Alm. Kapten. AMIR JAMIN Dt. Rajo Nan Sati dan Sepenggal Kisah Sang Komandan

Kapten Amir Jamin Dt.Rajo Nan Sati dilahirkan tanggal 14 Agustus 1921 di Nagari Kubang Sawahlunto, Sumatra Barat. Ayahnya H. M. Jamin Pono Batuah adalah seorang saudagar ternak dan ennemer di Sawahlunto. Ibunya hanyalah ibu rumahtangga biasa bernama Siti Malia.
Pada usia tujuh tahun orangtua Amir memasukkannya kesekolah Belanda HIS di Sawahlunto. Tahun 1935 iapun menamatkan HIS dan pada tahun itu juga dia merantau ke Bogor. Saat usianya baru 14 tahun.

Tujuan utama Amir ke Bogor adalah pergi berdagang dan menemui kakak sepupunya bernama Sya'ir ( biasa di panggil Sya'ia ) yang merupakan keponakan dari H.M. Jamin dan sudah lebih dulu merantau ke Bogor. Ayahnya H.M. Jamin  adalah orang cukup terpandang di Nagari Kubang waktu itu. Beliau membekali anaknya dengan modal yg cukup untuk berdagang di Bogor dengan bimbingan Sya'ir yg lebih tua ( kira- kira lebih tua10 tahun)  dan telah berpengalaman. Disini terlihat sebenarnya ayah Amir ( H.M. Jamin) sangat kuat memegang pituah adat Minangkabau yang berbunyi "anak dipangku kemenakan (ponakan) dibimbing". Bahwa maksud dari modal usaha yg dibawa oleh Amir yg masih belia ini ke Bogor adalah sekaligus untuk memodali ponakannya yaitu Sya'ir. 

Di Bogor Amir berdagang tidak memulainya dr nol. Usaha yg sudah dirintis sya'ir lah ( toko kelontong ) yang di kembangkan. Dari awal hanya satu toko akhirnya dalam kurun waktu dua tahun ( 1935 - 1937) berkembang jadi dua toko di Pasar Anyar Bogor. Kedua tokonya itu maju dengan pesat.

Walaupun merantau ke Bogor dalam usia terbilang sangat belia yakni 14 tahun namun Amir cepat menyesuaikan diri. Karena sudah fasih berbahasa Belanda dan inggris sejak waktu masih sekolah HIS di Sawahlunto. Hal ini membuat Amir mudah  bergaul dg berbagai kalangan di Bogor. Baik dari pribumi maupaun Belanda. Bahkan Amir juga berkawan dengan beberapa orang Jepang yang ternyata adalah agen rahasia Jepang yang menyusup ke Bogor sebelum  perang dunia II meletus (1939) sebagai mata-mata. Dari agen rahasia Jepang inilah Amir belajar bahasa Jepang sehingga akhirnya bisa bicara bahasa Jepang dengan fasih. Hal ini yang akhirnya nanti  mengantarkan Amir menjadi penerjemah sewaktu jadi perwira Gyugun di Padang.

Salah satu kegemaran Amir dari muda adalah membaca. Kegemarannya ini jadi tersalurkan dengan baik sejak awal Amir di Bogor. Koran-koran pergerakan kaum nasionalis berbahasa Belanda jadi menu santapannya setiap hari. Disinilah Amir muda mulai mengikuti arah perkembangan pergerakan Nasional yakni menuju Kemerdekaan Indonesia. Pemikiran-pemikiran para tokoh pergerakan seperti H. Agus Salim , Ir. Sukarno, Tan Malaka, Hatta, syahrir dan tokoh-yokoh pergerakan lain menjadi tokoh-tokoh yang sangat dikagumi Amir saat itu.
Jiwa mudanya mulai mendidih sementara jiwa nasionalismenya yg anti penjajahan sebetulnya sudah tumbuh dari kecil karena kakeknya H. Agah (1838-1915) adalah seorang pemimpin perlawanan rakyat Kubang terhadap kolonialisme Belanda serta sorang pemimpin spiritual yang kharismatik. Sebuah perang melawan penjajahan atas pajak (belasting) dan perampasan tanah ulayatnya oleh kolonial Belanda di pertambangan batubara Ombilin Sawahlunto  tahun 1908. Pemberontakan ini hanya dia gerakkannya dari penjara . Di Bogor Amir yang masih belia ( 14-17 tahun)  mulai menemukan jati dirinya sebagai seorang nasionalis ketika usaha perdagangannya dengan sya'ir mulai maju. Akibatnya justru semangat dagangnya saat itu malah sebaliknya.  Mulai menurun. Dunia pergerakan kemerdekaan yang sedang menggeliat itu tampaknya lebih menarik baginya.

Suatu pagi ketika membaca sebuah koran Berbahasa Belanda tiba- tiba Amir melihat pengumuman adanya perekrutan serdaru KNIL sebagai taruna angkatan laut yg berbasis di Surabaya. Diam-diam  Amir mengajukan lamaran tanpa sepengetahuan sepupunya Sya'ir. 
Tekadnya untuk mendalami ilmu kemiliteran sudah ada sejak dari kampung. Ilmu beladiri silat yg sudah dibekali oleh ayahnya sejak kecil dg mendatangkan guru silat secara privat adalah sebagai modal awalnya. 

Akhirnya setalah melamar sebagai serdadu angatan laut KNIL di Surabaya baru Amir memberi tahu niatnya itu kepada Sya'ir. Bak disambar petir Sya'ir pun kaget. Sya'ir sangat khawatir dg niat Amir itu bukan hanya melihat usaha mereka yang mulai maju itu saja. Tapi dia lebih khawatir jika mamaknya (pamannya) H.M. Jamin memarihinya karena sejak awal beliau menompangkan Amir padanya di Bogor adalah untuk berdagang bersamanya.  Maka diam-diam laporan pun dilayangkang Syair ke kampung halaman kepada pamannya itu tanpa sepengetahuan Amir lewat sepucuk surat bahwa Amir sedang melamar jadi serdadu KNIL Angatan Laut di Surabaya.
Bak gayung bersambut sepucuk suratpun dilayangkan H.M. Jamin kepana anaknya agar mengurungkan niatnya jadi serdadu Angkatan Laut KNIL. Alasannya yg utama adalah karena dia mau anaknya jadi saudagar saja. Sementara itu pada saat yang bersamaan di Bogor Amir pun dapat panggilan untuk menjalankan pendidikan sebagai serdadu KNIL di Surabaya itu. Dengan segala pertimbangan akhirnya Amir mengurungkan niatnya lalu mengabaikan panggilan itu. Saat itu ia lebih patuh kepada ayahnya.

Seiring berjalannya waktu tak lama setelah kejadian itu kembali Amir mendengar ada penerimaan siswa di Sekolah Kepolisian di Salabintana Sukabumi. Kali ini Amir nekad untuk mengajukan lamaran tanpa memberi tahu Sya'ir lagi. Baginya bukan sebagai serdadu KNIL atau polisi Belanda yg diinginkannya. Tetapi mendalami ilmu kemiliteran yg utama. Situasi perang dingin yg mulai dirasakan sejak berkenalan dengan spionase Jepang di Bogor itu menunjukkan situasi dunia mulai memanas menjadi tolak ukurnya. Tiba-tiba dalam waktu yg tak terlalu lama dari memasukkan lamaran itu panggilan pun datang.  Dan Amir dengan tekad yang bulat telah memutuskan untuk berangkat menjalani pendidikan di Sekolah Kepolisian Belanda di Salabintana Sukabumi. Kali ini Sya'ir tak dapat berbuat banyak. Dia terpaksa membiarkan Amir mengejar impiannya itu dengan meninggalkan dua buah toko yg diserahkan pengelolaannya kepadanya. Pada tahun 1937 itu Amir mulai menjalani kehidupan di Asrama Sekolah  Kepolisian di Salabintana Sukabumi.

Pada tahun 1939 dalam usia 18 tahun Amir sudah menamatkan pendidikan di Sekolah itu. Begitu tamat Amir sempat  mendapat tugas di Kedunghalang Bogor (Brimob sekarang). Setelah itu ditempatkan di Metro Lampung sebagai seorang polisi.
Selama dua tahun  menjalani masa pendidikan di Sukabumi banyak hal yg di dapat oleh Amir sebagai upayanya untuk mengembangkan diri. Amir belajar banyak tentang arti kedisiplinan, ilmu persenjataan dan kepanduan, bagaimana mengasah alibi menjadi seorang polisi dan lain-lain. Pada akhirnya ini sangat berguna baginya dalam menjalani takdir kehidupan selanjutnya. Bahkan Amir juga aktif di grup maching Band Sekolah Kepolisian Hindia Belanda yg presticius itu sebagai peniup saksofon handal. 

Di Metro Lampung Amir menjalani profesi sebagai seorang polisi Hindia Belanda selama dua tahun (1939-1942). Pernah di tahun 1940 dia ditugaskan untuk menerima ribuan orang dari Jawa untuk ditempatkan didaerah Lampung sebagai transmigran oleh kolonia Belanda. Amir menyaksikan bagai mana Belanda mengirim manusia dengan kapal dan bus-bus yg penuh sesak. Melihat itu nasionalismenya semakin berontak namun tak bisa berbuat apa-apa. Konon keturunan inilah yang sebagian menjadi penduduk Lampung dan Metro sekarang.

Diusia remajanya ini (18-21 tahun) sudah berbagai lika-liku kehidupan yg di jalaninya. Namun jiwa mudanya yg selalu bergelora seperti tak mampu membendung dirinya untuak selalu bertualang. Suatu kali dimasa liburan yg cupup pendek saat dia mulai jenuh di Metro Lampung maka diapun berangkat ke Batavia dengan alasan hanya karena rindu ingin nonton di bioskop. Padahal sebenarnya juga sekalian ingin melihat bagaimana perkembangan kaum pergerakan di Batavia.

Tahun 1942 Jepang pun masuk ke Hindia Belanda ( Indonesia ). Di Sumatra serdadu Jepang masuk melalui jalur Singapura kemudian Palembang. Tersiar kabar bahwa  serdadu Jepang sudah masuk di Palembang. Maka di Lampung dan sekitarnya termasuk di Metro pegawai-pegawai pemerintahan Belanda lari menyelamatkan diri. Jawatan kepolisian Metro pun demikian. Para pimpinan Amir di kepolisian berkebangsaan Belanda meninggalkan tugas begitu saja tanpa ada komunikasi. Semua instansi lumpuh total ditinggal para pimpinannya. Ternyata sebuah kapal perang sekutu sudah menunggu di lepas pantai perairan Teluk Betung Lampung untuk menyelamatkan mereka ke Australia.

Saat itu Amir merenung. Apakah kolonialisme Belanda itu akan berakhir sekarang?. Jika itu benar maka apa yang dia perkiraannya selama ini akan terjadi. Bahwa akan datang masanya dimana Jepang akan menguasai bangsa kita bahkan dunia. Saat itulah ia teringat kampung halamannya. Disamping teringat nasib kedua orang tua dan sanak saudaranya di Kubang Sawahlunto yang sudah tujuh tahun ia tinggalkan Amir juga teringat bagaimana nasib tambang batubara Ombilin peninggalan Belanda. Sebab tersiar kabar bahwa Pasukan Jepang masuk terlebih dahulu ke Palembang adalah untuk menguasai objek-objek vital seperti tambang minyak Belanda di Plaju dan tambang timah di Bangka. Maka kemungkinan tambang batu bara Ombilin di Sawahlunto adalah target Jepang berikutnya. Akhirnya Amir memutuskan untuk kembali kekampung halamannya di Sawahlunto. 

Bogor, Sukabumi dan Batavia kini tinggal kenangan.  Dua buah tokonya di Bogor serta saudara sepupunya Sya'ir dan M.Syarif (datang belakangan) sangat berat untuk ditinggalkan. Apalagi bila ingat keinginan ayahnya H.M.Jamin Pono Batuah yang menginginkannya menjadi saudagar sukses. Begitu pula teman-temannya dari alumni Sekolah Kepolisian Sukabumi baik yang satu angkatan maupun bukan yg bertebaran di Batavia dan pulau Jawa. Tersebutlah sebuah nama R.S. Soekanto. Seniornya di alumni Sekolah Kepolisian Belanda di Sukabumi yg berasal dari Bogor sangat berpengaruh dalam masa-masa pendidikannya di sekolah kepolisian itu. Orang tua R.S Soekanto yg tinggal di Lawang Gintung Bogor menjadi orang tua angkat Amir selama di Bogor.

Namun tekad Amir telah bulat untuk kembali kekampung halaman di Sawahlunto. Sudah tujuh tahun dia merantau belum pernah pulang ke kampung halaman. Walau cita-cita jadi saudagar gagal sudah namun dia akan buktikan kepada kedua orangtuanya bahwa kepergiannya selama tujuh tahun tidaklah sia-sia. Bekal gemblengan di sekolah kepolisian dan gemblengan di "sekolah hidup" di Pasar Anyar Bogor akan bisa menjadi modal buatnya melangkah di situasi apapun di kampung halaman nanti.

Berhubung karena sulitnya perhubungan darat antara Lampung-Padang waktu itu (1942) maka Amir dan temannya bernama Hasan (juga seorang polisi Belanda) berangkat menuju kampung halaman. Masing-masing mengendarai sepeda menuju Sawahlunto (Amir) dan Padang (Hasan). Sementara untuk perbekalan mereka hanya bawa secukupnya. Justru perbekalan Yang  sangat mereka perlukan adalah senjata untuk melindungi diri serta buat menangkap buruan selama diperjalanan. Maka merekapun masing-masing  mengambil senapan dan pedang peninggalan Belanda. 

Karena beratnya medan yang ditempuh maka Perjalanan dari Metro Lampung ke Padang mereka tempuh dalam waktu 17 hari. Di sepanjang perjalanan mereka bermalam di mesjid atau langgar yg mereka temui. Dan disetiap kampung yg dilalui mereka kabarkan kepada masyarakat setempat bahwa Belanda sudah kalah dan Jepang sudah masuk. Karena lebatnya hutan dan beratnya medan (banyaknya sungai-sungai besar dll) maka berbagai macam rintangan mereka lalui di perjalanan. Apalagi pergerakan mereka yang harus hati-hati karena di daerah Palembang mereka sudah mulai main kucing-kucingan dengan pasukan Jepang yang sudah duluan sampai disana. Semua itu menjadikan pengalaman yg tak terlupakan oleh Amir yg kental dengan jiwa pertualangan itu.
Akhirnya sampai jualah mereka di Muarokalaban. Amir dan Hasan akhirnya berpisah setelah 17 hari bersama dalam perjalanan yang melelahkan. 

Inilah awal perjalanan hidup Kapten Amir Jamin Dt.Rajo Nan Sati. Perjalanan hidup berikutnya sebagai seorang militer dan pejuang  sungguh penuh misteri. Pejuang yang sarat pengalaman ditiga zaman berbeda. Sebagai perwira polisi belanda ( tamatan sekolah kepolian Belanda di Sukabumi tahun 1939). Sebagai perwira militer Jepang (Tamatan sekolah Militer Jepang Gyugun di Padang dengan pangkat Coi/ Letnan Satu).  Dimasa kemerdekaa mendirikan BKR di Sawahlunto dengan lebihkurang 200 Anak buah dengan pangkat Kapten. Sebagai penguasa militer daerah Sawahlunto sejak awal kemerdekaan hingga masa-masa agresi militer dan masa-masa PDRI. Masyarakat mencatat bagaimana kebijakannya untuk menyelamatkan tambang batubara Ombilin dan penduduk tambang dari kehancuran akibat peperangan dengan menjadikan nagari-nagari disekelilingnya sebagai tameng dan penyangga tambang.

Tiba-tiba sejak tahun 1950 namanya menghilang dari dinas kemiliteran. Benar bahwa masa-masa itu TNI mengalami kontraksi besar. Namun sebagai seorang  perwira tiga zaman yang sudah berkecimpung dikemiliteran sejak usia muda (17 tahun) dengan segudang pengalaman dan karir yang cemerlang serta menguasai tiga bahasa tiba-tiba namanya menghilang.  

Baru kemudian namanya muncul lagi sejak 1958 sebagai target Divisi Diponegoro dalam penumpasan PRRI. Rumahnya di Rumah Tapanggang Kenagarian Kubang Sawahlunto dibakar oleh Divisi Diponegoro (1960). Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati tertangkap lalu dipenjarakan (1961). Setelah satu setengah tahun di penjara diapun dapat amnesti dari Sukarno dan dibebaskan (1962). Sejak itu namanya menghilang lagi.  Negara tak pernah mengakui perjuangannya sejak awal kemerdekaan sebagai seorang tentara pejuang dan pendiri TNI sampai akhir hayatnya. 

Kemudian Pada tahun 1985 setelah 35 tahun namanya menghilang dari kemeliteran (1950) tiba-tiba negara  mengakuinya sebagi seorang purnawirawan TNI AD berpangkat kapten denga nomor NRP : 023 dari divisi IX Banteng. Padahal semua teman seperjuangannya yang satu angkatan sama-sama perwira coi Gyugun Jepang  berpangkat  "Letnan Kolonel" pada masa awal kemerdekaan, yaitu saat Divisi Banteng terbentuk 1 Januari 1946. Sebut saja seperti Letkol Dahlan Djambek, Letko Ismail Lengah, Letkol Dahlan Ibrahim dan Letkol Syarif Usaman. Hanya Amir Jamin yang berpangkat Kapten.
Sejak 1985 itu beliau menerima pensiun sebagai kapten purnawirawan hingga meninggal Januari 1993. Walaupun demikian namanya tetap hilang penuh misteri dari catatan lembaran negara sebagai pejuang kemerdekaan.

Bersyukurlah masyarakat nagari Kubang  Sawahlunto tetap mencatatnya sebagai pejuang kemerdekaan. Bahwa Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati adalah Datuk mereka (dari tahun 1945-1991) dan Komandan mereka dalam perjuangan kemerdekaan daerah Kabupaten Sawahlunto Sijunjung periode 1945-1950. Juga komandan mereka yang selalu berperang sepanjang hidupnya terhadap kemiskinan dan ketidakadilan***.
  
Keterangan gambar :
Alm. Kapten Amir Jamin Dt. Rajo  Nan Sati Tahun 1982.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Sekapur Sirih dari Rantau

OCMHS: Membangun Citra Ditengah Defisit