Mendongkrak Perekonomian Nagari Berdasarkan Kearifan Lokalnya [1]

Bagi generasi nagari Kubang Sawahlunto yang lahir dan besar di kota dan di rantau atau generasi milenial kubang baik yang lahir di kampung maupun di rantau, mungkin banyak yang kurang paham dengan yang namanya nagari serta berbagai kearifan lokalnya. Bagaimana nagari dulu menata kehidupan masyarakatnya serta apa saja kearifan lokal nagari itu dan lain sebagainya. Tapi bagi generasi Kubang yang lahir dan besar di kampung tahun 70-an ke bawah, sepertinya masih segar dalam ingatan mereka bagaimana kehidupan bernagari dulu. Dalam beberapa tulisan terdahulu di gindobonsu.blogspot.com ini telah di singgung juga seperti apa nagari itu dulu. 

Bahwa nagari itu adalah sebuah kearifan lokal di Minangkabau yang mengatur denyut nadi kehidupan apa saja yang dilakukan masyarakatnya sehari-hari. Milsalnya mengenai: bagaimana bertatakrama dan beradat-istiadat; bagaimana aturan perkawinan dan kekerabatan; bagaimana jika seorang anak nagari melanggar aturan perkawinan yang dilarang adat; bagaimana denyut nadi kehidupan spiritual beragama; bagaimana memompa denyut nadi perekonomian masyarakatnya dan lain-lain. Semua ada aturannya yang dibuat oleh para pemuka nagari zaman dahulu yang bernaung dalam tigo tungku sajarangan yaitu niniakmamak, para alim ulama dan para cerdik pandai di dalam nagari itu. Semua aturan itu tidak keluar dari filosfi-filosofi adat Minangkabau seperti adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah dan filosofi-filosofi lainnya yang sudah menjadi seperti undang-undang tak tertulis (lisan) di dalam nagari.

Seperti yang sudah dibahas juga terdahulu bahwa masyarakat nagari umumnya adalah masyarakat agraris, yaitu masyarakat yang basis ekonominya mengandalkan sektor pertanian dan petertanakan. Karena itu, sebuah kearifan lokal masyarakat nagari di bidang pertanian dan peternakan, khususnya di nagari Kubang Sawahlunto pada zaman dahulu, ada sebuah sistim pertanian yang disebut mampaduoi. Sistim mampaduoi dalam bidang pertanian ini adalah sistim "bagi hasil" berdasarkan kesepakatan antara pemilik lahan dengan pengelola. Dibidang peternakan sistim mampaduoi ini adalah antara pemilik ternak dengan pengembala ternak (peternak). Seiring dengan hilangnya nagari dalam sisitim pemerintahan administratif yang diganti dengan sistim pemerintahan desa, maka sebagian kearifan lokal nagari khususnya di nagari Kubang juga hilang secara perlahan. 

Ternyata dulu sistim mampaduoi dalam bidang pertanian dan peternakan yang merupakan kearifan lokal nagari Kubang ini khususnya dan mungkin juga kearifan di nagari-nagari lainnya di Minangkabau, sangat mumpuni dalam mendongkrak perekonomian masyarakat nagari zaman dahulu. Orang yang memiliki lahan atau pemilik ternak sebagai orang yang punya harta pusako atau ternak tapi tak punya cukup tenaga dan waktu untuk mengelolanya. Maka mereka dapat berbagi dengan orang yang tak mempunyai pusako atau tak punya ternak, tapi ia punya tenaga, skill dan waktu. Kedua belah pihak yang saling membutuhkan itu mengadakan kesepakatan berupa sistim mampaduoi ini. Hak dan kewajiban antara kedua belah pihak dalam sistim mampaduoi biasanya tertuang dalam kesepakatan "lisan" yang pada dasarnya sesuai dengan ketentuan umum yang berlaku di nagari Kubang.

Misalnya untuk lahan sawah atau ladang biasanya sistim mamaduoi hanya untuk pertanian palawija atau pertanian berumur pendek atau semusim. Maka hasilnya di bagi per musim atau per panen. Contohnya sawah yang di tanami padi maka hasil dari panennya akan langsung dipatigo (dibagi tiga). Biasanya kira-kira sepertiga (1/3) bagian dari hasil adalah buat yang punya sawah/ lahan dan dua pertiga (2/3) bagian dari hasil  adalah untuk pengelola/ petaninya. Tetapi jika hasilnya sampai senisab maka dikeluarkan dulu zakatnya baru di bagi. Namun sesuai dengan perkembangan zaman sekarang ini maka pembagian hasil antara kedua belah pihak tentu bisa pula disesuaikan dengan keadaan sekarang, disesuaikan pula dengan jenis komiditas yang ditanam seperti cabe, bawang, jagung, padi dan lain-lain. Intinya semua berdasarkan kesepakatan yang di buat di awal kerjasama.

Untuk ternak (biasanya ternak ruminsia seperti sapi, kerbau dan Kambing), bila yang punya ternak menyerahkan indukan yang siap untuk di kawinkan maka indukannya tetap milik yang punya ternak. Anaknya baru di bagi dua. Tapi bila indukannya adalah calon indukan yang perlu waktu dan perawatan dulu sebelum jadi indukan, maka tentu indukannya itu  menjadi milik berdua setelah dia menjadi indukan. Sebab si petani pengelola sudah punya saham di indukan itu karena dia besarkan dulu. Sebesar apa saham si petani pengelola di indukan yang seperti itu, tentu sesuai kesepakatan keduanya,  juga sesuai dengan umur calon indukan waktu sebelum kerjasama dimulai. Misalnya jika masih pedet (anakan) maka perlu perawatan dan waktu yang lama untuk menjadi indukan. Maka saham si peternak atau sipengembala atau disebut juga si pengelola, tentu makin besar. Bila salah satu dari kedua belah pihak atau kedua belah pihak tidak mengambil bagian dari anaknya yang kemudian telah menjadi indukan pula (tidak dijual sampai menjadi induk) maka ada pula ketentuan-ketentuan yang berlaku untuk cucunya. Biasanya ketentuan-ketentuan itu telah berlaku umum di masyarakat nagari Kubang khususnya dan nagari-nagari di Minangkabau umumnya.

Begitulah indahnya berbagi dalam pertanian dan peternakan yang di anut masyarakat nagari zaman dahulu. Hubungangan pemilik dan pengelola adalah hubungan yang setara bukan hubungan majikan dan bawahan seperti yang banyak terjadi di daerah-daerah lain di Indonesia. Itulah kenapa masyarakat Minangkabau umumnya dan masyarakat nagari-nagari khususnya dikatakan sebagai masyarakat yang demokratis dan egaliter (mengutamakan persamaan derajat).

Pembagian yang adil dan hubungan yang setara ini juga diberlakukan bila orang Minangkabau atau anak nagari itu pergi merantau lalu membuka Restoran Padang. Disini juga terlihat hubungan yang setara, demokratis dan egaliter antara si pemodal dengan si pengelola yaitu chief (koki dibelakang) dan pelayan serta kasir (didepan). Semua ada pembagian (bagi hasil) sesuai dengan kemampuan atau skill masing-masing yang sudah disepakati di awal. Karena itu, mereka bukanlah hubungan seperti majikan dan bawahan. 

Inilah sebenarnya prinsip "ekonomi syari'ah" itu. Dimana dasarnya adalah profite sharing (bagi hasil) sesuai kesepakatan, saling amanah, saling percaya dan kesetaraan. Sistim ini sudah ada ratusan tahun yang lalu di masyarakat nagari Kubang khususnya dan di Minangkabau umumnya. Sekarang sebenarnya saatnya untuk "menggali" kembali lalu "membumikan" sistim mampaduoi yang syar'i ini sebagai upaya untuk bangkit dari keterpurukan akibat di rundung pandemi Covid-19 yang entah kapan akan berakhirnya. Apalagi di nagari Kubang sangat banyak pemuda atau angkatan kerja yang bisa sebagai motor penggerak ekonomi pertanian sistim mampaduoi itu. Ini berbanding lurus dengan banyaknya lahan tidur akibat ditinggal merantau oleh pemiliknya. Namun semua itu bisa dimanfaatkan dengan sistim mampaduoi yang merupakan kearifan lokal karya anak nagari yang adiluhung itu.
Wallahu'alam bissawab***.

 
Ket gambar : 
Alam nan Asri di Talago Batuponjong, Dusun Sonsek, Desa Kubang Tangah, Kec. Lembah Segar, Kota Sawahlunto, Sumbar. Dulu puncak-puncak bukit ini seperti Talago Batuponjong, Sumpahan Mudiak, Puncak Guakdusi, Puncak Batuapi, Puncak Limbang, Kandang Sighorik, Puncak Taratak, Puncak Guakkociak dan lain-lain, merupakan Padang pengembalaan ternak sapi dan kerbau yang ditumbuhi oleh padang rumput dan perdu seperti sikaduduak, kalamuntiang dll. Sekarang sudah menjadi hutan karena ditinggal merantau oleh penduduknya.





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)