PEMIMPIN NAGARI KUBANG SAWAHLUNTO DARI MASA KE MASA DAN DINAMIKANYA (2)
(Tulisan pertama....)
Pada tulisan kali ini penulis mencoba mengulas Nagari Kubang di masa kepemimpinan Angkupalo Muhammad Rasyad Dt. Maharajo Kayo. Beliau juga seorang pangulu (datuk) dari Suku Dalimo nagari Kubang. Nama kecilnya adalah Ma'osek. Karena itu masyarakat nagari Kubang biasa menyebut beliau dengan Angkupalo Ma'osek. Sementara itu urang dagang (pendatang) di Sawahlunto kadang-kadang menyebut beliau dengan Angkupalo Babulu Lidah. Tak ada yang tahu pasti mengapa orang dagang menyebutnya dengan Angkupalo Babulu Lidah. Kemungkinan adalah karena beliau seorang yang sangat pandai berbicara, bijaksana dan sangat disegani. Karena itu beliau juga ditunjuk sebagai anggota Minangkabau Raat pada masa itu, untuk mewakili daerah Sawahlunto dan nagari-nagari sekitarnya. Yaitu semacam dewan perwakilan rakyat Minangkabau masa itu.
Tak ada catatan pasti kapan Angkupalo M.Rasyad Dt. Maharajo Kayo diangkat sebagai angkupalo nagari Kubang. Yang pasti adalah beliau meninggal ketika sedang menjabat sebagai angkupalo (pemimpin) nagari Kubang pada tahun 1938. Ketika meninggal itu usia beliau tergolong masih muda yaitu limapuluhan tahun. Peristiwa meninggalnya Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo pada tahun 1938 diliputi oleh banyak teka-teki, begitulah menurut cerita orang tua-tua dahulu. Pergaulan beliau yang luas bahkan dikenal sampai ke lingkup Minangkabau menyebabkan beliau punya banyak musuh dari luar lingkup nagari. Ini konon karena sifat beliau yang keras dan teguh memegang prinsip. Akhirnya kematian beliau pada usia yang relatif muda itu dihubungkan oleh masyarakat nagari Kubang dengan kiprah beliau di luar lingkup nagari.
Pada hari meninggalnya Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo terjadi fenomena yang unik. Dimana pada siang hari yang cerah, tiba-tiba saja cuaca gelap serta datang kilat dan petir yang diikuti hujan badai yang sangat kencang. Tapi itu tak lama dan kemudian cuaca kembali cerah. Sebuah fenomena yang aneh kata orang tua-tua duhulu. Saat itulah masyarakat dikejutkan dengan berita kematian Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo yang sebelumnya menjalankan aktifitasnya seperti biasa.
Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo sangat di cintai oleh masyarakatnya khususnya masyarakat adat nagari Kubang dan masyarakat Sawahlunto umumnya. Banyak hal yang telah beliau perbuat untuk kemajuan nagari selama kepemimpinannya. Antara lain bahwa pada masa kepemimpinan beliaulah Mesjid Baitunnur Kubang di renovasi tahun 1928. Mesjid itu awalnya berdiri 1858 di Lubuak Bayiak atas prakarsa seorang pemuda dari suku Dalimo yang bernama Agah alias Tuanku Nan Soliah alias Tuanku H. Khatib. Kemudian atas prakarsa beliau pula tahun 1865 dipindah ketempat sekarang. Mesjid itu beratap ijuk berdinding kayu. Lama kelamaan kondisi Mesjid Baitunnur makin lapuk karena sudah dimakan usia. Maka kemudian di bawah kepemimpinan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo yaitu tahun 1928, Mesjid Baitunnur Kubang direnovasi dengan mengganti dindingnya dengan tembok dan atapnya dengan seng. Baru setelah tahun 2000-an mesjid Baitunnur ini kembali mengalami beberapa kali renovasi.
Hal penting lainnya pada masa kepemimpinan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo adalah berdirinya Sekolah Rakyat setingkat Sekolah Dasar dengan nama sekolah Gouvernement tahun 1927 di Balaikubang. Ini termasuk capaian yang sangat fenomenal di bidang pendidikan dari kepimpinan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo. Sebelum tahun 1927 yaitu sekitar tahun 1909-1911 Sekolah Rakyat ini sudah ada, tapi hanya tiga kelas yang didirikan oleh Pemerintah Kolonial sebagai kompensasi peristiwa Porang Tahun Salapan. Jika merujuk kepada daerah lain seperti di Jawa pada masa itu, sekolah yang tiga kelas ini namanya Volk School atau Sekolah Desa. Mungkin bedanya di tempat lain dibangun atas swadaya masyarakat tapi di nagari Kubang dibangun oleh Pemerintah Kolonial. Sejak itu anak-anak nagari Kubang pada periode tahun 1912 keatas, sudah banyak yang bisa baca tulis karena sudah mengecap pendidikan umum di sekolah ini. Sebelumnya rata-rata anak nagari hanya berpendidikan agama di surau atau berguru ke ahli-ahli agama. Dari sekolah yang tiga kelas ini sudah ada juga yang melanjutkan sekolahnya ke Padang Panjang atau Bukittinggi. Bahkan ada seorang pemuda dari kaum Datai Suku Patopang yang menuntut ilmu sampai ke Mekah. Beliau adalah Haji Rasid, saudara satu ayah berlainan ibu dengan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo. Setelah tujuh tahun menuntut ilmu di Mekah beliau kembali ke kampung halaman lalu mendirikan sekolah Tarbiyah Islamiayah yaitu sekolah Islam setingkat SMP di Sawahlunto. Sekolah itu berdiri sampai pertengahan tahun 1950-an. Banyak pemuda-pemudi nagari Kubang menjalani pendidikan formalnya di sekolah yang didirikan oleh Haji Rasid itu. Terakhir sekolah islam ini memakai gedung SD Santa Lucia sekarang. Sekolah Tarbiyah Islamiayah akhirnya sudah tak terurus lagi setelah Haji Rasyid meninggal. Sementara itu dari pemerintah Orde Lama di Sawahlunto juga tak ada perhatian, akhirnya bubar sekitar pertengahan tahun 1950-an.
Jadi sekolah rakyat Gouvernement di Balaikubang yang beridiri tahun 1927 ini adalah melanjutkan sekolah rakyat yang tiga kelas yang dibangun oleh Pemerintah Kolonial sebagai kompensasi perang. Menurut informasi bahwa pada awal tahun 1930-an sekolah ini memiliki 7 kelas. Karena itu sudah lebih banyak lagi anak-anak nagari Kubang dan nagari-nagari sekitarnya yang mengecap pendidikan umum di Balaikubang. Bahkan anak-anak nagari Kubang yang lahir dan tinggal di Sawahlunto seperti di Kampung Teleng, sikabu dan lain-lain, sebagian juga sekolah ke sekoah Gouvernment di Balaikubang ini.
Imbas positif dari berdirinya sekolah-sekolah ini adalah pada periode 1920-an sampai awal 1930-an, sudah mulai ada pemuda-pemuda nagari Kubang yang bekerja di perusahaan tambang Ombilin dan instansi-instansi pemerintah Kolonial di Sawahlunto seperti di Rumahsakit, Pos, PU dan lain-lain. Mereka bekerja bukan sebagai kuli-kuli dan buruh kontrak melainkan sudah duduk di perkantorannya sebagai pegawai karena sudah mengecap dunia pendidikan. Tetapi anak nagari yang bekerja sebagai buruh kontrak juga mulai ada pada periode ini karena tak punya pilihan lain oleh himpitan ekonomi.
Pada periode sebelumnya yaitu periode setelah peristiwa Porang Tahun Salapan, justru sudah ada pemuda nagari Kubang yang menjadi rekanan pada perusahaan tambang Ombilin dan pada kantor Pemerintahan Kolonial yaitu sebagai anemer (kontraktor atau pemborong). Beliau adalah H. Muhammad Jamin Pono Batuah dari Rumahtapanggang Suku Sikumbang. Beliau adalah anak dari Tuanku H. Khatib. Sejak itu banyak anak nagari Kubang yang bekerja dengan beliau sebagai tukang dan kuli bangunan. Tapi mereka masih belum mau bekerja sebagai buruh kontrak di perusahaan tambang. Pada masa ini baru ada anak nagari Kubang yang bekerja menawarkan jasa pengamanan di perusahaan tambang itu. Terutama untuk menangkap buruh yang melarikan diri dan untuk mencegah kerusuhan di internal buruh di pertambangan itu. Mereka diantaranya adalah Ya'kub alias Akuk Kayo dan H. Abdul Gani. Yang teakhir ini juga adalah anak dari Tuanku H. Khatib. Keduanya dari Rumahtapanggang Suku Sikumbang nagari Kubang.
Pada perkembangan selanjutnya pada tahun 1920-an juga mulai ada anak nagari Kubang yang sekolah di HIS Sawahlunto yaitu sekolah berbahasa Belanda setingkat SD tapi sampai kelas tujuh. Mereka antara lain adalah Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati dari suku Panai yang merupakan anak dari H. Muhammad Jamin Pono Batuah. Hasan dari Batu Batuganntuang, suku Panai. Anwar Boeat suku Payabadar, anak dari H.Boet Dt. Rajo Nan Gadang. dan lain-lain. H. Boeat Dt. Rajo Nan Gadang adalah keponakan H.Muhammad Jamin, pernah menjabat sebagai kepala pos Sawahlunto pada masa Pemerintahan Kolonia Belanda. HIS berdiri di gedung SMP Negri 1 Sawahlunto sekarang. HIS atau Hollandsch Inlandsche School sebenarnya adalah tempat sekolahnya sinyo-sinyo Belanda di Sawahlunto. Namun kemudian anak-anak pribumi juga bisa sekolah di HIS dengan syarat anak orang terpandang atau orang yang disegani dan sanggup membayar sekolah mahal itu.
Itulah perubahan signifikan yang terjadi pada masyarakat adat nagari Kubang sejak pasca peristiwa Porang Tahun Salapan sampai masa setelahnya, khususnya masa kepemimpinan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo. Walaupun protes terhadap Pemerintah Kolonial tak henti-hentinya dilakukan akibat tanah ulayat mereka diduduki secara ilegal menurut hukum adat. Namun anak-anak nagari juga didorong terus agar ikut membaur dengan pendatang menjalani berbagai profesi. Sementara itu di bidang pendidikan terus tumbuh antusiasme untuk bersekolah mengecap pendidikan formal pada anak-anak nagari. Dorongan kepada anak nagari terus di berikan agar pemuda-pemudi nagari Kubang tak tertinggal jauh dibidang pendidikan dan ekonomi dari para pendatang. Sikap seperti itu terus disokong oleh pemuka-pemuka nagari Kubang.
Perubahan sikap pemuka-pemuka nagari Kubang dari sikap konfrontasi terbuka terhadap Pemerintah Kolonial kepada sikap untuk lebih mengutamakan peningkatan taraf penghiduan melalui pendidikan dan menekuni berbagai profesi, bukan tanpa sebab. Tapi karena berkaca kepada kenyataan bahwa pemerintah kolonial juga mulai sidikit meberubah sikapnya terhadap masyarakat adat dan masyarakat pribumi umumnya. Perubahan sikap Pemerintah Kolonial itu bukan pada perubahan sikap terhadap konflik tanah ulayat. Tapi sedikit mulai terlihat perubahan sikap ketika mereka berinisiatif melakukan perdamaian dengan masyarakat adat nagari Kubang pasca peristiwa Porang Tahun Salapan. Ternya peristiwa Porang Tahun Salapan di Sawahlunto itu telah ikut menjadi andil dalam merubah cara pandang politik Pemerintah Kolonial terhadap pribumi. Apakah itu merupakan bagian dari Politik Etis pemerintah kolonial di Sawahlunto. Yaitu sebuah sikap dan cara pandang mereka terhadap pribumi yang lebih bermartabat dari pada masa sebelumnya, wallahu a'lam. Politik etis mencuat pada awal tahun 1900-an atas kritik bangsa Belanda sendiri kepada Pemerintahnya yang menghalalkan segala cara demi mengekploitasi sumber daya alam di Hindia Belanda (Indonesia) untuk membangun negeri mereka (Belanda).
Perubahan sikap dari pemuka-pemuka nagari Kubang itu juga disebabkan oleh cengkraman Pemerintah Kolonial di Sawahlunto. Dari waktu ke waktu cengraman itu terasa semakin kuat dan tak mungkin lagi bisa di lawan dengan cara konfrontasi terbuka (perang). Sikap-sikap konfrontatif terbuka tidak membuat mereka hengkang dari tanah ulayat. Justru sebaliknya mereka semakin kuat dan masyarakat adat nagari Kubang yang justru semakin terpuruk. Cukuplah hanya kerugian materil yang didapat. Tapi di dibidang-bidang lain seperti pendidikan, spiritual keagamaan, ekonomi dan lain-lain jangan sampai masyarkat juga mengalami kerugian. Jangan sampai orang membantai kerbau di halaman tapi kita kebagian darahnya saja. Begitulah cara pandang baru dari para pemimpin-pemimpin nagari Kubang setelah peristiwa Porang Tahun Salapan.
Maka tak salah bila Indonesia kini menetapkan pada tahun 1908 itu sebagai titik balik mulainya pola baru perjuangan dengan meningkatkan pendidikan atau memberantas kebodohan dalam melawan penjajah. Ide itu juga tercetus di nagari Kubang, tak lama setelah berdirinya perkumpulan Budi Utomo di Jawa. Sikap itu juga terus ditunjukkan pada masa nagari Kubang di bawah kepemimpinan Angkupalo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo.
Wallahu a'lam bissawab***.
(Bersambung ke tulisan kedua...)
Keterangan gambar:
Angkupalo Muhammad Rasyad Dt. Maharajo Kayo alias Angkupalo Ma'osek alias Angkupalo Babulu Lidah. Meninggal tahun 1938 ketika menjabat sebagai Angkupalo nagari Kubang. Awalnya makam beliau di Bukik Kubang, Desa Pasar Kubang, belakangan makam beliau di pindahkan ke Kelurahan Air Dingin Sawahlunto.
Komentar
Posting Komentar