IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)

          Diwaktu perang revolusi kemerdekaan, Kapten Amir Jamin dijodohkan oleh orang tuanya dengan keluarga bakonya (keponakan ayahnya). Tapi ide pulang ka bako itu bukanlah ide dari ayahnya H. M. Jamin Pono Batuah. Ide itu sebenarnya datang dari Andenya (ibunya) Siti Malia. Kekhawatiran Ande Siti Malia tentulah tidak berlebihan mengingat  putranya itu sedang terlibat dalam kancah perang revolusi kemerdekaan yang sedang berkecamuk.
        
            Gadis pilihan Ande Siti Malia itu bernama Nursinah Binti H. Abdul Manan. Nursinah Manan adalah gadis desa yang masih sangat belia. Waktu dijodohkan itu usianya baru 16 tahun. Gadis Nursinah adalah tamatan dari Sekolah Rakyat (SR) tahun 1943 di Balai Kubang. Sekolah itu hanya sampai kelas lima. Sekolah Rakyat yang lima kelas ini didirikan oleh pemerintah kolonial  Belanda dengan nama Governement School tahun 1927, yaitu setelah peristiwa Perang Silungkang. Sebelumnya Sekolah Rakyat itu sudah ada juga tapi hanya tiga kelas dengan lama masa pendidikan tiga tahun, khusus untuk belajar membaca, menulis dan berhitung. Sekolah yang tiga kelas ini didirikan di Balaikubang oleh pemerintah Belanda pasca Porang Tahun Salapan yaitu sekitar tahun 1910 - 1911, bernama Volkschool (Sekolah Rakyat). Volkschool ini adalah salah satu kompensasi perdamaian perang yang disepakati antara Belanda dengan nagari Kubang dan inilah cikal bakal Sekolah SD no. 1 Balaikubang.

          Walaupun saat itu Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati adalah seorang pangulu (Datuk)  dari Suku Panai Kenagarian Kubang dan juga seorang komandan militer di Sawahlunto, tapi sebetulnya dia adalah anak yang paling patuh kepada orang tuanya. Apalagi kepada andenya, sehingga Amir tak kuasa menolak permintaan ande-nya yang sangat dihormatinya itu. Namun sebenarnya jauh di lubuk hatinya, Amir Jamin juga menyukai gadis belia itu. Tapi karena sibuk dengan perang revolusi dan Nursinah Manan masih sangat belia, maka belum terpikirkan olehnya untuk berumah tangga saat itu. 

          Nursinah Manan sangat kaget. Dia belum mengerti arti berumah tangga, masih senang bermain dengan teman-teman sebaya. Sekarang harus mendampingi seorang pangulu dan seorang komandan militer yang dia segani. Semua mamak dan keluarganya di Rumahtapanggang membujuknya agar dia mau menikahi sang Komandan. Nursinah Manan merasa sendiri dan merasa keluarganya tidak mengerti dengan dirinya. Diam-diam dia pergi kerumah keluarga neneknya di Guguak Gadang, Kampung Teleng Sawahlunto.

          Tapi nenek dan keluarganya di Guguak Gadang juga membujuknya agar dia mau menikah dengan Kapten Amir Jamin yang biasanya dia panggil pak etek itu. Setelah beberapa hari di Guguak Gadang, kemudian datanglah Bustami Manan dan Syawal Manan dari rumah tapanggang membujuk dan menjemputnya agar kembali ke Rumahtapanggang. Kedua remaja itu adalah datuaknya (Abangnya) dan adiknya.

          Nursinah Manan akhirnya mau kembali ke Rumahnya di Rumahtapanggang dan menikah dengan Kapten Amir Jamin. Pernikahan keduanya akhirnya berlangsung awal tahun 1946. Peristiwa yang sangat sakral itu berlangsung di Rumahtapanggang dengan sangat bersahaja dan penuh kesederhanaan. Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati waktu itu sedang sibuk mempersiapkan Sawahlunto dan tambang batubara Ombilin sebagai basis pertahan dan logistik dalam menghadapi perang revolusi kemerdekaan di Sumatra Tengah.

          Nursinah Manan adalah putri dari Inyiak Ridha dan Uwan H. Abdul Manan atau Haji Lontuang. Inyiak Ridha berasal dari Kaum Rumahtapanggang, Suku Sikumbang kenagarian Kubang. Sementara H. Abdul Manan berasal dari Kaum Datai, Suku Patopang kenagarian Kubang. Awalnya istri dari H. Abdul Manan adalah kakak sepupu dari Ridha. Tapi kakak sepupu Ridha itu meninggal dunia dengan meninggalkan dua orang anak yang masih kecil-kecil bernama M. Syarif Manan dan Siti Marlian Manan. Sepeninggal istrinya itu, maka  kira-kira tahun 1925, H. Abdul Manan dinikahkan dengan Ridha yang sebelumnya merupakan adik iparnya sendiri. Dalam istilah adat nan salingka nagari Kubang hal demikian di sebut dengan istilah batuka lapiak. 

            Inyiak Ridha sebenarnya adalah keponakan dari H. M. Jamin Pono Batuah yang merupakan ayah dari Kapten Amir Jamin. Jadi sebenarnya Ridha adalah induak bako (kakak sepupu) dari Kapten Amir Jamin, lalu kemudian menjadi ibu mertuanya. Nursinah Manan yang merupakan putri dari Ridha dan H. Abdul Manan itu adalah kelahiran Agustus 1929. Nursinah dan Kapten Amir Jamin terpaut usia yang cukup jauh yaitu delapan tahun. Waktu itu usia Kapten Amir Jamin menjelang 25 tahun.

          Ayah dari Nursinah Manan yaitu H. Abdul Manan adalah seorang tukang jahit di Balai Kubang sejak zaman Belanda. Karena itu beliau menetap di Balai Kubang. Karena itu pula Nursinah Manan dan saudara-saudaranya lahir dan besar di Balai Kubang. 

          Selain menjadi tukang jahit H. Abdul Manan juga adalah seorang pedagang. Beliau dan anak buahnya  biasanya berkeliling dengan berkuda di hari-hari pekan seperti ke Lunto, Lumindai, Silungkang, Sawahlunto dan lain-lain. Itu beliau lakukan untuk menjual pakaian hasil jahitannya sendiri seperti baju, celana panjang, sarawa galembong (celana para pendekar silat), sarawa kotok (celana pendek). Juga menjual kain sarung, peci, sajadah dan lain-lain. Tapi di hari-hari biasa beliau tetap menjahit dan berjualan di Balai Kubang.

        Inyiak Ridha yang lahir tahun 1901, berlatar belakang dari keluarga petani. Sewaktu anak-anaknya masih kecil, Inyiak Ridha ikut suaminya H. Abdul Manan di Balai Kubang sambil membantu berdagang. Setelah sebagian anak-anaknya mulai menginjak remaja, Ridha mulai ingin kembali hidup bertani. Sawah dan ladangnya sudah lama terbengkalai, yaitu sejak orang tua beliau (Rangan) meninggal dunia ketika beliau lima bersaudara masih kecil-kecil di Macangmanih. Ridha adalah satu-satunya anak perempuan Rangan sebagai pewaris pusako di keluarganya.

          Tapi keinginan Inyiak Ridha untuk kembali hidup bertani di awal kemerdekaan itu tidak mendapat dukungan dari suami beliau Uwan H. Abdul Manan. Penyebabnya adalah karena H. Abdul Manan sendiri bukanlah berlatar belakang seorang petani. Beliau tak pernah hidup bertani dari masa mudanya. Meskipun demikian Inyiak Ridha tetap bersikeras ingin kembali bertani untuk meneruskan tradisi keluarganya karena beberapa tumpak sawahnya tak ada yang mengurus. Begitu juga ladang dan rumahnya di Rumahtapanggang Macangmanih dan Sonsek juga terbengkalai. Akibat itu semua agak renggang lah hubungan mereka, walaupun sebenarnya tak ada masalah lain di antara mereka berdua. Tak lama setelah pernikahan Nursinah Manan dengan Amir Jamin, tak disangka hubungan  kedua orang tua mereka itu semakin merenggang dan akhirnya bercerai. 

          Sementara itu Amir Jamin dan Nursinah Manan tak lama setelah menikah, disuruh menempati rumah di Macangmanih yang sudah lama ditinggalkan. Datuak (abang) dari Inyiak Ridha yang juga adalah mamak (paman) dari Nursinah Manan yang bernama Thalib (Tuak Onda Tolik) yang beristrikan dari Suku Dalimo di Rumah Tonga, Kubang Tungkai, sangat senang sekali dengan pernikahan kemenakannya itu. Beliau selama ini yang sering mengurus rumah dan ladang di Macangmanih sangat berharap kemenakan perempuanya yang tertua itu mau mengurus rumah dan pusako mereka. Maka beliau buatkan beberapa Kolam ikan di halaman rumah di Macangmanih agar Nursinah Manan dan Amir Jamin mau tinggal di sana. Tak lama  setelah menikah, Nursinah Manan dan Kapten Amir Jamin mulai tinggal di Macangmanih. Para saudara dan tetangga di Rumah Nan Kodok, Batudukuang, Lugharencong, Guguakjirak dan Batuniru juga sangat senang karena pasangan muda itu mau tinggal di Macangmanih. Itu artinya Macangmanih akan kembali ceria karena sawah dan ladang akan kembali ada yang mengurusnya.

          Inyiak Ridha semakin bersikukuh setelah berminantu akan fokus bertani bersama anak menantunya. Beliau akan bersawah dan berladang di Macangmanih, Sonsek dan  Rumahtapanggang. Uwan H. Abdul Manan tak bisa lagi menahan keinginan istrinya itu, kemudian beliau rela menceraikan Inyiak Ridha secara baik-baik. Tetapi tak lama kemudian H. Abdul Manan menikah lagi dengan Inyiak Suna dari Kaum Malowe, Suku Payabadar kenagarian Kubang. Di Lontiakmalowe itu Nursinah Manan punya dua orang adik yaitu Dahlin Manan dan Dahler Manan.

          Sejak menikah,  Amir Jamin tak mau mengecewakan ibu mertuanya yang bertekad akan memulai hidup bertani di Macangmanih. Begitu menikah Amir Jamin telah membawa 4 ekor sapi untuk istri dan ibu mertuanya. Sapi itu adalah pemberian Ayahnya. Selain seorang annemer (pemborong) di Sawahlunto semasa kolonial Belanda, ayahnya H. M. Jamin Pono Batuah juga adalah seorang toke taranak (saudagar ternak) di nagari Kubang dan sekitarnya. Sapi-sapi itu akhirnya diserahkan oleh ibu mertuanya kepada kerabatnya di daerah Kubang Godang dan Limbang dengan sisitim dipaduoi yaitu sistim bagi hasil menurut syariat Islam. Sementar itu ibu mertuanya sebelumnya juga sudah punya sapi yang dipelihara oleh orang lain dengan sistim yang sama yaitu dipaduoi.

          Sebenarnya waktu itu Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati sedang ada sedikit konflik dengan temannya yaitu Komandan resimen 2, Letnan Kolonel Dahlan Ibrahim. Sebagai pimpinan Resimen 2 yang baru dibentuk bersamaan dengan berdirinya Divisi Banteng di awal kemerdekaan, Dahlan Ibrahim telah membubarkan Batalyon Sawahlunto/ Sijunjung yang di bentuk oleh Kapten Amir Jamin, kemudian meleburkan prajurit-prajuritnya kedalam bebagai batalyon di resimen 2. Batalyon Sawahlunto/Sijunjung  yang berasal dari BKR Sawahlunto itu sudah berdiri sebelum Divisi Banteng dan resimen 2 itu berdiri. Padahal waktu itu Batalyon Sawahlunto/ Sijunjung adalah ibarat sebuah "Pasukan Komando Elite" karena sudah punya infrastruktur dan fasilitas komplit yang di dukung oleh perusahaan tambang batubara Ombilin. Punya 200 orang lebih prajurit, punya Bengkel dan Pabrik Persenjataan, punya Markas Kesehatan atau Rumah Sakit Militer (RSUD Sawahlunto sekarang), punya Barak Prajurit (kampus SMA 1. Sawahlunto sekarang), Dapur Umum (Gudang Ransum) dan lain-lain. Barangkali Batalyon Sawahlunto/ Sijunjung mungkin adalah batalyon "terelit" di Indonesia pada waktu itu yaitu pada akhir tahun 1945, batalyon dengan infrastruktur yang lengkap. Tetapi oleh Dahlan Ibrahim, ratusan anak buah Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati kemudian di lebur kedalam berbagai Batalyon di Divisi Banteng, khususnya teritori resimen 2 yaitu Sawahlunto, Batu Sangkar, Solok dan Sungai Panuah Kerinci. 

            Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati awalnya kurang ikhlas melepas prajuritnya yang sudah didik dan dibinanya di Sawahlunto. Begitu juga para prajuritnya sendiri dan masyarakat Sawahlunto umumnya. Semuanya sempat agak kecewa dengan Letkol Dahlan Ibrahim yang dulu sama-sama coi Gyugun (letnan satu) dengan Kapten Amir Jamin. Coi adalah pangkat tertinggi yang pernah diberikan oleh Jepang kepada serdadu pribumi di Sumatra. Hanya lima orang perwira Gyugun di Padang yang mengenyam pangkat coi dari militer Jepang. Mereka adalah Amir Jamin Dahlan Ibrahim, Ismail Lengah, Dahlan Djambek dan Sjarief Usman. 

          Untuk melepaskan rasa kecewanya terhadap kebijakan Dahlan Ibrahim itu, maka Amir Jamin melampiaskannya dengan menanam cengkeh  bersama istri dan ibu mertuanya di Macangmanih. Gelombang kekecewaan dari berbagai kalangan terhadap Letkol Dahlan Ibrahim akhirnya diredam juga oleh Kapten Amir Jamin sendiri demi mengutamakan kepentingan perjuangan kemerdekaan. Karena waktu itu perang dengan Sekutu sudah terjadi dan Belanda yang membonceng dengan Sekutu dan ingin menjajah lagi, juga sudah nyata didepan mata.

          Tetapi setelah ada perombakan di tubuh Divisi Banteng dimana daerah Sawahlunto/ Sijunjung berada di bawah teritorial Resimen 3/ Harimau Kuranji pimpinan Ahmad Husein pada Juni 1946, maka Amir Jamin kembali disibukkan oleh tugas-tugasnya memperkuat basis pertahanan yang sudah dirintisnya sejak zaman BKR di jalur logistik Sawahlunto - Padang untuk menghadapi perang dengan Belanda. Ratusan anak buanya yang telah melebur dan menjadi tulang punggung di berbagai batalyon di Divisi Banteng,  tetap loyal kepadanya dan tetap dalam pengawasannya. Tandem Ahmad Husein dan Amir Jamin membuat solidnya resimen 3/ Harimau Kuranji dan divisi Banteng umumnya dalam perang agresi Belanda I dalam mempertahankan jalur logistik Sawahlunto - Padang via Lubuk Silasih. Sehingga tambang batubara Sawahlunto bisa terus berjalan dimasa perang sebagai basis dan penyokong perjuangan kemerdekaan itu.

          Nursinah Manan yang kini sudah menjadi istri prajurit, tetap menetap di ladangnya di Macangmani. Kadang kala di Macangmanih dan kadang kala di rumah Goduang Simpang, Rumahtapanggang. Kapten Amir Jamin tak mau melibatkan istrinya yang masih sangat muda belia itu ke dalam kacah perang revolusi.  Karena itu pula untuk keselamatan istri dan keluarganya, mereka tetap menetap di tengah ladang di Macangmanih. Padahal pada saat itu dia punya rumah yang luas di kelok "S" Sawahlunto ( Kantor Pengadilan Negeri Sawahlunto sekarang). Rumah itu diambil alih oleh Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati sejak awal Kemerdekaan, bersamaan dengan beberapa bangunan lain dari kepemilikan dan penguasaan kolonial Belanda di Sawahlunto.

          Sementara itu Nursinah Manan kadang kala harus tinggal sendirian di ladangnya itu. Bila siang hari ada Andenya yang menemani sambil berladang. Tapi andenya harus pulang ke rumahnya di Goduang Simpang  Rumahtapanggang, mengingat adik-adiknya juga ada yang masih kecil-kecil. Kadang andenya tak datang ke ladang di siang hari karena harus membawa hasil taninya ke pasar Sawahlunto. Andenya yang baru bercerai dengan ayahnya itu harus pula berjuang bersama mereka untuk menghidupi empat orang adiknya.

          Sejak itulah Nursinah Manan mulai menjalani ujian hidup yang sangat berat sebagai istri prajurit saat usianya baru 17 tahun. Keadaan yang berat itu mulai mendewasakannya dan mengajarkannya tentang banyak hal. Ujian hidup itu terasa semakin berat karena dia yang masih muda belia itu, harus pula mengerti arti pentingnya kemerdekaan yang di perjuangkan suaminya ditengah Perang  Agresi Belanda yang sedang berkecamuk. Hal itu telah mematangkannya sebelum usianya dewasa. Keadaan telah mengajarkannya tentang arti ketulusan, kesabaran, keberanian dan kesetiaan sebagai seorang istri prajurit, juga sebagai panutan bagi adik-adiknya dan kadangkala sebagai penengah antara Ande dan suaminya.      
    
          Macangmanih tak mungkin dia tinggalkan lagi karena semua keluarganya menggantungkan harapan kepadanya. Di Macangmanih juga sudah ada yang harus dia urus seperti rumah, kolam ikan, ternak ayam kampung, sawah dan ladang yang harus dia urus setiap hari. Ini juga menjadi salah satu alasan kenapa dia tak ikut suaminya yang berdinas di Sawahlunto. Alasan lainnya adalah karena ingin tetap mendampingi ande dan adik-adiknya yang kini berjuang sendiri dengan bertani setelah di tinggal cerai oleh ayahnya. Diasaat bersamaan,  Amir Jamin justru semakin jarang pulang karena kesibukannya membangun basis pertahanan di Sawahlunto untuk menghadapi perang agresi Belanda I. Kadangkala dia hanya pulang untuk mengganti pakaiannya saja sembari membawa pulang pakaian kotor dari markasnya di Sawahlunto. Tapi walaupun demikian Nursinah sudah sangat senang karena prajuritnya itu masih pulang dengan selamat. Hari-hari dalam kesendirian  di ladang Macangmanih, harus dia jalani sampai masa-masa hamil anak pertamanya. Hanya sekali-sekali dia ikut bersama Ande dan adik-adiknya menginap di rumah Goduang Simpang, Rumahtapanggang.

           Bila dia menginap sendirian di Macangmanih, ada beberapa orang anak-anak yang selalu mengawal Nursinah Manan bila malam hari tiba. Mereka adalah anak-anak tetangga jauh di sekitar Macangmanih, yang juga masih saudara-saudaranya. Anak-anak yang sering menemani itu adalah Mak Mali, Mak Kasim, Mak Jamaan dari Rumah Nan Kodok dan Pak Onda Ma' Osik Pito Rajo dari Lugharencong. 

         Waktu itu masih banyak harimau Sumatra yang suka berkeliaran bila malam hari di Macangmanih dan sekitarnya. Karena itulah anak-anak itu disuruh mengawal Nursinah Manan bila malam hari tiba dan bila dia sendirian di Macangmanih. Akhinya ketika sudah masa hamil tua barulah Nursinah Manan kembali ke Rumahtapanggang. Anak pertama mereka yaitu Faisal Amir akhirnya lahir di Rumahtapanggang (Rumah Goduang Simpang) pada April 1947.

          Hanya sebentar Nursinah Manan menetap di Rumahtapanggang, sebab tak lama setelah itu terjadi perang agresi Belanda I dan II. Keluarga besar Kapten Amir Jamin dan Nursinah Manan, termasuk Ande dan adik-adiknya kini semuanya mengungsi ke ladang Macangmanih. Mereka menyingkir karena perang itu, tetapi tetap menjalani hidup bertani. Namun Kapten Amir Jamin semakin sibuk dengan perang Agresi Belanda itu. Untunglah  Nursinah Manan sudah mulai mengerti bahwa beginilah menjadi istri seorang prajurit. Ia terus menunggu suaminya di tengah ladang dengan setia, prihatin dan penuh kecemasan. Kini dia menyadari bahwa dia telah semakin jauh terseret ke dalam idealisme yang ditegakkan oleh suaminya dalam arus dan gelombang perang revolusi kemerdekaan itu. 

          Bahkan setelah kemerdekaan, dia kembali terseret ikut suaminya kedalam kancah perang saudara (PRRI) di Sumatra Barat. Suaminya adalah sosok yang sangat dicari oleh Tentara Pusat dan OPR dan menjadi target operasinya.  Macangmani berubah menjadi tompek ijok (tempat persembunyian) dari kejaran OPR dan Tentara Pusat dari Sawahlunto. Kapten Amir Jamin akhirnya tertangkap tahun 1961 lalu dipenjara selama satu setengah tahun sebelum bebas dan mendapat grasi dari dari Rezim Ordelama pada tahun 1962.  Akhirnya lebih dari separoh hidupnya yaitu sekitar 38 tahun (1946-1984) tinggal di ladang Macangmani (Batuponjong) Kenagarian Kubang karena idealisme yang di tegakkan suaminya. Selama itu pula mereka bergelut dengan kemiskinan.

            Dimasa tuanya Hj. Nursinah Binti H. Abd. Manan hidup bahagia bersama anak cucunya di Jakarta. Beliau meninggal dunia di Rumah Sakit Tentara Gatot Subroto Jakarta tahun 2003 dan di makamkan di Sukatani, Depok Jawa Barat. Alfatihah.***

          Hj.Nursinah Binti H. Abd. Manan 
                           tahun 1962.   

      
      Rumah Macangmani tahun 2000-an

     


                                       

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)