Refleksi 133 Tahun Kota Sawahlunto 1 Desember 1888 - 2021 [2]

Sejak era reformasi maka daerah-daerah di Indonesia di landa euforia otonomi daerah. Beberap daerah malah dapat otonomi khusus, khususnya dibidang ekonomi dan politik. Pemda Sumatra Barat menyambut era itu salah satunya dengan mengembalikan otoritas nagari, yaitu menghidupkan kembali nagari sebagai suatu pemerintahan administratif seperti dahulu melalui Perda Provinsi Sumbar no. 9 tahun 2000. Begitu seriusnya pemerintahan Provinsi Sumbar dalam menghadirkan kembali nagari di tengah-tengah masyarakat Minangkabau sehingga sudah tiga kali Perda babaliak ka nagari diterbitkan. Setelah Perda Provinsi Sumbar no. 9 tahun 2000 kemudian perda ini diperbaiki dengan Keluarnya Perda Provinsi Sumbar no. 2 tahun 2007, lalu di perbaiki lagi dengan terbitnya Perda Provinsi Sumbar no. 7 Tahun 2018.

Tentu ada yang melatarbelakangi Pemda Sumbar begitu konsern dengan yang namanya nagari ini. Lagi-lagi kita perlu berkaca kepada masa lalu. Bahwa nagari-nagari itu dahulu telah melahirkan begitu banyak tokoh-tokoh nasional bahkan telah melahirkan beberapa founding father Indonesia. Sebut saja seperti Tan Malaka, Bung Hatta, Bung Syahrir, Muhammad Yamin serta telah melahirkan puluhan tokoh pergerakan nasional yang beperan besar pada kemerdekaan Indonesia yang berasal dari nagari-nagari di Minangkabau. Umumnya mereka menjalani pendidikan karakter  budaya dan agama di rumahgadang dan di surau. Kemudian baru masuk pendidikan intektual di sekolah-sekolah formal yang semuanya dimulai dari nagari. Begitu besarnya nilai-nilai moral yang ditelurkan nagari  zaman dahulu untuk bangsa ini. Tapi tiba-tiba nagari dihapus sebagai sebuah pemerintahan administratif terendah, lalu digantikan oleh Pemerintahan Desa oleh Rezim Orde Baru melalui UU. no. 5 tahun 1979. Dapatlah dibayangkan bagaimana tergagapnya nagari-nagari dalam menerima kenyataan pahit itu, termasuk nagari Kubang Sawahlunto.

Nagari bukanlah sekadar sebuah pemerintahan belaka. Nagari sebagai sebuah pemerintahan itu baru dimulai sejak awal kemerdekaan melalui  Kepres no. 21  Tahun 1946 tentang pemerintahan Nagari. Sejak itu pula nagari Kubang dipimpin oleh seorang Walinagari. Tapi sebelum kemerdekaan khususnya di nagari Kubang (termasuk Sawahlunto) nagari dipimpin bergantian oleh seorang Ongku Palo yang merupakan seorang pangulu dari salah satu suku di nagari Kubang. Nagari waktu itu bukan suatu pemerintahan administratif tapi lebih dari itu. Nagari di Minangkabau seperti negara-negara kecil  yang bernaung di bawah adat Minangkabau. Yaitu adat nan basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Adek mamakai sarak mangato dan lain-lain. Pituah-pituah itu seperti undang-undang yang mengatur roda kehidupan sehari-hari di nagari sebelum ada negara.

Nagari adalah tempat bernaungnya masyarkat hukum adat Nagari yang minimal punya empat suku (nagari Kubang punya enam suku). Sebuah nagari juga punya wilayah  dengan luas dan batas-batas wilayah yang di akui oleh nagari-nagari yang bersepadan. Kemudian masyarakat hukum adat nagari tersebut berkomitmen mengatur hidupnya sendiri alias independent di atas filosofi-filosofi adat di Minangkabau yang berbasis Agama Islam. Kemudian setiap nagari punya ciri khas adat nan salingka nagari sebagai pembeda dengan nagari-nagari lain. Kehidupan bernagari berjalan di atas filosfi-filosofi adat Minangkabau  dan adat nan salingka nagari itu. Nagari menganut azas musyawarah untuk mufakat. Setiap permasalahan dan sengketa yang terjadi di internal maupun dengan pihak eksternal nagari diselesaikan dengan musyawarah. Itulah nagari dulu. Masih banyak kearifan-kearifan lokal dari nagari lainnya. 

Pada tahun 1965 berdirilah kotamadya Sawahlunto melaui UU no. 18 tahun 1965. Kebijakan ini turun dari atas kebawah tanpa musyawarah dengan masyarakat adat nagari Kubang sebagai pemilik tanah ulayat. Waktu itu Pemerintahan Daerah Kabupaten Sawahlunto Sijunjung dan perusahaan tambang, berada dibawah  kekuasaan rezim Orde Lama yang "bertentangan" dengan masyarakat adat nagari Kubang pasca peristiwa peri-peri (PRRI). Dimulai tahun 1959 Sawahlunto di pimpin oleh seorang militer bernama Ahmad Rivai komandan batalyon Divisi Diponegoro yang terbukti adalah seorang kader PKI. Dia merekrut OPR yang terkenal kejam di nagari Kubang khususnya dari karyawan tambang batubara. Setelah itu sampai tahun 1968 perusahaan tambang dan kabupaten Sawahlunto/Sijunjung di pimpin oleh militer dari Jawa yang jelas adalah untuk "menjauhkan" perusahaan tambang itu dari pengaruh masyarakat adat yang peri-peri (PRRI). Misalnya Dirut Tambang adalah Mayor Syamsuri Sonto Sudirdjo (1962-1967), seorang militer dari Divisi Diponegoro. Bupati Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung juga seorang mantan Divisi Diponegoro yaitu Kapten Sudarsin. Keduanya adalah perpanjangan Rezim Ordelama di Sawahlunto.

Sementara Masyarakat adat nagari Kubang pada umumnya adalah simpatisan partai Masyumi yang di bubarkan Sukarno tahun 1961 dan umumnya adalah simpatisan PRRI. Masyarakat adat ini pada umumnya ijok karimbo saat PRRI, kemudian ditangkap dan dipenjaran bahkan sebagian dibunuh. Tak kurang dari 30 orang masyarakat adat nagari Kubang yang hilang dan dibunuh oleh OPR yang di beking Tentara Pusat dari tahun 1959 sampai tahun 1965. Dipenghujung konflik inilah (1965) Kotamadya Sawahlunto berdiri. Konflik antara nagari Kubang dengan otoritas rezim Ordelama di Sawahlunto "dilerai" oleh meletusnya peristiwa  G30S PKI. Jelas kotamadya Sawahlunto dirancang oleh pemimpin-pemimpin pemerintahan dan pemimpin-pemimpin perusahaan tambang yang lansung didatangkan dari pusat dibawah Rezim Ordelama yang berhaluan kiri, otoriter dan sentralistik. Kotamadya Sawahlunto telah berdiri beberapa bulan sebelum peristiwa G30S PKI itu meletus. Sejak berdirinya Kotamadya Sawahlunto yang tanpa musyawarah itulah Pemda Kota Sawahlunto tidak lagi mengikutsertakan niniakmamak dan masyarakat hukum adat nagari Kubang dalam setiap kebijakannya sampai saat ini. Padahal "dia" ibarat bayi baru lahir yang tak mengerti masa lalu Sawahlunto. Sejak itu Pemda kota hanya berkolaborasi dengan perusahaan tambang (BUMN) yang seakan-akan telah memproklamirkan dirinya sebagai "tuan tanah" baru di kota Sawahlunto  karena Undang-Undang no. 11 tahun 1967 tentang Pokok-Pokok Pertambangan (UU KKP 1967). Padahal ideologi UU KKP 1967 ini hanya mengklaim bahan galian tambang yang ada di perut bumi, artinya tanah ulayatnya tetap milik masyarakat adat sepanjang masih didalam bingkai NKRI.

Kearifan-kearifan nagari yang telah "tergerus" sejak 1 Desember 1888 oleh Belanda lalu oleh Rezim Ordelama yang puncaknya ketika berdirinya kotamadya Sawahlunto tahun 1965, kemudian kondisi nagari Kubang diperparah oleh diberlakukannya UU no. 5 tahun 1979 oleh Rezim Ordebaru tentang Pemerintahan Desa. Nagari dipecah menjadi beberapa desa tapi kehidupan sosial kermasyarakatan seperti adat-istiadat, pusako, tanah ulayat, kekerabatan dan lain-lain tetap berjalan di bawah Kerapatan Adat Nagari (KAN) yang lemah. Kedudukan KAN sangat lemah karena hanya merupakan lembaga sosial kemasyarakat yang diakui undang-undang tapi tidak mendapat support moral, finansial maupun fasilitas dari negara. Sehingga dari masa ke masa  rasa bernagari itu terus melemah di Sawahlunto baik di internal masyarakat Kubang sendiri apalagi dengan masyarakat pendatang yang sebagian sudah menjadi anak kemenakan. Kubang identik dengan kemiskinan, kumal dan hina, udik atau ndeso, juga di cap pemberontak (PRRI).  Padahal mereka adalah para pejuang kemerdekaan yang dulu bertaruh nyawa menjaga Sawahlunto dari kehancuran. Itu terjadi karena pertentangan yang berjilid-jilid dengan "kekuasaan" di kota Sawahlunto. Otoritas kekuasaan di Sawahlunto selalu membangun "stikma negatif" tentang masyarakat hukum adat nagari Kubang. Sehingga peran tigo tungku sajarangan serta kearifan lokal nagari Kubang lainnya makin hari makin tergerus dan melemah baik terhadap masyarakat nagari Kubang maupun pendatang di kota lama Sawahlunto.

Karena itulah nagari sebagai sebuah kearifan lokal seperti dulu, kembali ditata di era otonomi daerah melalui Perda Provinsi no. 7 tahun 2018 ini. Walaupun masih belum sempurna tapi negara telah menyerahkan permasalahan bernagari  dan kearifan-kearifan lokalnya kepada kebijaksanaan daerah. Itulah spirit  desentralisasi atau otonomi daerah yang diperjuangkan oleh kaum reformis untuk daerah-daerah di Indonesia. Untuk konteks Sumatra Barat, tujuannya jelas untuk menghidupkan kembali kearifan-kearifan lokal nagari yang digilas sistim pemerintahan sentralistik yang otoriter itu. Itu artinya pengakuan terhadap kebhinekaan Indonesia kembali hadir di nagari.

Sungguh sangat memprihatinkan nasib nagari Kubang, tapi tak ada peduli. Kehidupan bernagari yang utuh dan ideal dengan menjunjung sendi-sendi adat nan salingka nagari, bukan hanya mulai mengalami kemunduran sejak keluarnya UU no. 18 Tahun 1965 tentang pembentukan Kotamadya Sawahlunto dan UU no. 5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa Saja. Tetapi nagari sudah diobok-obok sejak 133 tahun lalu yaitu oleh Belanda yang menancapkan kukunya di Sawahlunto kota lama. Belanda  tidak mengakui hukum-hukum adat yang berlaku di tanah ulayat nagari Kubang, khususnya di kota lama Sawahlunto sejak dijadikannya Sawahlunto sebagai bagian Afdeling Tanah Datar 1 Desember 1888. 
Tapi sejak ditetapkannya Peraturan Pemerintah  no. 44 tahun 1990 tentang perluasan Kotamadya Sawahlunto, kembali ada secercah harapan baru buat nagari Kubang karena semua tanah ulayatnya menyatu kembali seperti sebelum tahun 1965, yaitu sebelum kotamadya berdiri. 

Sejak perluasan kota itu, tanah ulayat nagari ini berada di  dua kecamatan di Kotamadya Sawahlunto yaitu Kec. Lembah Segar dan Kec. Barangin. Semuanya tersebar di dalam tiga (3) desa dan delapan setengah (8,5) kelurahan. Kemudian sejak tahun 2000 Harapan babaliak ka nagari itu semakin memberi harapan dan semakin nyata dengan ditetapkannya Perda Provinsi no. 9 tahun 2000 yang diperbaiki menjadi Perda Provinsi no. 2 tahun 2007 dan diperbaiki lagi menjadi Perda Provinsi no. 7 tahun 2018.

Namun sepertinya harapan tinggal hanya harapan. Sebab Setelah 21 tahun belum ada tanda-tanda harapan itu menjadi kenyataan, karena Pemda Kota Sawahlunto belum memberikan lampu hijau mengenai babaliak ka nagari yang diluncurkan oleh Provinsi ini. Belum ada terdengar sosialisasi dari Pemda Kota Sawahlunto kepada masyarakatnya tentang Perda Provinsi mengenai babaliak ka nagari ini setelah 21 tahun di tetapkan yaitu sejak tahun 2000. Apalgi pada Perda Provinsi Sumbar terbaru no. 7 tahun 2018 tentang babaaliak ka nagari, sudah mencakup buat semua nagari baik yang berada di kabupaten maupun yang berada di kotamadya di Sumbar.  Wajar saja kita berta-tanya apa sesungguhnya yang terjadi  dengan Pemda Kota Sawahlunto yang belum meratifikasi Perda Pemda Provinsi Sumbar ini. 

Kalau Perda Provinsi ini tak diakomodir juga oleh Pemda Sawahlunto tentu kita bisa menduga bahwa invisible hand sesuai  teori ekonomi kapitalis kolonialis itu mungkin telah bermain lagi di Sawahlunto. Atau sisa-sisa kejayaan politik Orde Lama yang cendrung beraliran kiri, otoriter dan sentralistik masih bercokol. Ataukah sisa-sisa abuse of power politik Ordebaru yang anti kiri tapi otoriter dan sentralistik masih dominan di kota Sawahlunto. Ini menunjukkan telah mulai lagi "pertarungan" babak baru dalam perebutan sumber-sumber perekonomian di kota Sawahlunto. Yaitu pertarungan yang tak seimbang antara kekuatan-kekuatan diatas yang dapat dukungan Pemda Sawahlunto versus masyarakat hukum adat nagari Kubang.

Tapi semoga masih ada harapan. Karena itu mari kita lihat masihkah Pemda Sawahlunto ini berpihak kepada kapital besar dan kepentingan-kepentingannya. Faktor apa yang membuat Pemda berpihak. Apakah ketiga faktor yang telah menghancurkan kehidupan bernagari itu justru masih berkelindan dengan Pemda Sawahlunto. 
Tapi berkaca kepada 21 tahun belakangan ini dimana sejak mulainya diluncurkan Perda Provinsi tentang baliak kenagari yang belum di akomodir,  tampaknya invisible hand itu memang telah bermain lagi. Untuk kesekian kalinya harga diri masyarakat hukum adat nagari-nagari khususnya nagari Kubang kembali  termarginalkan dan direndahkan.

Mari kita baca dan pahami kembali UUD 1945 Amandemen Pasal 18b ayat (2) tentang pengakuan terhadap masyarakat adat oleh negara. Walaupun pembahasan Undang-undangnya masih tarik ulur di DPR, tetapi Perda Provinsi Sumbar no. 7 tahun 2018 Tetang babaliak ka nagari sudah lebih dari cukup untuk jadi payung  bagi Pemda Sawahlunto sebagai pemegan otoritas otonomi daerah untuk melindungi masyarkat adat, tapi sayang tak dipergunakan. Pemda kota Sawahlunto justru melindungi si kapital besar dan kepentingan-kepentingan lainnya. 

Sebenarnya besar peluagnya masyarakat adat menang dalam pertarungan ini bila merujuk kepada semangat otonomi daerah ini. Apalagi jika Undang-Undang tentang tentang masyarakat adat yang masih tarik ulur itu sudah diterbitkan Pemerintah Pusat.  Sementara kleman kepemilikan oleh kapital besar dan kepentingan-kepentingan lain, sebenarnya sangat lemah di Sawahlunto ditengah spirit babaliak ka nagari yang sudah di legalisasi oleh Perda Provinsi Sumbar itu. 

Di banyak daerah lain di indonesia tanah-tanah bekas perusahaan-perusahaan Belanda ini bolehlah jadi Bancakan BUMN dan lain-lain karena lain padang lain ilalang, lain lubuk lain ikannya. Karena itu kalau melakukan studi banding tentang tanah ulayat dan pusako ini, kurang pas bila belajar kepada daerah lain diluar Minangkabau. BUMN dan lain-lainnya itu tak bisa menyamaratakan yang berlaku diluar Minangkabau dengan nagari-nagari di Minangkabau. Di Minangkabau ada hukum tanah ulyat yang dianut nagari-nagari sebagai kearifal lokal sejak sebelum Belanda itu datang. Misalnya seperti kabau pai kubangan tingga dan lain-lain. Di Minangkabau pada umumnya juga tak ada tanah yang tak berpunya, karena itu pasti milik ulayat nagari-nagari yang telah bersepakat tentang persepadanan mereka sejak dahulu. Hanya "hibah" yang bisa melepaskan kepemilikan tanah ulayat itu, tapi dengan catatan jika ketentuan hibah itu telah sesuai menurut agama dan adat.

Agar di pahami oleh semua stakeholder di Sawahlunto bahwa sebenarnya nagari Kubang tidak bersengketa dengan PTBA, PTKAI ataupun masyarakat di Sawahlunto kota lama. Tapi nagari Kubang sebenarnya bersengketa dengan penjajahan Belanda khususnya Ombilin Minjnen. Sedangkan BUMN-BUMN itu hadir jauh setelah merdeka dan mereka hanya mengeruk keuntungannya saja sejak kemerdekaan tanpa bayar royalty dan tanpa adanya CSR untuk nagari. Harusnya nagari-nagari yang menuntut royalty dan CSR kepada BUMN-BUMN itu. 

Mengenai fasilitas yang jadi Ombilin Coal Maining Heritage of Sawahlunto (OCMHS) dan lain-lain, semuanya Belanda yang membangun. Itu dulu urusan nagari Kubang dengan Belanda sampai terjadi perang karena ada cara-cara licik kolonial yang disebut Balando mintak tanah. Apalagi BUMN yang menguasai fasilitas transportasi kereta api yang datang lebih belakangan lagi. Dulu semua milik Ombilin Minjnen. Belum ada negara Indonesia yang berdaulat waktu itu. Yang ada hanya nagari Kubang  yang berdaulat. Karena itulah nagari Kubang berperang dengan meraka tahun 1908. Paling BUMN-BUMN itu hanya mengeluarkan kocek buat mengecat ulang bangunanya tiap tahun karena kualitas bangunan buatan Belanda sudah kita ketahui semua, sangat baik. Tapi kenapa sekarang jadi semua bangunan itu bahkan sama  tanah-tanahnya jadi milik BUMN. Bagaimana masyarakat adat bisa menerima logika itu. Sementara perusahaan-perusahaan BUMN itu masyarakat adat pula yang "melahirkan dan membesarkannya" ketika awal kemerdekaan.
 
Untuk diketahui juga bahwa filosofi-filosofi adat Minangkabau tentang Sako dan Pusako, tentang sistimtim kekerabatan dan lain-lain masih dipegang teguh dan berjalan dalam kehidupan sehari-hari masyarakat hukum adat nagari Kubang khususnya dan nagari-nagari lain umumnya. Artinya perusahaan dan siapapun yang masuk kenagari-nagari ini harus tunduk dengan itu, susai filosofi adat dimano bumi dipijak disinan langik dijunjuang. Semangat ini yang ditiupkan oleh sistim pemerintahan desentralisasi atau otonomi daerah sejak reformasi 1998. Janganlah pemda Sawahlunto mengaku reformis jika menyikapi masalah tanah ulayat dan babaliak kanagari ini masih dengan semangat sentralistik dan sedikit berbau feodal. 
Apa lagi yang di khawatirkan oleh Pemda kota dan stakeholder di Sawahlunto, sehingga tidah "bernyali" menyikapi tentang babaaliak ka nagari serta belum juga bersikap terhadap duduk perkara tanah Ulayat nagari Kubang khususnya. Harusnya tak ada yang mesti dikhawatirkan untuk berpihak kepada mayarakat hukum adat nagari Kubang. Kecuali Pemda Kota Sawahlunto itu sebenarnya masih menganut sistim ekonomi kapitalis kolonialis atau bahkan jangan-jangan adalah bagian dari sistim ekonomi kapitalis kolonialis itu sampai kini. 
Wallahu'alam bissawab***.

Keterangan gambar: 
Kota Sawahlunto tahun 1890, dua tahun setelah menjadi bagian Afdeling Tanah Datar 1 Desember 1888




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)