar Tuanku Dirawang, karena beliau adalah pewaris "Sawah Rawang" yang berlokasi di Pasar Remaja hingga ke Pasar Sawahlunto kini. Abdul Madjid atau Tuanku Dirawang adalah Lareh (Laras) pertama di Kelarasan Silungkang. Kelarasan Silungkang terdiri dari tiga nagari yaitu nagari Kubang, Lunto Dan Silungkang. Abdul Madjid tidak lama menjabat menjadi Laras. Beliau kemudian mengundurkan diri karena beliau tidak bisa baca tulis huruf latin. Tetapi alasan itu berkemungkinan hanyalah salah satu alasan saja dari banyak alasan yang lain. Sebab kelarasan seperti itu tak ada di dalam struktur adat di Minangkabau. Kelarasan itu adalah bentukan pemerintah kolonial sebagai perpanjangan tangan mereka dalam menancapkan kukunya di daerah kekuasaannya. Salah satu tugas pejabat di kelarasan adalah mengkoordinir penarikan belasting (pajak) dari masyarakat. Kemudian jabatan Laras Kelarasan Silingkang beliau serahkan kepada Djaar Sutan Pamuncak.
Rencana Perlawanan terhadap kolonial Belanda yang sudah lama dirancang itu, akhirnya dipercepat dari rencana semula karena Tuanku H. Khatib sudah di tawan Belanda. Perlawanan itu akhirnya dipimpin oleh seorang kerabat Tuanku H. Khatib dari Nagari Lunto bernama Tuanku Tempa. Tuanku Tempa adalah seorang ulama terpandang dan tokoh spiritual yang sangat disegani dari nagari Lunto. Beliau mempunyai banyak murid yang tersebar di berbagai nagari, sebagian murid-muridnya berasal dari nagari Kubang.
Dalam buku Abu Salfani "Perlawanan Rakyat Kubang dan Lunto... tahun 1908" menyebutkan bahwa Nama Asli Tuanku Tempa adalah Muin. Sementara Tuanku Tempa itu adalah gelar beliau. Dilahirkan di nagari Lunto tahun 1870, ayah beliau biasa dipanggil dengan Labai, berasal dari suku Kutianyir Kenagarian Lunto. Ibu beliau bernama Midah, dari suku Piliang Kenagarian Lunto. Beliau berdua bersaudara dimana saudara beliau adalah perempuan bernama Saudah.
Muin atau Tuanku Tempa terlahir dari keluarga yang taat menjalankan ajaran agama Islam. Karena itu diwaktu mudanya beliau di kirim oleh orang tuanya mendalami agama kepada seorang ulama terpandang dari Koto Anau Solok. Kemudian beliau berpindah-pindah mendalami agama dari satu ulama ke ulama yang lain di Cupak dan Batujanjang Kabupaten Solok. Akhirnya Tuanku Tempa menikah dengan seorang pemudi dari nagari Batujanjang kabupeten Solok. Istri beliau bernama Saudah, sama dengan nama saudara perempuan beliau di kampung. Disini beliau dikaruniai seorang putri bernama Sumiran. Beliau meninggal dunia 1936 dan dimakamkan di Batujanjang Solok. Namun pada tahun 1907 beliau pulang ke nagari Lunto lalu menetap agak lama sambil mengajar ilmu agama dan ilmu beladiri silat. Akhirnya beliau juga menikah di kampung halamannya di Lunto dengan seorang pemudi bernama Jinah. Lalu beliau di karuniai sepasang anak. Tapi yang masih hidup tahun 1970-an (diwaktu Abu Salfani melakukan risetnya) adalah anak laki-laki beliau bernama Zainudin bergelar Endah Sampono.
Perang yang terkenal dengan Porang Tahun Salapan (Perang Tahun 1908) terjadi saat malam pergantian tahun, tanggal 1 Januari 1908. Hari pergantian tahun ini dipilih karena biasanya serdadu-serdadu Belanda mengadakan pesta dan mabuk-mabukan.
Sebelum penyerangan itu dilakukan, semua pejuang terlebih dahulu berkumpul di Mesjid Usang Mudikair pukul 00.30. Kemudian semua pejuang melakukan Sholat malam. Setelah itu, Tuanku Tempa selaku Panglima Perang kembali mengingatkan para pejuang bahwa, barang siapa yang ragu-ragu dipersilahkan untuk mengundurkan diri. Tetapi dengan tekad yang bulat tak seorangpun yang mundur. Mereka menganggap perang ini adalah jihad dalam menegakkan kebenaran. Lalu Tuanku Tempa menjabarkan strategi perangnya malam itu. Setelah itu para pejuang yang bersenjatakan rudui (pedang) itu melakukan doa bersama. Pukul 01.30 semua sudah diposisi masing-masing. Langkah pertama adalah mematikan lampu-lampu jalanan. Kemudian Tuanku Tempa memberi Komando untuk serentak menyerang Tangsi Tuan Skaut, tempat dimana Tuanku H. Khatib di tawan. Disini para pejuang memancung habis semua serdadu Belanda yang menjaganya. Yang memancung serdadu Belanda pertama kali adalah Tuanku Tempa sendiri, kemudian Abdul Gani, Adam Rangkayo Batuah, dan akhirnya terjadilah peperangan yang sangat dahsyat malam itu. Setelah Tangsi Tuan Skaut dikuasai, namun ternyata Tuanku H. Khatib tak ditemukan disana.
Kemudian datang bantuan dari serdadu Belanda menuju Tangsi Tuan Skaut. Segera pula disambut oleh pendekar-pendekar sakti yang semua ahli dalam beladiri silat itu. Hanya berbekal rudui (pedang) serdadu-serdadu Belanda itu dikejar dan dihabisi. Pertempuran meluas sampai ke Sungai Batang Lunto dan Pasar Usang.
Setelah beberapa jam pertempuran, beberapa pejuang terluka dan tewas di tempat. Tuanku Tempa memerintahkan Sebagian melanjutkan pertempuran dan sebagian menyelamatkan yang terluka dan tewas. Sampailah pertempuran itu mendekati subuh, setelah itu semua pejuang menghilang dalam gelap. Target membebaskan Tuanku H.Khatib pun gagal. Para pejuang menyingkir ke surau-surau dan sebagian ke Mesjid Raya Kubang (Baitunnur). Empat orang pejuang meninggal dalam pertempuran itu, dan dimakamkan di beberapa tempat di nagari Kubang. Keempat orang pejuang yang gugur itu adalah: Hasan Husin, Suku Sikumbang, kaum Rumah Tapanggang, Kenagarian Kubang, dimakamkan di Kubang Tungkai Jorong VII Kenagarian Kubang; Asi Bagindo Bungsu, Suku Piliang, kenagarian Lunto, dimakamkan di Panto Jorong VIII Sikabu, kenagarian Kubang; Baki, Suku Payabadar kaum Malaweh, dimakamkan di Panto, Jorong VIII, Sikabu Kenagarian Kubang; dan Boga Matlahi, Suku Sikumbang kaum Rumah Tapanggang, dimakamkan di Rumah Tapanggang, Jorong I, Kenagarian Kubang. Sementara itu salah seorang dari pejuang bernama Muin Bagindo Tan Ameh, Kaum Rumahtanggang, Suku Sikumbang Kenagarian Kubang menderita luka-luka tetapi tidak meninggal.
Pagi itu di Sawahlunto, mayat-mayat serdadu Belanda bergelimpangan di mana-mana, kemudian Belanda melakukan Blokade di sekeliling kota. Beberapa hari kemudian perang urat syaraf pun dimulai. Belanda menyisir sampai ke pelosok-pelosok Kampung di Kubang dan Lunto, kemudian menangkap setiap laki-laki yang mereka temui (Tuanku Tempa selalu lolos dalam penyergapan yang dilakukan serdadu-serdadu Belanda itu). Puluhan masyarakat yang tak bersalah mereka penjarakan. Sementara di penjara yang lain Tuanku H. Khatib terus bungkam walau selalu disodorkan dokumen perdamaian tapi beliau tak mau menandatanganinya.
Diantara puluhan rakyat yang ditangkap, tujuh orang diantaranya adalah pejuang yang melakukan penyerangan di malam itu. Mereka adalah : Abdul Gani, Suku sikumbang, kaum Rumahtapanggang, kenagarian Kubang; Muin Bagindo Tan Ameh, Suku Sikumbang, kaum Rumah Tapanggang, kenagarian Kubang; Adam Rangkayo Batuah, Suku Supanjang, kaum Taratak Lawuik, kenagarian Kubang; Manjalani Malano Sati, Suku Panai, kenagarian Kubang; Rasul Khatib Marajo, suku Patopang, kaum Polak, kenagarian Kubang; Taha Dubalang, kenagarian Lunto.
Begitu banyak "kisah heroik" para pejuang pada perang yang terkenal dengan Porang Taun Salapan itu. Misalnya kisah Tuanku Tempa yang tak bisa di tangkap oleh Kolonial Belanda. Berkali-kali beliau selalu lolos dari sergapan serdadu Belanda. Pernah suatu ketika Belanda kehilangan jejak dalam penyergapanya. Saat itu Belanda sudah yakin Tuanku Tempa berada di suatu tempat di nagari Lunto lalu mengepung tempat itu. Tiba-tiba seorang lelaki terlihat berkelebat "sekerdip mata", lalu menghilang. Serdadu Belanda mengepungnya, tapi tak berhasil. Lalu kemudian di samping rumah itu, serdadu Belanda mendapati seorang nenek tua yang sedang menumbuk padi di lesung. Para serdadu Belanda lalu bertanya kepada si nenek tua, apakah beliau melihat seorang lelaki ( Tuanku Tempa) melewati daerah itu beberapa detik yang lalu. Si nenek yang wajahnya tertutup selendang itu terus saja menumbuk padi sambil menggelengkan kepalanya. Para serdadu Belanda kebingungan sambil terus menggeledah daerah itu. Namun Tuanku Tempa tetap tak pernah mereka temukan. Kemudian para serdadu itu pun berlalu dari sana. Padahal si nenek yang sedang menumbuk padi itu adalah Tuanku Tempa yang mereka cari.
Lain lagi Kisah Manjalani Malano Sati, Suku Panai Kenagarian Kubang. Selesai perang yang dahsyat itu beliau pulang kerumahnya di Guguak Guntai, dusun Luak Mani (sekarang). Sesampainya di rumahnya, beliau mengambil piring lalu mengeluarkan segenggam timah dari kantongnya, lalu menyerakkannya di atas piring. Timah itu adalah bekas timah panas peluru dari serdadu kolonial Belanda yang menempel di pakaiannya. Namun beliau tak mengalami cedera apa-apa. Beberapa hari berselang, Belanda menyergap rumah beliau di Guguak Guntai itu. Awalnya serdadu Belanda tidak menemukan beliau. Namun karena anak sulung beliau (perempuan) yang masih balita, menangis ketakutan di atas buayan ( ayunan) karena para serdadu Belanda itu menghardik-hardik diatas rumah, maka beliau pun khawatir akan keselamatan keluarganya. Tiba-tiba serdadu Belanda terkaget melihat beliau berdiri di disamping buayan anaknya itu. Padahal sebenarnya beliau sudah berdiri dari tadi berdiri di samping buayan itu, namun serdau-serdadu Belanda itu tak melihatnya. Beliau pun menyerahkan diri dan di tangkap.
Ada lagi kisah Abdul Gani, waktu itu beliau baru berusia belasan tahun. Beliau juga termasuk pejuang yang di tangkap Belanda. Tetapi beliau hanya di penjara satu hari saja di penjara Sawahlunto. Sebabnya adalah malam itu beliau berhasil "meloloskan" diri dari penjara itu. Entah bagaimana caranya beliau bisa lolos, padahal penjara itu dilapisi jeruji besi yang kuat dan berlapis, dan kaki beliau dirantai pula dengan besi yang terkunci kokoh. Ternyata beliau tetap bisa lolos malam itu saat para sipir tertidur. Para sipir penjara pagi itu mendapati semua kunci-kunci yang mengurung beliau telah terbuka , dan Abdul Gani telah lolos. Lalu beberapa hari kemudian Belanda mengirim surat melalui kurir kepada beliau. Karena beliau tak mengerti tulisan bahasa Belanda maka surat itu beliau suruh bacakan saja dengan si kurir. Isinya surat itu adalah bahwa pihak Kolonial Belanda meminta beliau kembali menyerahkan diri secara baik-baik. Tetapi Abdul Gani menjawab isi surat itu dengan merobeknya. Alhasil Belanda tak pernah lagi berani menangkap beliau, padahal beliau tetap beraktifitas seperti biasa dan sering berada di tempat kakak perempuannya di Guguak Gadang, Kampung Teleng, Sawahlunto. Sering Abdul Gani berada di pasar dan mondar-mandir mandir di tengah kota, tapi beliau tak pernah tertangkap lagi. Dikalangan Belanda Sawahlunto beliau terkenal dengan nama "Ghene".
Kisah yang paling "heroik" datang dari pejuang bernama Boga Matlahi. Beliau dari Suku Sikumbang kaum Rumahtapanggang nagari Kubang. Boga Matlahi adalah yang paling belia di antara pejuang-pejuang itu. Waktu itu usianya baru antara 15-16 tahun. walaupun sudah dibekali ilmu silat yang cukup mumpuni namun karena usianya yang masih sangat belia maka dia dilarang ikut oleh semua pejuang malam itu. Tapi dia bersikeras ingin ikut sampai-sampai dia menangis karena ingin ikut berperang. Karena dia terus menangis maka akhirnya diapun di izinkan ikut berperang. Waktu Tuanku Temapa memberi kesempatan terakhir kepada semua pejuang di "mesjid usang" Mudik Air bahwa jika ada yang ingin mengundurkan diri akan dipersilahkan. Semua mata tertuju kepada Boga Matlahi. Tapi Boga Matlahi tetap tak bergeming. Rupanya panggilan itu memang sudah datang kepadanya, beliau gugur sebagai syahid di malam pertempuran yang dahsyat itu dalam usia yang sangat muda. Beliau dimakamkan di Rumahtapanggang kenegarian Kubang. Inilah sebagian dari kisah heroik para pejuang Porang Tahun Salapan itu, disamping mungkin kisah para pejuang yang lain yang biasanya di ceritakan turun temurun ke anak cucu.
Sembilan bulan dipenjarakan dan terus-menerus disodorkan sebuah dokumen, tapi Tuanku H. Khatib tak mau menandatangani dokumen itu karena takut terjebak oleh tipu muslihat pemerintah kolonial Belanda yang terkenal licik itu. Dibulan kesepuluh penahananya, beliau tak kuat lagi melihat penangkapan rakyat yang terus menerus dilakukan dengan semena-mena. Akhirnya dengan segala kelicikan Belanda, dokumen yang katanya "dokumen perdamaian" yang berbahasa Belanda itu pun akhirnya di tandatangani oleh Tuanku H. Khatib. Setelah itu beliau pun dilepas dari Tangsi Tuan Skaut. Begitu pula puluhan rakyat yang ditahan, baik di penjara Sawahlunto maupun penjara Padang, semua di bebaskan. Beberapa waktu kemudian, Belanda melaksanakan upacara adat "membantai kerbau" di Balaikubang sebagai bentuk "perdamaian". Para petinggi Belanda pun hadir di Balai Kubang waktu itu, antara lain : Asisten Residen Tanah Datar (C. Westenenck); Pejabat dari Landraad Tanah Datar (namanya tak diketahui); Adjunck Commisarist van Politie (Tuan Skaut); Laras dari Kelarasan Silungkang (Djaar Sutan Pamuncak); Kepala Nagari Kubang (Ja'far Dt. Rajo Batuah); dan Satu Regu Pasukan Kolonial.
Pejabat Landraad Tanah Datar ( tidak diketahui namanya) pada upacara itu mengawalinya dengan berdiri lalu membacakan sebuah "Naskah Perdamaian", yang telah dipersiapkan Sebelumnya, yakni naskah perdamaian yang ditandatangani oleh Tuanku H.Khatib sewaktu beliau berada di tahanan Tangsi Tuan Skaut. Setelah Pejabat Landraad itu selesai, lalu kemudian berdiri pula Assisten Residen Tanah Datar C.Westenenck untuk mengumumkan secara resmi korban pertempuran malam 1 Januari 1908 antara lain adalah, korban dari pihak Belanda sebanyak 84 orang, sementara korban dari pihak masyarakat adat nagari Kubang adalah empat orang.
Peristiwa "Porang Tahun Salapan" ini dulu selalu diceritaka secara turun-temurun dari generasi Ke generasi. Dengan budaya "bertutur" masyarakat adat nagari Kubang. Budaya bertutur atau "sejarah lisan" masyarakat adat nagari Kubang khususnya, Minangkabau umumnya adalah sebuah "kearifan lokal" yang mestinya di hargai. Kemudian baru pada tahun 1979, peritiwa ini dikupas tuntas dalam sebuah buku karya Abu Salfani berjudul " Perjuangan dan Perlawanan Rakyat Kenagarian Kubang dan Lunto Terhadap Kolonial Belanda di Sawahlunto Tahun 1908". Buku ini diberi kata sambutan oleh Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sawahlunto, Drs. Saimoery WS tanggal 27 Januari 1979. Tapi entah kenapa buku ini tak jadi di di cetak, namun tetap beredar di nagari Kubang. Dan dulu kopiannya pernah tersedia di perpustakaan pemerintah di Kota Sawahlunto. Namun belakangan kopiannya raib dari perpustakaan tersebut.
Sebetulnya peristiwa "Porang Tahun Salapan" sangat mengejutkan dan menghebohkan kaum adat dan masyarakat di Sumatra Barat waktu itu. Sementara dari kalangan kolonial Belanda, peristiwa ini adalah peritiwa pembantaian yang sangat mengerikan bagi pemerintahan kolonial waktu itu. Ini mengingat banyaknya serdadu Belanda yang tewas (84 orang) dalam hanya hitungan jam (lebih kurang durasi dua setengah jam). Tapi entah mengapa semua bukti itu hilang di Pemerintahan Kolonial dan masa-masa berikutnya. Sementara dimasyarakat adat sebelum tahun 1979, ini hanya ada di sejarah lisannya. Setelah dekade 1979 dimana peristiwa ini sudah dibukukan oleh Abu Salfani, buku ini tidak menarik bagi penguasa. Pada hal peritiwa ini menurut buku Abu Salfani, lebih dulu terjadi dari pada perang belasting yang lain di Sumatra Barat. Atau setidaknya Porang Tahun Salapan adalah bagian dari rentetan peristiwa perang belasting yang terjadi di Sumatra Barat tahun 1908. Seperti perang Kamang dan Manggopoh terjadi pada bulan Juli 1908. Perang Kamang dan Manggopoh begitu dihormati oleh masyarakat dan Pemda kabupaten Agam.
Lebih menarik lagi adalah tokoh dan pejuang perang tahun 1908, tidak dibuang atau di asingkan oleh Belanda, seperti diperistiwa-peristiwa yang sama lainnya. Malahan justru pihak Belanda lah yang minta perdamaian, dan pihak rakyat nagari kubang yang tak mau berdamai dengan mereka. Sebuah fenomena yang tak pernah terjadi pada sejarah perlawanan rakyat indonesia terhadap penjajahan kolonial di indonesia. Semua ini diduga adalah karena kepentingan yang lebih besar dari pihak belanda akan arti pentingnya batubara yang berada di perut bumi ulayat masyarakat adat nagari Kubang. Perdamaian yang justru dipaksakan oleh Belanda terhadap masyarakat adat nagari Kubang dan sebaliknya masyarakat adat yang tak mau berdamai karena khawatir terhadap tipu muslihat belanda terhadap tanah ulayat mereka semakin mengukuhkan sebuah hipotesa, bahwa telah terjadi masalah besar atas pemakaian tanah ulayat Masyarakat adat oleh pemerintah kolonial untuk pertambangan batu bara di kota Sawahlunto. Permintaan perdamaian dari pemerintahan kolonial terhadap nagari Kubang adalah bukti pengakuan adanya kekeliruan atau kebingungan Belanda dalam menyelesaikan sengketa tanah ulayat itu.
Bukti adanya "perdamaian" dengan Belanda terhadap "perang tahun1908" nyata adanya di nagari Kubang. Baik buku yang ditulis oleh Abu Salfani tentang pelaku-pelaku sejarah dari nagari Kubang dan Lunto dalam perang tahun1908, maupun bukti-bukti peninggalan fisik tentang perdamaian perang tahun 1908 berupa kompensasi (mungkin semacam CSR di zaman kolonial) yang diberikan kepada masyarakat Kubang berupa : Didirikannya sekolah "Volkschool" di Balai Kubang (3 kelas); Dibangunnya balai adat di Balai Kubang; Dan dibangunnya beberapa jembatan di sungai Batang Lunto dan di beberapa anak sungai. Di nagari Lunto perjuangan Tuanku Temapa ini juga di abadikan dengan sebuah "relief dan patung" oleh masyarakat nagari Lunto.
Tetapi sebuah "prinsip" dari masyarakat Adat nagari Kubang, sesuai dengan adat yang berlaku di nagari Kubang dan di Minangkabau, bahwa semua bentuk kompensasi yang diberikan Belanda itu, baik uang 2000 gulden yang diberikan buat "niniak mamak" dan buat "persta adat" tahun 1892 maupun konpersasi dari perdamaian "Perang Tahun 1908" yang diberikan sekitar tahun 1910, bukanlah merupakan "pelepasan hak" atas ulayatnya di pertambangan itu.
Bukanlah penjajah namanya jika Belanda tak berbuat semena-mena. Setelah "perdamaian perang 1908" penjajah Belanda tetap saja berbuat semena-mena lagi atas ulayat masyarakat adat nagari Kubang. Perusahaan tambang itu menambah lagi pemakaian tanah ulayat nagari kubang , dengan membangun berbagai fasilitas tambang sesuka hati mereka di atas tanah Ulayat itu. Tetapi kembali berkali-kali masyarakat protes dan situasi selalu memanas dengan masyarakat adat nagari Kubang. Menurut Erwiza Erman dalam bukunya, "Membaranya Batubara, Konflik Kelas dan Etnik, Ombilin Sawahlunto-Sumatra Barat (1892-1996) menulis bahwa konflik antara masyarakat adat nagari Kubang dengan perusahaan tambang Ombilin tak pernah usai dan selalu memanas samapai berakhirnya penjajahan Belanda. Ia menulis, "Pembayaran ganti rugi untuk tanah hanya dua kali, dan pembayaran hak atau biaya sewa tahunan jarang di lakukan. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan bahwa masalah ganti rugi makin lama makin meruncing sampai akhir rezim kolonial. Pada tahun-tahun 1924, 1929,1931,2934, 1939 dan 1940 baik penduduk kampung maupun penghulu nagari mengajukan protes terhadap pemerintah jajahan mengenai perbatasan-perbatasan yang tidak jelas antara tanah perusahaan dengan tanah nagari dan menuntut ganti rugi atas tanah yang digunakan. Protes itu berasal dari klaim perusahaan atas tanah yang sesungguhnya akan digunakan orang-orang kampung pembuat 'kebun nagari' ".
"Dua kali ganti rugi" yang dimaksud Erwiza Erman adalah uang yang tidak jelas maksud nya apa, yang diberikan Belanda buat niniak mamak yang nilainya tak seberapa, yaitu senilai 1500 gulden. Dan yang kedua adalah uang senilai 500 gulden buat pesta adat itu, yaitu buat meredam kemarahan masyarakat. Niniak mamak nagari Kubang menganggap uang yg cuma hanya 1500 gulden itu hanya semacam ganti rugi tanaman yang ada di atas tanah itu, atau uang siliah jariah.
Kemudian dalam cuplikan diatas Erwiza menulis bahwa ada "hak sewa tahunan" yang di berikan oleh kolonial terhadap tanah ulayat kepada "niniak mamak nagari Kubang". Tetapi hak sewa itu juga kadang dibayar dan kadang tidak. Tetapi saat "sekarang ini" apa yang terjadi dilapangan, setelah perusahaan tambang Ombilin milik Belanda itu menjadi milik PTBA, dan PTBA kemudian sudah masuk dalam holding company raksasa bernama INALUM, dimana saham INALUM lebih dari 60%. Sungguh, masyarakat adat nagari Kubang (Indigenous Peoples) justru semakin tidak dihargai, bahkan semakin dizolimi atas hak-hak azazinya di tanah ulayatnya di Sawahlunto. Kelicikan- kelicikan dan politik adu domba berlangsung seakan melebihi penjajahan kolonial dahulu. Tanah itu dipasang patok dengan bunyi "hak milik" oleh PTBA.
Kemudian mengenai "hak sewa" tak pernah lagi dibayar pasca kolonial, malahan perusahaan tambang itu yang memungut sewa ke masyarakat pendatang dan Pemda Sawahlunto saat ini. Baik sewa terhadap tanah Ulayat yang masih kosong maupun terhadap bangunan-bangunan diatasnya. Niniak mamak nagari Kubang hanya diajak kerjasama pengelolaan aset, seperti sebagai debt colector (dilihat dari draft kerjasama yg mereka ajukan) di atas tanah yang sudah mereka patok sebagai hak milik. Untung niniak mamak hati-hati dan tidak terjebak lagi dalam permainan mereka. Sungguh suatu "kezoliman" terbaru melebihi kezoliman zaman kolonial dulu.
Tampaknya semua fihak pemangku kepentingan di kota ini perlu belajar lebih arif dan bijaksana lagi dalam menyelesaikan konflik ini. Sudah terjadi "genosida" sejarah selama ini, demi memuaskan nafsu serakah pihak-pihak tertentu, yang bisa berakibat fatal terhadap kota yang kita cintai ini nantinya.
Wallahu a'lam bisshawab
Alm. H. Abdul Gani alias H. Sumbu tahun 70-an. Beliau adalah salah seorang anak Tuanku H. Khatib. Beliau adalah salah seorang pelaku sejarah pada peristiwa "Perang Tahun 1908", yaitu perang tanggal 1 Januari 1908 melawan kolonialis Belanda di Sawahlunto. Beliau dimakamkan di Pemakam Umum Tampan, Pekanbaru.
Kata sambutan Wali Kotamadya Kepala Daerah Tingkat II Sawahlunto pada buku karya Abu Salfani (1979) yang bejudul : Sejarah Perjuangan dan Perlawanan Rakyat Kenagarian Kubang dan Lunto Terhadap Kolonial Belanda di Sawahlunto tahun 1908.
Makam H. Agah atau Tuanku H. Khatib atau Tuanku Nan Sholiah (1838-1915) di Rumah Tapanggang Dusun Polak Datar, Desa Kubang Tangah, Nagari Kubang Sawahlunto. Makam ini baru di pindahkan dari Mesjid Raya Kubang (Baitunnur) tahun 2016.
Komentar
Posting Komentar