PEMIMPIN NAGARI KUBANG SAWAHLUNTO DARI MASA KE MASA DAN DINAMIKANYA (1)

Pemimpin nagari Kubang Sawahlunto sebelum kemerdekaan namanya angkupalo. Istilah Walinagari baru ada setelah zaman kemerdekaan. Syarat menjadi angkupalo di nagari Kubang haruslah seorang pangulu (datuk) dari suku-suku yang ada di nagari Kubang. Ada beberapa orang angkupalo atau pemimpin nagari Kubang yang populer di zaman sebelum kemerdekaan. Tetapi sangat kurang sekali catatan tertulis mengenai kiprah kepemimpinan mereka  pada zamannya.

Pada tulisan kali ini penulis mencoba mengulas khusus mengenai kepemimpinan Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah sebagai seorang angkupalo nagari Kubang pada zaman penjajahan Belanda. Tidak ada catatan resmi sejak kapan Jakfar Dt. Rajo Batuah ini diangkat menjadi Angkupalo nagari Kubang. Namun sebuah makalah mengenai bimbingan adat untuk niniak mamak yang ditulis oleh H. Edrizon Effendi SE Khatib Basa, mantan ketua KAN nagari Kubang periode 2014-2018 dan 2018-2022 menulis bahwa Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah memimpin nagari Kubang pada periode tahun 1875-1905. Wallahu a'lam.

Tetapi ada makalah lain yang ditulis oleh Abu Salfani tahun 1979 mengenai Perlawanan Rakyat Kubang dan Lunto tahun 1908. Disana tertulis bahwa pada saat perdamaian pasca perang di Balikubang tahun 1908, yaitu antara Pemerintah Kolonial Belanda dengan masyarakat adat nagari Kubang, Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batua  hadir sebagai perwakilan satu-satunya dari nagari Kubang yang disebutkan. Itu berarti pada tahun 1908 Jakfar Dt.Rajo Batuah masih menjabat sebagai Angkupalo nagari Kubang. Kemungkinan Abu Salfani adalah benar karena ketika risetnya dilakukan di penghujung tahun 1970-an, masih banyak orang tua-tua terdahulu yang masih hidup sebagai sumber informasi. Tapi kapan berakhirnya kepemimpinan Angkupalo Jakfar dan siapa penggantinya?. Penulis juga belum mengetahuinya.

Banyak dinamika yang terjadi saat nagari Kubang dipimpin oleh Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah. Karena dimasa kepemimpinan beliaulah Pemerintah Kolonial Hindia Belanda mulai mengeksploitasi batubara di daerah ini. Kemudian menjadikan daerah persawahan milik masyarakat adat nagari Kubang yang berlokasi di Ilia itu menjadi base camp-nya. Saat itu Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah juga adalah seorang Pangulu (Datuk) Suku Supanjang dari kaum Tarataklawuik. Panggilan masa kecil beliau atau nama kecil beliau adalah Jo'pai. Karena itu beliau juga populer dengan sebutan Angkupalo Jo'pai. 

Ketika eksploitasi batubara mulai dilakukan oleh Pemerintah Kolonial Belanda, daerah Persawahan dan perladangan yang oleh masyarkat nagari Kubang disebut daerah Ilia (hilir) ini, sudah lama dijadikan tempat menetap oleh keluarga-keluarga yang bersawah dan berladang di sana. Mungkin saat itu sudah ada belasan keluarga dari masyarakat adat nagari Kubang yang sudah menetap di daerah Ilia (hilir) ini. Mereka menetap karena jarak yang cukup jauh ke rumah-rumah gadang mereka di Mudiak (hulu) yaitu sekitar tujuh sampai delapan kilometer menyusuri Sungai Batang Lunto.

Setelah menjadi pusat pertambangan batubara milik Pemerintah Kolonial Hindia Belanda maka daerah Ilia ini semakin ramai. Pemerintah Kolonial kemudian menamakan daerah itu dengan Sawahlunto. Arti dari Sawahlunto itu sendiri adalah daerah persawahan yang di aliri oleh Sungai Batang Lunto. Dan persawahan itu adalah milik masyarakat adat nagari Kubang.

Apa yang dilakukan oleh Pemerintah Kolonial di Sawahlunto waktu itu, telah membuat  masyarakat adat nagari Kubang kehilangan sawah dan ladang mereka, sekaligus juga kehilangan mata pencahariannya. Sebagian tanah ulayat nagari yang berada disekitarnya juga telah dicaplok. Di atas sawah dan ladang mereka itu dibangun pusat aktifitas penambangan seperti; area perkantoran, perumahan/ mes karyawan, jalur tranportasi dan fasilitas lainnya. Juga dibangun lobang tambang batubara menuju perut bumi berikut jalur transportasinya. Tetapi masyarakat adat nagari Kubang yang teguh memegang prinsip adat dan agama, tidak sudi bekerja sebagai buruh di perusahaan tambang batubara yang telah mengecewakan mereka itu. Apalagi para buruhnya diperlakukan kurang manusiawi. Akhirnya ribuan buruh kontrak didatangkan dari luar daerah bahkan dari luar negeri seperti dari Cina. Selain itu ada pula ribuan narapidana yang didatangkan dari Jawa untuk menjalankan masa hukumannya dengan dipekerjakan sebagai kuli tambang. Diantara mereka yang di cap sebagai narapidana ini sebenarnya ada pula orang-orang yang dihukum karena perlawanannya kepada ketidakadilan oleh Pemerintah Kolonial di daerahnya. Kuli tambang yang berlatar belakang narapidana inilah yang dikenal dengan istilah Orang Rantai. Disebut demikian karena mereka dipekerjakan dengan dipasangkan rantai besi agar tidak melawan dan tidak kabur. Sebuah fenomena yang jauh dari nilai-nilai kemanusiaan. Sejak 1 Desember 1888 daerah Ilia atau daerah yang dikenal dengan Sawahlunto ini akhirnya diakui menjadi sebuah kota di bawah Afdeling Tanah Datar. Tanggal 1 Desember ini sekarang ditetapkan sebagai hari jadi kota Sawahlunto.

Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah adalah tokoh yang sangat berpengaruh di nagari. Karena itu Pemerintah Kolonial dengan segala kecerdikannya berhasil membujuk beliau menjadi pegawai di pemerintahannya. Pada saat itu Pemerintah Kolonial juga mengangkat Abdul Majid (Nan Dirawang) yang merupakan orang tua dari Tuanku H. Khatib, sebagai Laras pertama dari Kelarasan Silungkang. Kelarasan Silungkang  terdiri dari tiga nagari yaitu Kubang, Silungkang dan Lunto. Namun Abdul Majid mengundurkan diri dan hanya menjabat selama enam bulan saja sebagai Laras. Beliau digantikan oleh Dja'ar St. Pamuncak dari nagari Silungkang. Baik Jakfar Dt. Rajo Batuah maupun Abdul Majid keduanya adalah pemuka masyarakat Kubang yang berasal dari suku Supanjang kaum Tarataklawuik. Lain halnya dengan Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah yang merupakan seorang ahli adat, dengan segala pertimbangannya, beliau tetap sebagai pegawai Pemerintahan Belanda sampai memasuki masa pensiun. Dimasa  tuanya beliaupun mendapat pensiun dari Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Karena itu masyarakat menjuliki juga beliau dengan sebutan Angkupalo Pensiun

Karena berada dalam posisi seperti ini dalam waktu yang lama, mungkin sekitar 30 tahun, tentu saja membuat Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah kehilangan tajinya dalam membendung kecerdikan Pemerintah Kolonial yang membawa kapital besar untuk menduduki tanah ulayat mereka. Eksploitasi terus dijalankan dengan gencar oleh Pemerintah Kolonial sampai akhirnya batubara mulai diproduksi 1892. Selama itu pula masyarakat adat nagari Kubang hanya diberikan janji-janji manis saja oleh Pemerintah Kolonial. Mereka tetap tidak mendapatkan kompensasi  dan komitmen fee dari Pemerintah Kolonial sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku. Tentu saja ini terus menuai gejolak di masyarakat yang egaliter.

Untuk meredam gejolak itu, akhirnya Pemerintah Kolonial berwacana memberikan uang sejumlah 1500 gulden kepada niniak mamak nan ampek jinih di Nagari Kubang. Sehingga ada enam orang pangulu, enam orang manti, enam orang dubalang dan enam orang malin yang mendapat bagian. Enam orang pangulu itu masing-masing mendapat seratus gulden sedangkan delapan belas orang lainnya (manti, dubalang dan malin) mendapat masing-masing limapuluh gulden. Setelah itu Pemerintah Kolonial juga berwacana memberikan uang sejumlah 500 gulden kepada masyarakat adat nagari Kubang untuk penyelenggaraan pesta adat. Perintah pembayaran seperti itu langsung turun dari Gubernur Jendral Hindia Belanda khusus untuk nagari Kubang, tapi tanpa adanya musyawarah. Perintah itu tertuang dalam surat Gubernur Jendral Hindia Belanda no.1695 tanggal 26 Maret 1892. Padahal saat itu eksploitasi telah berlangsung selama belasan tahun. Tetapi kapan surat perintah Gubernur Jendral itu direalisasikan oleh jajaran di bawahnya, tidak pula ditemukan bukti yang kongkrit seperti kwitansi dan lain-lain. Yang ada hanya wacana-wacana pembayaran dari jajaran dibawahnya sampai tahun 1898.

Begitulah berbagai taktik yang dijalankan Pemerintah Kolonial dalam meredam gejolak masyarakat adat nagari Kubang atas eksploitasi yang dilakukan di tanah ulayatnya yang kaya raya. Tapi semua itu tetap tak bisa meredam gejolak dan protes dari masyarakat adat nagari Kubang. Sebab Pemerintah Kolonial tidak pernah menunjukkan dimana batas-batas konsensi penambangannya. Pemerintah Kolonial terus saja membangun segala fasilitas diatas tanah ulyat tanpa kompromi lagi dengan masyarkat. Selain itu Pemerintah Kolonial tetap tidak pernah mengeluarkan komitmen fee sesuai dengan ketentuan adat sebesar 10% (dalam sapuluah kalua ciek) dari batubara yang mereka keruk. Bahkan Pemerintah Kolonial juga menguras hasil hutan di ulayat nagari mulai dari daerah Rimbo Poriang (Rimbo Sati) sampai daerah Puncak Guak Suga (Puncak Polan) seperti kayu dan lain-lain untuk pembangunan berbagai infrastruktur yang sedang mereka bangun. Padahal sejatinya daerah itu selama ini adalah termasuk sumber penghidupan masyarakat adat, baik hasil hutannya seperti kayu dan lain-lain maupun sebagai padang pengembalaan dan daerah perburuan. Kekayaan hutan yang di kuras itu juga tampa mengeluarkan komitmen fee untuk nagari, padahal semuanya sudah di atur dalam adat.

Uang sejumlah 1500 gulden buat niniak mamak yang tak jelas peruntukannya dan tak jelas kapan realisasinya itu, dianggap oleh masyarakat sebagai uang siliah jariah yaitu uang pengganti tanaman pertanian mereka yang dirusak. Karena itu, jelaslah bahwa tak ada pelepasan hak atas ulayat mereka karena eksploitasi tambang batubara itu. Yang ada  justru Pemerintah Kolonial terus menerus membuat kecurangan terhadap masyarakat adat nagari Kubang.

Disaat kekecewaan masyarakat belum terobati muncul pula gagasan dari pemerintah Kolonial Belanda untuk menerapkan kerja paksa kepada masyarakat adat serta menarik belasting (pajak) terhadap tanah pusako dan ternak peliharaan masyarakat. Angkupalo Jakfar beserta para pangulu dan niniakmamak umumnya, tetap tak bisa berbuat apa-apa untuk menentang kebijakan itu.Tentu saja ini semakin memperuncing keadaan. Karena akumulasi kekecewaan dan amarah masyarakat adat itu maka terjadilah perang pada tahun 1908. Perang ini dikenal dengan Porang Tahun Salapan. Perang ini akhirnya dimotori oleh tokoh ulama. Peristiwa Porang Tahun Salapan ini sudah dibahas tersendiri blog ini.

Seperti disebutkan di atas bahwa peran para pangulu (datuk) dan peran Angkupalo (pemimpin) nagari Kubang tidak disebut-sebut pada peristiwa Porang Tahun Salapan itu. Dari banyaknya masyarakat yang ditangkap selama periode Tuanku Khatib di penjara yaitu selama sembilan bulan, tak ada informasi yang menyatakan bahwa seorang angkupalo ikut ditangkap atau ada pangulu yang dipenjara oleh Pemerintah Kolonial. Dimanakah mereka berdiri saat itu?. 

Angkupalo beserta para Pangulu saat itu kemungkinan berdiri di kedua posisi. Satu kaki berada di posisi tanah ulayat dan masyarakatnya, dan satu kaki lagi berdiri di posisi Pemerintah Kolonial Hindia Belanda. Sikap ini tentu membuat mereka kehilangan tajinya di hadapan Pemerintah Kolonial. Tapi sikap ini sebetulnya juga diperlukan karena perlawanan yang membabi buta terhadap Pemerintah Kolonial akan berakibat fatal. Saat 
itu ibarat menantang matahari. Tapi ada hal-hal yang prinsip dimana Angkupalo dan para pangulu tetap berada di posisi masyarakat adatnya. Diantaranya seperti prinsip adat yang menyatakan bahwa pusako hanya bisa dilepas dengan hibah atau gadai. Begitu juga mereka masih sama-sama memegang prinsip adat yang mengatur tanah ulayat berbunyi ka bawah takasiak bulan ka ateh taambun jantan, ka lawuik babungo karang, ka sungai babungo pasia, ka sawah babungo padi, ka rimbo babungo kayu, ka tanah babungo ameh dalam sapuluah kalua ciek (10%). 

Hal-hal inilah yang membuat Angkupalo Jakfar Dt. Rajo Batuah dan para pangulu (datuk) waktu Porang Tahun Salapan hanya berperan di belakang layar. Sehingga pada pasca perang itu, mereka bisa bertindak seperti sebagai mediator. Akhirnya tak terjadi hukuman pembuangan ke negeri yang jauh terhadap Tuanku H. Khatib sebagai pemimpin spiritual Porang Tahun Salapan, sebagaimana yang terjadi pada perlawanan-perlawanan rakyat di daerah lain. Selain itu Angkupalo Jakfar dan para pangulu serta para pemuka nagari Kubang yang terkait dalam tigo tungku sajarangan, juga berperan penting dalam mendapatkan kompensasi pasca perang dari Pemerintah Kolonial berupa pembangunan tiga ruangan kelas Sekolah Rakyat di Balaikubang dengan kurikulum dari Pemerintah Kolonial Belanda di Sawahlunto. Juga mendapat kompensasi berupa pembanguna beberapa buah titian atau jembatan di Batang Lunto seperti Titian Pandakian di Sawahbayu, Titian Masojik di Mesjid Baitunnur dan Titian Kapalokoto di Kapalokoto/ Datai. Juga mendapat kempensasi berupa Pembangunan Balai-Balai Adat di Balaikubang dan lain-lain. Semua itu dibangun hanya dalam waktu beberapa tahun pasca Porang Tahun Salapan sebagai kompensasi perang. Yaitu kira-kira dalam rentang tahun 1909-1911. Sekolah Rakyat yang tiga kelas itu merupakan cikal-bakal SD Negri no.1 Kubang sekarang. Inilah SD Negeri tertua di daerah Sawahlunto dan sekitarnya.

Jika ditilik dari sisi adat bahwa tradisi perdamaian dengan membantai kerbau yang di prakarsai oleh Pemerintahan Kolonial di Balaikubang itu, serta segala kompensasinya itu, merupakan suatu "pengakuan kesalahan" oleh Pemerintah Kolonial Belanda kepada masyarakat adat nagari Kubang atas apa yang telah mereka lakukan terhadap tanah ulayat nagari Kubang di Ilia  (Sawahlunto). Walaupun secara materi nagari sangat durugikan atas  eksploitasi batubara itu, tetapi nagari menang secara moril karena Pemerintah Kolonial  mengakui kesalahannya. Walaupun kemudian penjajah tetaplah penjajah. Setelah adanya kesepakatan damai itu mereka tetap melakukan kecurangan-kecurangan dan terus mengeksploitasi tanah ulayat dan mengeruk isi perut buminya tanpa batas konsesi yang jelas dan tanpa mengeluarkan komitmen fee sesuai adat. Ini mungkin sebuah kasus yang unik yang terjadi di wilayah jajahan Kolonial Belanda bila dibandingkan dengan daerah-daerah jajahannya yang lain di Nusantara. Pada rentang waktu yang hampir bersamaan dengan eksploitasi batubara di Sawahlunto, Pemerintah Kolonial juga membuka pertambangan batubara di Kutai Kartanegara. Tetapi pihak Kolonial telah mengeluarkan komitmen fee untuk Sultan Kutai. Begitu juga perkebunan tembakau di Deli dimana Sultan Deli juga mendapat komitmen fee atas keuntungan dari perkebunan tembakau itu. Lihatlah bagaimana megahnya kesultanan Deli waktu itu. Begitu juga yang terjadi di daerah-daerah lain yang notabene adalah daerah penganut sistim monarki yang diperintah oleh seorang raja. Apakah karena Pemerintahan Kolonial Belanda juga penganut sistim monarki yang diperintah oleh seorang ratu, sehingga kerjasama bisnisnya lebih mudah dan tidak terjadi gejolak atas eksploitasi ulayat mereka?. Kemungkinannya memang demikian. Mereka lebih nyambung karena sama-sama nenganut sistim pemerintahan monarki dan pemerintahan Kolonial Belanda lebih menghargai daerah-daerah dengan sistim pemerintahan monarki atau kerajaan.
 
Ketika sistim monarki pemerintahan kolonial Belanda bertemu dengan sistim demokrasi yang egaliter seperti yang dianut nagari Kubang dan nagari-nagari di Minangkabau umumnya, disitulah kedua kubu yang berkepentingan itu selalu bagalumpai (bertengkar). Karena itu, gelombang protes terus bergulir di masyarakat adat nagari Kubang sampai akhir pendudukan Pemerintahan Kolonial Belanda di Sawahlinto. Sampai sekarang tradisi membantai kerbau itu masih berlaku bagi penyerobot tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto. Ini mungkin sebuah tradisi yang unik tapi sarat dengan pesan-pesan moral dan etika serta sebuah solusi untuk jalan perdamaian.
Wallahu a'lam bissawab***

Ket. Gambar : 
Mesjid Baitunnur Kubang saat ini. Sebuah sumber mengatakan Mesjid Baitunnur berdiri tahun 1858 di Lubuak bayiak. Setelah itu pindah ke lokasi saat ini tapi beratap ijuk. Selain tempat ibadah dan pengajian, dari dulu medjid ini juga menjadi tempat pusat kegiatan yang bersifat nagari. Seperti tempat bermusyawarah para pemimpin-pemimpin nagari, tempat basis perlawanan terhadap kolonial, tempat basis perjuangan kemerdekaan dan lain-lain.
        
        


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)