Mendongrak Perekonomian Nagari Berdasarkan Kearifan Lokalnya [2]

Pada pertengan tahun 90-an, Seorang Guru Besar IPB Prof. Bungaran Saragih menulis di Harian Kompas tentang pemikirannya mengenai seringnya terjadi penggusuran terhadap masyarakat kecil akibat pembangunan. Tulisannya itu menyoroti maraknya pembangunan lapangan golf di daerah Jabodetabek yang mengakibatkan penggusuran. 

Prof. Bungaran mempertanyakan sepenting apakah lapangan golf itu sehingga menyebabkan penggusuran dibandingkan dengan kepentingan rakyat yang tergusur. Prof. Bungaran mengatakan bahwa kalau memang harus menggusur masyarakat untuk sebuah kepentingan bisnis apakah tidak ada skema lain sebagai solusi yang sama-sama menguntungkan antara pemilik lahan dengan pemilik kapital. 

Prof. Bungaran Saragih memberikan sebuah skema yang merupakan win-win solution bagi kedua belah pihak agar keadilan itu bisa ditegakkan, yaitu bagaimana jika lahan masyarakat itu dihitung sebagai saham oleh investor. Sehingga walaupun masyarkat tetap tergusur namun mereka tidak tergusur sepenuhnya melainkan mereka tetap punya saham di bisnis itu. Atau setidaknya lahan mereka punya nilai tambah melebihi harga jualnya. Dengan demikian keluarga mereka ada jaminan masa depan dari keuntungan atas bisnis yang berputar di atas lahannya. Konsep yang ditawarkan oleh Prof. Bungaran Saragih ini sebenarnya mirip konsep syari'ah yang kemudian menjadi salah satu model bisnis properti perbankan syari'ah yang marak saat ini.

Dalam dunia agribisnis seharusnya perbankan syari'ah juga bisa menerapkan prinsip-prinsip syari'ah itu dengan tidak memakai sistim agunan dan bunga bank dalam meminjamkan modal kepada petani atau peternak, tetapi murni profit sharing (bagi keuntungan). Namun kenyataannyaa ini masih sulit diterapkan di lapangan oleh perbankan syari'ah yang tumbuh menjamur belakangan ini. Kebanyakan ini baru hanya sebatas teori saja. Sementara dalam prakteknya petani tetap saja kesulitan mendapat modal tanpa agunan dan bunga bank. 

Karena "modal" menjadi hal penting dalam dunia agrobisnis, maka terbersit sebuah pemikiran sebagai solusi buat daerah-daerah dimana prinsip-prinsip agribisnis syari'ah  sudah merupakan kearifan lokalnya baik dalam bidang pertanian maupun peternakan. Seperti misalnya yang terjadi di nagari-nagari di Minangkabau, khususnya nagari Kubang Sawahlunto. Hanya di sini perlu sedikit inovasi. Konsep pemikiran ini adalah untuk memanfaatkan lahan tidur yang ditinggal merantau oleh pemiliknya atau lahan-lahan tidur lainnya. Tujuannya untuk memutar roda ekonomi agrobisnis di nagari. Konsep pemikiran itu terdiri dari tiga unsur utama yang saling bersinergi yaitu pemilik lahan, investor (pemodal) dan pengelola (petani). 
Konsep ini pada dasarnya sama dengan  
mampaduoi yang sudah di tulis di blog gindobonsu.blogspot.com terdahulu dan masih dengan semangat syari'ah yaitu profit sharing (bagi keuntungan). Hanya saja di sini ada investor sebaga pengganti perbankan yang tak mau menanggung resiko dan tak mau sistim profit sharing.

Kenapa pemilik lahan dan pengelola (petaninya) adalah orang yang berbeda?.  Tentu karena pemilik lahan umumnya sudah bukan mengandalkan hidup dari bertani lagi karena sudah merantau. Tapi  mungkin saja dia ingin membantu kampung halaman dengan berinvestasi dibidang agrobisnis. Karena itu investor (pemodal) dan pemilik lahan justru orang yang sama tapi dia tak punya waktu dan tenaga untuk mengelola lahannya. Sehingga dia butuh orang yang akan mengelola lahannya. 

Namun dalam skema ini bisa juga sebaliknya, yaitu pemilik lahan dan petaninya adalah orang yang sama karena dia masih menetap dikampung, tapi dia tak kuat di modal. Karena itu dia perlu mencari investor. Atau skema ini bisa juga investor dan petaninya adalah orang yang sama karena dia tinggal di kampung, tetapi dia tak punya lahan. Karena itu dia mencari dan membutuhkan pemilik lahan untuk berkolaborasi.Walaupun dua unsur diperankan oleh orang yang sama dalam berbagai skema ini, namun skema profit sharing dengan tiga unsur ini tetap di berlakukan agar profit sharing itu berjalan secara fair.

Tetapi bisa juga lahan itu adalah lahan tidur milik ulayat nagari. Kalau begini keadaannya tentu agak berbeda sedikit skema pengelolaannya, karena ada unsur adat nan salingka nagari yang harus di akomodir. Biasanya ada ketentuan yang berlaku didalam nagari yang harus diakomodir. Namun dengan sedikit mengutak-atik skema profit sharing yang sudah ada maka ketentuan adat nan salingka nagari itu bisa diakomodir. Peluang penerapan skema profit sharing dengan tiga pemain utama ini juga sangat terbuka lebar untuk lahan tidur milik tanah ulayat nagari ini.

Dalam skema ini tak tertutup pula kemungkin bahwa ketiga unsur ini, baik pengelola (petani), pemilik lahan dan investor semuanya adalah orang yang berbeda. Dalam hal ini investor bisa dari mana saja. Bisa dari perantau, bisa juga dari jejaringnya si pemilik lahan atau dari jejaringnya si pengelola (petani). Jadi benar-benar tiga unsur yang diperankan oleh tiga orang yang berbeda. 

Seberapa besar kisaran persentasi profit sharing (pembagian keuntungan) terhadap skema ini tentu perlu kesepakatan ketiga unsur ini dengan musyawarah. Kisaran persentase pembagian itu mempertimbangkan berbagai hal. Tapi pada prinsipnya perbandingan profit sharing antara pemilik lahan : pengelola (petani) : investor adalah 1/3 (33,3%) : 1/3 (33,3%) : 1/3 (33,3%).  Bisa juga fleksibel menjadi 2/8 (25%) : 3/8 (37,5%) : 3/8 (37,5%) dan lain-lain yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi di lapangan. 

Banyak hal yang mempengaruhi perbandingan profit sharing ini. Antara lain misalnya kondisi lahan yang siap pakai atau belum, komoditas yang padat modal atau tidak, komoditas beresiko tinggi atau tidak, pengelola (petaninya) sudah profesional atau masih belajar dan lain sebagainya.

Harapannya adalah bahwa pengelola atau petani ini muncul dari masyarakat nagari itu sendiri atau pemuda nagari yang berdomisili di kampung. Sebab salah satu tujuan skema agrobisnis ini selain profit sharing adalah untuk menyerap tenaga kerja produktif, khususnya pemuda nagari. Tapi kemungkinan permasalahan utama dari penerapan skema ini ada pada kemauan dan skill dari pengelola atau petaninya. Sebab di nagari Kubang Sawahlunto khususnya, banyak masyarakat yang sudah meninggalkan sektor pertanian sebagai penopang hidup. Mungkin karena bertani itu butuh modal yang berlapis, butuh waktu dan keuletan untuk mendapatkan hasil, kemudian dulu bertani itu identik dengan profesi orang tua atau orang yang sudah pensiun dan lain-lain. Padahal di daerah lain, sektor agribisnis ini banyak digandrungi oleh anak muda parlente dan terbukti sangat "menjanjikan" jika dilakukan dengan perencanaan yang matang dan manajemen yang baik. 

Sementara itu dilain hal si calon petani ini harus bisa menunjukkan skill atau kemampuannya serta harus mempunyai  keinginan yang kuat dan i'tikad baiknya untuk meyakinkan dua unsur lainnya yaitu pemilik lahan dan investor.  Karena proses kolaborasi ketiga unsur ini akan lebih mudah jika si petani (pengelola) ini benar-benar merupakan seorang profesional, misalnya profesional di bidang budidaya komoditas tertentu seperti komoditas bawang merah dan lain-lain.

Begitu juga di bidang perternakan, skema tiga unsur ini juga bisa di terapkan. Tapi tetap saja bahwa si pengelola (petani) ini seharusnya sudah terbukti profesional di bidang peternakan seperti misalnya profesional dibidang breeding (budidaya) atau fattening/ dry lot fattening (model penggemukan) sapi dan kambing. Atau profesional di bidang peternakan ayam petelur atau ayam pedaging dan lain-lain. Ini penting karena baik investor maupun pemilik lahan, tentu pertama akan merujuk kepada profesionalitas petani (pengelola). Kedua merujuk kepada apakah si pengelola (petani) ini adalah seorang yang amanah (bisa dipercaya) karena investor akan mempertaruhkan resiko besar jika petani tidak profesional dan tidak amanah.

Apa bila si petani atau peternak seorang profesional dan sudah punya track record  di bidangnya, kemudian amanah (bisa dipercaya, jujur, punya integritas dan loyalitas) maka skema kolaborasi ke tiga unsur ini dalam bentuk  profit sharing agrobisnis seperti yang di uraikan di atas, akan lebih terbuka lebar dan akan lebih mudah terwujud. 
Wallahu'alam bissawab***.


Ket. Gambar :
Banyaknya lahan tidur di nagari Kubang Sawahlunto. Foto diambil dari Batuponjong.



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)