Refleksi 133 Tahun Sawahlunto 1 Desember 1888-2021 [4]


Pada tulisan-tulisan terdahulu di blog ini sudah di paparkan bagaimana Sawahlunto dulu (kota lama)  hingga kini, kemudian bagaimana  masyarakat adat nagari Kubang Sawahlunto dari dulu hingga kini. Bila di simpulkan dengan satu kalimat kira-kira berbunyi, bahwa sebenarnya  "belum terjadi integrasi antara  nagari Kubang denga Kotamadya Sawahlunto hingga saat ini".

Integrasi yang dimaksud adalah "integrasi total" antara Kubang sebagai sebuah nagari dengan Kotamadya Sawahlunto (kota lama). Kekuasaan hanya mau tanah ulayatnya saja tanpa mengakomodir adat-istiadat dan filosofi-filosofi adat yang di anut masyarakatnya. Belum adanya payung hukum dari Pemda Sawahlunto yang melindungi nagari Kubang sebagai suatu kesatuan wilayah yang utuh sebagaimana hukum-hukum adat dari sebuah nagari. 

Padahal integrasi total antara nagari Kubang dengan Kota Sawahlunto adalah "kunci" untuk kemajuan Kota Sawahlunto secara umum, karena selama ini kota Sawahlunto berdiri diatas fondasi yang rapuh. Telah berapa banyak program kota yang berjalan di tempat bahkan gagal total karena tak melibatkan nagari Kubang. Contohnya seperti rencana renovasi besar-besaran RSUD Kota Sawahlunto yang gagal total itu. Begitu juga penetapan Ombilin Coal Maining Heritage of Sawahlunto (OCMHS) oleh UNESCO yang langsung dibuat payung hukumnya, tapi kini jalan di tempat bahkan mungkin juga terancam di cabut. Kini muncul tarik-menarik di perpolitikan lokal antara di teruskan atau di biarkan. Ada yang merasa dirugikan karena area OCMHS ini tak bisa di kembangkan lagi. Tapi ada yang ngotot diteruskan karena mereka ketiban APBD dari daerah yang tak bisa menyerap APBD karena dibatasi OCMHS. Kedua kasus ini mungkin baru sedikit contoh dari banyak kasus-kasus lain akibat nagari Kubang tak pernah di libatkan dalam setiap kebijakan yang menyangkut tanah ulayatnya di kelurahan-kelurahan di Kota Sawahlunto.

Pemda kota lebih memilih main kucing-kucingan dengan nagari Kubang (KAN/ niniakmamak) untuk memperjuangkan OCMHS ini sampai ke UNESCO, padahal hampir semua heritage itu berdiri di tanah ulayat nagari Kubang. Pemda juga main kucing-kucingan dengan nagari Kubang (niniakmamak/KAN) dalam membangun infrastruktur di Kota Sawahlunto dari pada memberi payung hukum untuk melindungi tanah ulayat nagari Kubang itu. Ini juga terlihat secara kasat mata dari pembangunan kawasan wisata Puncak Cemara dulu. Entah bagaimana prosesnya dulu sehingga daerah itu bisa dibangun dan di bawah pengelolaan Pemda kota Sawahlunto. Atau jangan-jangan sudah terjadi transaksi jual beli untuk kawasan puncak Cemara itu. Kalau ada transaksi, dengan siapa bertransaksi. 

Tak mungkin jika dikatakan Pemda tak paham apa arti nagari Kubang di kota Sawahlunto ini. Tetapi jika memang tak paham karena Kotamadya baru berdiri tahun 1965, maka perlu kiranya Pemda mencari tahu dengan bertanya atau menggali sejarah nagari Kubang khususnya. Kecuali jika sebenarnya Pemda Kota Sawahlunto memang tak punya kemauan  (political will) untuk itu.  Apakah tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto (kota lama) akan terus dibiarkan mengambang agar kekuasaan bisa dengan mudah menguasainya. Kalau begitu cara berpikirnya maka "integrasi total" dengan nagari Kubang itu tak akan pernah terjadi karena bisa dianggap sebagai Barrier atau penghalang.

Apakah Karena itu juga sebabnya kekuasaan di Kota Sawahlunto tidak mengakomodir Perda Provinsi Sumbar tentang babaliak ka nagari yang sudah sejak 21 tahun lalu di luncurkan, Wallahu a'lam. Kalau di runut-runut terus kebelakang, dia seperti lingkaran setan yang berputar saling kait mengait yang selalu menimbulkan pertanyaan. 

Sepertinya memang kekuasaan di Kota Sawahlunto itu  masih belum move on untuk urusan tanah ulayat. Masih mirip faham kolonialis ketika mengahadapi masyarakat hukum adat nagari Kubang waktu zaman penjajahan. Atau faham non republikein yang lebih memilih Belanda ketimbang Republik Indonesia ketika awal kemerdekaan. Atau seperti faham Rezim Ordelama di Sawahlunto dulu, yang menganggap masyarakat hukum adat nagari Kubang adalah ancaman. Mungkin saja tanpa disadari faham-faham itu masih melekat di kekuasaan. Tapi sekarang harusnya kekuasaan sudah move on. Kita sudah 73 tahun merdeka, sudah 22 tahun otonomi daerah dan di Sumbar umumnya sudah 21 tahun babaliak ka nagari. Sekarang buktinya tanah ulayat di kelurahan-kelurahan itu justru sengaja dibuat seperti daerah abu-abu atau liar yang selalu menjadi bancakan berbagai pihak. 

Karena itu pula mungkin sebagian penduduk yang  menempatinya ikut menikmati "kemana arah angin yang kencang itu". Jadilah mereka seperti pendatang gelap jika dilihat dari sudut pandang hukum adat nagari-nagari di Minangkabau. Dan semakin hari wilayah yang dikuasai penduduk yang tak diakui secara adat ini semakin luas dan semakin padat dengan permasalahan yang semakin rumit.

Lebih miris lagi jika Badan Pertanahan Negara (BPN) juga melihat "kemana angin yang kencang saja" untuk menerbitkan sertifikat. Seperti siaran pers yang dirilis humas Pemda Kota Sawahlunto sekitar 4-5 tahun lalu ketika walikotanya masih Alm. Bpk. Ali Yusuf, bahwa ada 1825 petak tanah milik masyarakat yang menunggu diterbitkan sertifikatnya oleh BPN Sawahlunto. Bisa saja sekarang sudah terbit sertifikatnya. Bukan hanya masalah sertifikatnya tapi entah bagaimana cara berfikirnya. Mungkin kekuasaan menyuruh masyarakat pendatang mangaku mamak kepada PTBA UPO agar dapat sertifikat tanah itu.
Sekarang semakin terang duduk perkaranya kenapa barrier itu selalu di pertahankan oleh kekuasaan di Kota Sawahlunto.

Jadilah masyarakat hukum adat nagari Kubang yang hidup di sekeliling tanah sengketa itu hanya mancenguik sajo (menunggu sambil berharap). Mereka hanya bisa menunggu belas kasihan negara agar mengakomodir filosofi-filosofi adat seperti kabau pai kubangan tingga dan lain-lain. Dulu filosofi-filosofi adat ini menjadi undang-undang dalam nagari tapi dilanggar oleh Belanda sebelum negara ada. Kini sebenarnya sudah  tertuang didalam Perda Provinsi Sumbar tentang babaliak ka nagari, tapi tak diakomodir juga oleh Pemda Kota Sawahlunto.

Bila dilihat riwayatnya kenapa ada pihak lain (pihak ketiga) yang menguasai tanah ulayat nagari Kubang itu, bermula ketika perusahaan tambang PTBA UPO mengeluarkan Surat Izin Pemakaian Tanah (SIPT). Yaitu terhadap tanah-tanah yang menurut mereka (secara sepihak) termasuk kuasa penambangannya tapi tak terpakai lagi. Tanah-tanah itu di serahkan bahkan mungkin setelah itu di perjualbelikan oleh pihak ketiga, melalui SIPT yang mereka keluarkan tersebut. Tapi ini tanpa dibicarakan dulu dengan pihak nagari Kubang (KAN/niniakmamak) sebagai pemilik ulayat yang sah. Sehingga niniakmamak marah dan setelah melalu proses yang panjang munculah "Somasi Niniakmamak Nagari Kubang Tahun 2007" (waktu walikotanya alm. Bpk. Amran Nur) terhadap Pemda, PTBA dan PTKAI. Tapi Somasi Niniakmamak Nagari Kubang itu tak di gubris oleh Pemda Kota Sawahlunto. Pihak ketiga yang menerima SIPT itu adalah berbagai stakeholder di Kota Sawahlunto.

Dasar dari PTBA UPO dan PT KAI mengeluarkan SIPT seperti menyewakan dan lain-lain kepada pihak ketiga, karena menurut mereka tanah ulayat itu sudah tak terpakai lagi. Padahal sebenarnya tanah ulayat nagari Kubang yang dikeluarkan SIPT-nya itu umumnya memang tak pernah dipakai buat membangun fasilitas tambang. Jadi statusnya tetap dari dulu adalah tanah Ulayat nagari Kubang.  Sebenarnya Belanda hanya mendirikan saja fasilitas tambang itu berdasarkan keperluan mereka tanpa dimusyawarahkan dengan niniakmamak. Belanda dan niniakmamak tidak pernah menyepakati tempatnya, luasnya dan dimana batas-batas konsesinya.

Apalagi yang mengeluarkan SIPT adalah BUMN yang tak ada hubungannya dengan urusan tanah ulayat. BUMN ini hanya mengeruk keutungan saja tanpa ikut membangun fasilitas tambang itu. Karena itu mengeluarkan SIPT tanpa persetujuan niniakmamak itu merupakan penghinaan terhadap nagari Kubang yang masih memegang hukum-hukum adat dengan teguh. Sedangkan untuk menyewakan ke pihak lain saja bangunan-bangunan fasilitas tambang yang berdiri di atas tanah ulayat itu, seharusnya juga seizin (melibatkan) pemilik tanah ulayat yaitu nagari Kubang. Apalagi mengeluarkan Surat Izin Pemakaian Tanah (SIPT) dan lebih parah lagi "jika" telah terjadi jual-beli sampai terbit sertifikatnya. Sedangkan waktu itu perusahaan tambang sudah tak berproduksi lagi, sehingga logikanya seharusnya filosofi kabau pai kubangan tingga sudah berlaku. Itu artinya tanah ulayat itu kembali ke pangkuan nagari. 

Harusnya setelah kembali kepangkuan nagari baru semua itu di selesaikan dengan elegan. Yaitu dengan melibatkan  pemangku adat nagari Kubang (KAN / niniakmamak) dan Pemda, untuk meletakkan semua di atas fondasi yang benar sesuai kearifan lokal (adat istiadat) yang berlaku didalam nagari Kubang khususnya dan Minangkabau umumnya. Kearifan lokal yang ada didalam nagari inilah yang perlu di payungi misalnya dengan Perwali/ Perwako atau sejenisnya dengan mengakomodir Perda Provinsi tentang babaliak ka nagari itu.
Walluhu'alam Bishawab***.

 Ket. Foto:
Surat Somasi Niniakmamak Nagari Kubang tanggal 21 Juni 2007 kepada :
1. Walikota Sawahlunto 
2. Dirut. PTBA di Tanjung Enim
3. Divisi Regional II PTKAI Sumbar di Padang.

Catt: Surat-surat yang dikirimkan oleh niniakmamak Kubang tentang penyelesaian sengketa tanah Ulayat, termasuk surat somasi niniakmamak tanggal 21 Juni 2007 ini tak pernah di gubris oleh Walikota Sawahlunto.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)