Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

Jalan setapak dari Batutajam – Lughajuai – Sawahlunto yang sekarang dinamakan Jalan Perjuangan, sudah ada sejak Sawahlunto belum bernama Sawahlunto tapi masyarakat kubang biasa menyebutnya Ilia (Hilir). Waktu itu Sawahlunto atau daerah Ilia ini masih daerah persawahan masyarakat nagari Kubang. Jalur ini menjadi salah satu jalan utama di antara tiga jalan utama ke Ilia. Dua Jalan utama lainnya adalaha jalur Sionsek – Guakpauah – Luakbadai – Guakgodang – Kampuang Teleng - Sikabu - Lubang Panjang - Sumpahan dan jalur Gunuang – Batupipik – Pondok Kapu – Kubang Sirakuak. Hasil panen padi dan kebun dibawa dengan kuda atau dipikul di ketiga jalur utama ini ke rumah-rumah mereka di mudiak (Hulu), sebelum akhirnya mereka menetap di sawah dan ladang mereka di Ilia ini. Mereka akhirnya menetap di Ilia ini karena jarak yang jauh serta medan yang berat.

Jalur Batutajam – Lughajuai – Sawahlunto atau Jalan Perjuangan ini menjadi vital setelah Belanda menduduki daerah Ilia (Sawahlunto). Karena kala itu masyarakat Kubang semakin banyak yang menetap di sepanjang aliran Sungai Batang Lunto yang relatif lebih landai menuju Sawahlunto. Ketika Sawahlunto sudah menjadi pusat keramaian dan sudah berdiri pula sebuah pasar, maka jalur ini menjadi jalur utama dari empat nagari (Kubang, Lunto, Lumindai dan Kajai) untuk membawa hasil buminya ke Pasar Sawahlunto. Biasanya dengan cara di pikul atau  dijujuang (ditarok di kepala) dengan berjalan kaki sejauh tujuh sampai limabelas kilometer. Juga menjadi jalur utama bagi masyarakat yang beraktifitas di Sawahlunto seperti berdagang di pasar, bekerja di proyek-proyek pambangunan di Kota Sawahlunto dan lain-lain.

Sebetulnya jalan setapak Jalan Perjuangan atau jalur Batutajam – Lughajuai  – Sawahlunto ini ada tiga jalur. Ketiga jalur itu bersimpang di sekitar daerah Lughajuai. Jalan setapak pertama dimana jalan itu dari Lughajuai menanjak ke atas bukit bertemu dengan jalan Guakpauah, Luakbadai , Kampuangteleng, Sikabu, Lubangpanjang dan Sumpahan. Jalan setapak Keduanya adalah dari Lughajuai melereng ke Katapiang Ciek (Lokuang Ngungun)  turun ke Mesjid Usang Mudiak Ayia. Jalan setapak Ketiga adalah dari Sandiang Kotuak-Kotuak (setelah Lughajuai) turun menyusuri sungai Batang Lunto, melereng di bawah Katapiang Ciek sampai ke Mesjid Usang Mudiak Ayia.

Ketika terjadi peristiwa Perang Belasting 1908 atau Porang Tahun Salapan karena perseteruan antara masyarakat nagari Kubang dengan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sawahlunto, ketiga jalur ini menjadi saksinya. Belasan para pendekar pilihan dari nagari Kubang dan Lunto yang dipimpin oleh Tuanku Tempa dari nagari Lunto, malakukan sholat malam dulu di Mesjid Usang Mudiak Ayia sebelum malakukan penyerangan ke Tangsi Tuan Skaut tempat Tuanku H. Khatib  ditahan Belanda. Tetapi ratusan orang Pemuda nagari Kubang menunggu di ketiga jalur Jalan Perjuangan ini dan bersiap melakukan evakuasi untuk para pejuang yang terluka dan meninggal dunia. Tetapi upaya pembebasan Tuanku H. Khatib itu gagal karena beliau tak di temukan di Tangsi Tuan Skaut. Perang itu menewaskan 84 orang serdadu Belanda yang konon kebanyakan berkulit pribumi dan berdarah blasteran. Sebaliknya Perang malam itu juga menewaskan empat orang pejuang dari Kubang dan Lunto dan beberapa orang terluka. Ketiga jalur di Jalan Perjuangan itu menjadi jalur evakuasi bagi para pejuang yang tewas dan terluka. Mereka langsung dimakamkan subuh itu di Ruamahtapanggang, Kubangtungkai (Sionsek) dan Panto (Sikabu).

Setelah peristiwa Porang Tahun Salapan, perkembangan Sawahlunto semakin pesat sebagai pusat perekonomian. Maka Jalan Perjuangan itu menjadi semakin penting sebagai urat nadi masyarakat nagari Kubang, Lunto dan Lumindai. Walaupun jalan setapak tetapi itulah jalan utama bagi masyarakat yang beraktifitas ke Sawahlunto seperti untuk membawa hasil bumi, pekerja tambang dan pekerja di kantor-kantor pemerintahan. Jalan ini juga menjadi jalan setapak bagi pemuda pemudi nagari Kubang untuk mengeyam pendidikan di sekolah-sekolah Belanda di Sawahlunto atau sebaliknya yaitu anak nagari Kubang dari Sikabu atau Kampuang Teleng dan lain-lain yang sekolah ke Sekolah Rakyat di Balaikubang. Hal seperti ini berlangsung sampai zaman Orde Baru yaitu sampai jalan Kundu Baruak (Simpang Kubang) dibuka.

Pada masa Perang Kemerdekaan, Jalan Perjuangan ini juga sangat penting bagi perjuangan Kemerdekaan di kota Sawahlunto. Jalan ini menjadi tempat lalu lintas bagi ratusan para pejuang kemerdekaan dari nagari Kubang dan Lunto, baik anggota BKR, Laskar dan Relawan. Jalan ini juga menjadi tempat lalulintas amunisi dan persenjataan dari pabrik persenjataan di Bengkel Tambang Ombilin  dan bungker bekas pembangkit listrik (sekarang Mesjid Agung Sawahlunto) di Mudiak Ayia ke nagari Kubang atau sebaliknya.

Sawahlunto kembali di duduki Belanda pada Agresi Belanda II, Yaitu pada 1 Januari 1949. Komandan Pasukan Pejuang Sawahlunto yaitu Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati melarang anak buahnya melakukan perlawanan di kota Sawahlunto dengan berbagai alasan. Sehingga perusahaan tambang Ombilin masih tetap bisa berjalan walaupun telah dikuasai kembali oleh Belanda. Alasan pelarangan perang di Sawahlunto oleh Kapten Amir Jamin Dt. Rajo  Nan Sati antara lain adalah; 1). Indonesia sudah merdeka dan tambang Ombilin adalah aset yang harus dijaga karena Belanda diperkirakan tak akan lama bercokol di Sawahlunto. 2). Tambang Ombilin harus tetap berjalan agar ribuan karyawannya masih tetap bekerja agar ekonomi di Sawahlunto terus berputar dimasa perang. 3). Untuk menghindari terjadinya korban yang banyak dari masyarakat dan untuk menghindari terjadinya pengungsian dari masyarakat Sawahlunto umumnya dan masyarakat tambang khususnya ke nagari-nagari di sekitarnya yang tentu saja ini akan memperberat beban perjuangan kemerdekaan itu. 4). Karena tambang ini adalah merupakan kebanggaan orang Minang, pemasok batubara buat Semen Indarung Padang dan juga merupakan pusat perekonomian di Sumatera Barat.  Itulah antara lain beberapa pertimbangan mengapa tak boleh menghancurkan fasilitas tambang dan tak boleh ada perang di Kota Sawahlunto waktu perang kemerdekaan (Agresi  Belanda).

Tetapi Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati mengizinkan para prajuritnya melakukan perlawanan terhadap pasukan Belanda jika pasukan Belanda keluar dari kota Sawahlunto. Yaitu jika mereka masuk ke nagari-nagari di sekitar kota untuk melakukan patroli atau untuk mengintimidasi masyarakat. Sejak itu di Kopel (kelok Enambelas) di Kubangsirakuak menjadi pos pengintaian serdadu Belanda terhadap aktivitas masyarakat Kubang, khususnya yang melintasi Jalan Perjuangan menuju ke Sawahlunto. Sebaliknya Jalan Perjuangan selain menjadi tempat lalu lintas masyarakat Kubang khususnya menuju Sawahlunto, juga menjadi lalulintas para informan dan mata-mata serta kurir pejuang dari Sawahlunto ke Kubang. Karena itu seorang pemuda Kubang tewas di Jalan Perjuangan ini karena ditembak oleh sniper Belanda dari pos pengintaiannya di Kopel. Padahal dia ke Pasar hanya untuk membawa hasil tani dan membawa pariuak posuk  (periuk bolong) yang akan dipatri. Ketika pulang dari Pasa dia duduk istirahat di atas batu di bawah pohon ketapang itu sambil memeriksa periuknya yang sudah dipatri dengan meneropongkannya ke matahari. Perilakunya itu terus di amati oleh para sniper serdadu Belanda dari Kopel di seberangnya tanpa dia sadari. Rupanya kilauan pantulan cahaya matahari dari periuk itu membuat sniper serdadu Belanda itu curiga. Ketika itu situasi antara para pejuang dan pasukan Belanda di Sawahlunto sedang memanas. Para sniper pasukan Belanda itu menghujani pemuda itu dengan peluru dari Kopel di Kelok Enambelas. Dia tewas seketika. Pemuda itu adalah adik dari Agus St. Bagindo (Pak Utia Agui Tan Gindo) Guak Jirak. Berasal dari Tamimbo/Surau Lobuah, kaum Taratak Lawuik, Suku Supanjang nagari Kubang. Sejak itu sampai Agresi Belanda II berakhir, Jalan Perjuangan jalur Lughajuai – Katapiang Ciek – Mesjid Usang (Mudiak Ayia) tidak ditempuh lagi oleh masyarakat. Masyarakat lebih merasa aman dari pos pangintaian sniper pasukan Belanda di Kopel bila melewati dua jalur Jalan Perjuangan lainnya. Yaitu jalur Lughajuai – Luakbadai – Kampuang Teleng dan jalur Lughajuai – Sandiang Kotuakkotuak – turun menyusuri sungai Batang Lunto di bawah Katapiang Ciek – Mesjid Usang (Mudiak Ayia). Jalan Perjuangan itu pula yang akhirnya menjadi jalan masuk bagi pasukan Belanda untuk melakukan patroli dan intimidasi ke nagari Kubang, Lunto dan Lumindai. Setelah pendudukan Belanda di Sawahlunto berakhir Desember 1949, Jalan Perjuangan yang melewati Katapiang Ciek itu kembali dilewati menjadi jalan utama bagi masyarakat Kubang dan sekitarnya yang beraktifitas ke Sawahlunto.

Tetapi Cerita mengenai Jalan Perjuangan di nagari Kubang ini belum berakhir sampai di situ. Pada masa Pemerintahan Orde Lama dimana masyarakat nagari-nagari di Minangkabau umumnya bersimpang jalan dengan Rezim Orde Lama, demikian pula dengan masyarakat nagari Kubang. Umumnya mereka adalah simpatisan PRRI. Saat itu nagari Kubang juga menjadi  tempat pelarian ratusan simpatisan PRRI dari kota Padang, Solok, Padang Panjang dan daerah-daerah lain. Mereka umumnya adalah para pegawai pemerintahan, BUMN guru-guru dan lain-lain yang meminta perlindungan kepada Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati di nagari Kubang. Amir Jamin manjadi salah satu referensi masyarakat Kota Padang dan lain-lain untuk mancari perlindungan dari kejaran Tentara Pusat pada awal-awal PRRI meletus. Di nagari Kubang mereka di tempatkan di rumah-rumah penduduk. Sebagian dari pelarian itu medapatkan jodohnya dengan sesama pelarian lainnya dan di nikahkan di 'rimbo' (di tempat pelariannya) oleh Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati. 

Karena itulah kemudian satu batalyon dari Divisi Diponegoro di bawah pimpinan Mayor Ahmad Rivai yang berhaluan kiri (komunis) di tempatkan di Sawahlunto pada Maret 1959. Petinggi-petinggi tambang yang bersimpang jalan dengan Rezim Orde Lama seperti Darami, Jamiun Jamin dan lain-lain di jebloskannya ke penjara. Lalu direkrutnya pula para OPR yang berhaluan kiri dari karyawan tambang  Ombilin untuk meneror masyarakat yang simpatisan PRRI. 

Pemerintah Daerah Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjuang juga di ambil alih oleh Mayor Ahmad Rivai. Maka di nagari Kubang diangkatnyalah walinagari seorang berhaluan kiri dari Partai Komunis Indonesia. Beberapa orang pangulu suku (datuak) juga digantinya dengan yang berhaluan kiri (Komunis). Sementara itu masyarakat Kubang umumnya mengikuti sikap Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati dalam menyikapi situasi di Sawahlunto waktu itu. Mereka adalah simpatisan PRRI yang bertentangan dengan kekuasaan di Sawahlunto. Mereka akhirnya memilih ijok ka rimbo (sembunyi ke hutan) bersama simpatisan PRRI lainnya.

Nagari Kubang yang umumnya masyarakatnya adalah Pejuang 45 itu, di bombardir dengan mortir oleh Tentara Pusat dari pos penjagaannya di Kopel, Kelok Enambelas Sawahlunto. Tempat dimana dulu menjadi pos pengintaian sniper pasukan Belanda saat perang Agresi Belanda II . Akhirnya setiap rumah di nagari kubang membuat lubang perlindungan di dalam tanah untuk menghindari pecahan mortir dari Tentara Pusat. Tetapi peluru mortir yang sering kali ditembakkan itu akhirnya memakan korban juga. Seorang guru bernama Murad (Guru Mughek) dari Kaum Guguak Guntai, Suku Supanjang nagari Kubang, tewas terkena pecahan mortir itu. Beliau merupakan mertua dari seorang legenda sepak bola  (Ps. GAS) Sawahlunto.

Setelah itu diangkat pula oleh Pemerintah  Pusat seorang direktur tambang dan seorang bupati yang merupakan perwira-perwira militer dari Jawa untuk menjalankan kekuasaan sesuai doktrin yang dianut oleh Rezim Orde Lama yang bertentangan dengan masyarakat kubang umumnya. Masyarakat Kubang yang akan membawa hasil buminya ke Pasar Sawahlunto juga melewati Jalan Perjuangan ini sebagai jalan utama. Mereka ini umumnya adalah kaum ibu (karena kaum laki-laki umumnya ijok ka rimbo ) atau masyarakat Kubang yang ada keperluan ke Sawahlunto. Tetapi mereka harus minta surat jalan dulu ke Walinagari Kubang yang sudah diangkat oleh Mayor Ahmad Rivai. Kemudian setelah itu, di Jalan Perjuangan itu harus pula melewati pos-pos pemeriksaan yang di jaga oleh Tentara Pusat dan OPR serta Hansip dari Pemda. Pos-pos pemeriksaan itu ada di Lughajuai, di Katapiang Ciek, di Sitopuang atau berpindah-pindah di sepanjang Jalan Perjuangan itu.

Bagi masyarakat yang melewati pos pemeriksaan harus menurunkan katidiang atau bakul di kapala atau barang-barang bawaanya, untuk diperiksa isinya. Setelah itu mereka harus hafal dangan Nasakom dan Usdek yang merupakan ideologi yang dianut oleh Rezim Orde Lama. Ideologi itu telah manyimpang dari Ideologi Pancasila yang kental dianut oleh simpatisan PRRI. Kalau masyarakat tak hafal dengan Nasakom (Nasionalisme, Agama dan Komunis) serta USDEK (Undang-Undang Dasar 1945, Demokrasi Terpimpin, Ekonomi Terpimpin dan Kepribadian Indonesia), maka masyarakat tak boleh melewati pos penjagaan itu. Sangat susah bagi masyarakat terutama ibu-ibu dan orang-orang tua untuk menghafalkannya. Terpaksalah mereka kembali pulang ke rumah dengan membawa hasil buminya kembali atau terpaksa membatalkan pergi ke Sawahlunto untuk suatu keperluan. Sejak itu pula mulailah dirintis jalan setapak alternatif dari Batutajam menuju Sawahlunto melalui Lubuak Sansang – Pintu Lubang (Lubang Kalam).

Sedangkan nagari Kubang Sawahlunto baru bisa dilalui kendaraan roda dua dan roda empat adalah sejak Zaman Orde Baru, yaitu mulai dibukanya jalan Kundua Baruak (Simpang Kubang) tahun 1973. Waktu itu nagari kubang dipimpin oleh Walinagari Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati dan Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung di pimpin oleh Bupati Kol. Jamaris Yunus. Keduanya adalah mantan pejuang angkatan 45. Jamaris Yunus adalah perwira alumnus Sekolah Kadet di Bukittingi. Yaitu Sekolah untuk mencetak perwira-perwira militer di sumatera tangah. Sekolah itu dirintis oleh para mantan perwira Gyugun angkatan pertama termasuk Kapten Amir Dt. Rajo Nan Sati. Beliau juga pernah megajar di sekolah militer itu.

Demikinanlah sekelumit sejarah jalan perjuangan yaitu jalan dari Batutajam (nagari Kubang) ke Sawahlunto via Lughajuai. Jalan ini meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sangat berarti bagi Masyarakat nagari Kubang, Lunto dan Lumindai. Selain itu juga meninggalkan jejak-jejak sejarah yang sangat berarti pula bagi perkembangan kota Sawahlunto dari awal berdirinya kota ini. 

Jalan Perjuangan ini sekarang masih merupakan jalan setapak yang sudah ditinggalkan oleh para musafir. Sementara itu sekarang masih banyak keluarga yang tinggal di sepanjang jalan itu seperti di Sitopuang dan Lughajuai yang tak tersentuh oleh kemajuan kota Sawahlunto. Mereka harus berputar dulu ke Batutajam lalu ke Kundua Baruak (Simpang Kubang) untuk pergi beraktifitas ke Sawahlunto untuk pergi menjual hasil bumi atau pergi membeli kabutuhan pokok, pergi bekerja atau pun pergi sekolah ke Sawahlunto. Padahal sebenarnya jarak ke pusat kota Sawahlunto mungkin hanya satu sampai dua kilometer saja jika jalan perjuangan ini kembali diaktifkan. Selain itu Jalan Perjuangan ini juga mengandung potensi wisata yang belum tergali di pinggir kota Sawahlunto. Baik karena panoramanya yang indah maupun karena unsur sejarahnya yang terkubur itu. Memang medannya sangat sulit karena melewati tebing bebatuan yang curam sedalam kira-kira duaratus meter di seberang Lubang Kalam (tetowongan kereta). Tetapi masyarakat telah merintis jalan baru buat kendaraan ke arah Lokuang Ngungun (Luak Badai) yang sudah menjadi pemukiman baru dan sudah punya fasilitas umum seperti puskesmas pembantu dan lain-lain. Tapi jalan ini terbengkalai karena ketiadaan anggaran. Karena itu besar harapan masyarakat Kubang agar Jalan Perjuangan ini mendapat perhatian dari Pemerintah Daerah dan Perusahaan Tambang (PTBA) dimasa-masa yang akan datang. Semoga...***

Keterangan gambar :

Penemuan sebuah mortir yang terkubur di halaman rumah sepasang veteran pejuang kemerdekaan yaitu Alm. Jalin Jamin Rajo Bagompo dan Almh. Baiyar di Lugha Juai (Jalan Perjuangan) Dusun Batu Tajam, Desa Kubang Tangah, Kota Sawahlunto pada tanggal 3 Desember 2019.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur Sirih dari Rantau

OCMHS: Membangun Citra Ditengah Defisit

Alm. Kapten. AMIR JAMIN Dt. Rajo Nan Sati dan Sepenggal Kisah Sang Komandan