SEJARAH TAMBANG BATUBARA DAN TANAH ULAYAT NAGARI KUBANG DI SAWAHLUNTO [4]

          Pada masa penjajahan Jepang, tambang batubara Ombilin berada di bawah Perusahaan Jepang bernama Hokkaido and Steamship Co. Ltd. Tapi pengamanannya berada di bawah komando serdadu Jepang. Saat itu tak ada terdengar konflik perusahaan tambang dengan masyarakat adat karena Jepang terkenal sangat keras. Selain itu kehidupan ekonomi masyarakat juga sangat sulit saat itu.
          Ketika awal kemerdekaan sampai awal agresi Belanda II, Perusahaan Tambang Batubara Ombilin ini berada di bawah penguasaan pejuang republik dan perusahaan tambang ini telah berkontribusi besar dalam perang mempertahankan kemerdekaan di Sumatra Tengah. Namun pada agresi Belanda II Desember 1948 sampai  penyerahan kedaulatan oleh Belanda setelah Konferensi Meja Bundar (KMB) Desember 1949, perusahaan tambang kembali berada di bawah penguasaan Belanda. Baru setelah itu yaitu sejak awal 1950-an perusahaan tambang batubara Ombilin kembali berada dalam penguasaan Negara Republik Indonesia di bawah Direktorat Pertambangan. 
          Seorang mahasiswa Jurusan Ilmu Politik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Andalas Padang bernama Muhammad Hafil, mencoba meneliti permasalahan sengketa tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto ini dengan  skripsi berjudul Respon Pemerintah Kota Sawahlunto Terhadap Tuntutan Niniakmamak Nagari Kubang yang diterbitkan tahun 2008. Hafil mengatakan bahwa sejak awal kemerdekaan sampai awal Orde Baru tak terdengar adanya sengketa tanah ulayat antara masyarakat hukum adat nagari Kubang dengan perusahaan tambang batubara. Ini menurutnya adalah karena perusahaan tambang hanya meneruskan sistim penambangan dalam atau tamda yang telah di mulai sejak zaman Belanda. Sehingga tak ada pemakaian tanah ulayat baru kecuali meneruskan yang selama ini di pakai penjahan Belanda.
          Permasalahan mulai muncul setelah pemerintahan orde baru mengeluarkan UU no. 11 tahun 1967 tentang Ketentuan Pokok-Pokok Penambangan (UU KPP 1967). Sejak saat itu ideologi penguasaan galian yang berada di wilayah hukum Indonesia dikuasai oleh negara berdasarkan Hak Menguasai Negara (HMN) sebagaimana yang dimaksud dengan pasal 33 ayat (3) UUD 1945. 
Implementasi dari HMN terlihat pada pasal 1 UU KPP 1967 karena pemanfaatan, penggunaan dan peruntukan atas segala bahan galian yang terdapat dalam wilayah hukum pertambangan Indonesia adalah Kekayaan Nasional Bangasa Indonesia dan oleh karena itu dikuasai oleh negara. Implikasi dari peraturan tersebut adalah hilangnya wewenang masyarakat adat atas segala bahan galian di tanah ulayat mereka.
          Pada tahun 1990 Pemerintah Pusat mengeluarkan peraturan no. 56 tahun 1990 yang menggabungkan Perum Tambang Batubara Ombilin dengan PT. Bukit Asam (Persero). Sehingga Tambang Batubara Ombilin berubah menjadi Unit Penambangan Ombilin yang berada di bawah PTBA atau PTBA UPO. Karena Tambang Batubara Ombilin hanya menjadi unit dari PTBA maka dia tidak mempunyai wewenang mengambil kebijakan dan keputusan sendiri. Segala kebijakan diambil alih oleh pimpinan PTBA di Tanjung Enim, Sumatra Selatan. Penggabungan ini membawa implikasi pada tanggung jawab sosial perusahaan dan hubungan masyarakat hukum adat dengan perusahaan tidak lagi harmonis. Perusahaan menunjukkan sikap tidak peduli dengan masyarakat hukum adat yang berada di sekitar kuasa penambangannya. Perusahaan lebih berorientasi kepada keuntungan semata sementara tanggung jawab sosialnya tidak di perhatikan.
          Pasca reformasi keluar pula peraturan tentang otonomi daerah no. 32 tahun 2004 sebagai pengganti UU no. 22 tahun 1999 yang juga tentang pemerintahan daerah. PP no. 32 tahun 2004 ini memberi kewenangan kepada pemda provinsi dan kabupaten/ kota mengeluarkan perizinan yang berkaitan dengan investasi termasuk kegiatan penambangan. Maka Pemda Kota Sawahlunto lalu mengeluarkan izin kuasa penebangan terhadap PTBA UPO. Sayangnya kebijakan untuk mengeluarkan kuasa penambangan oleh Pemda Kota Sawahlunto ini tidak pernah mengikutsertakan masyarakat hukum adat pemilik ulayat, termasuk masyarakat hukum adat nagari Kubang. Ironinya sejak itu PTBA UPO justru menghentikan kegiatan penambangannya.
          Sementara itu PTBA UPO telah pula mengeluarkan Izin Pemakaian Tanah ulayat nagari Kubang "yang katanya" termasuk dalam kuasa penambangannya dan sudah tak terpakai lagi kepada pihak lain seperi Pemda Kota Sawahlunto, masyarakat umum dan lain-lain, tanpa seizin pemilik ulayat yaitu nagari Kubang. Pada saat yang sama PTKAI Divisi Regional II Sumatra Barat di Sawahlunto juga melakukan hal yang sama. 
          PTBA UPO telah menyewakan bangunan yang berdiri di atas tanah ulayat nagari Kubang dan juga menyewakan tanah ulayat nagari Kubang yang berada di bawah kuasa penambangannya dan sudah tak terpakai lagi kepada pihak-pihak lain seperti kepada Pemda Kota dan masyarakat umum. Sementara itu PTKAI telah menyewakan pula tanah ulayat nagari Kubang kepada masyarakat, bahkan PTKAI telah menyewakan kepada masyarakat umum tanah ulayat nagari Kubang yang tidak termasuk kedalam jalur transportasi kereta api tetapi di klaim sebagai miliknya. Pemko Sawahlunto yang diharapkan sebagai penengah juga melakukan hal yang sama, tidak pernah bermusyawarah memberi tahu niniakmamak dalam menentukan lokasi untuk pembangunan seperti fasilitas umum ataupun fasilitas lainnya di Sawahlunto.
          Akumulasi dari semua masalah inilah yang akhirnya membuat masyarkat hukum adat nagari Kubang marah. Pada tahun 2006, KAN nagari Kubang menyurati Pemda Kota Sawahlunto, PTBA UPO dan PTKAI Divisi Regional II Sumatra Barat, untuk meminta duduk bersama menyelesaikan permasalahan tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto. Tapi surat itu tak digubris oleh Pemda Sawahlunto. Karena surat KAN nagari Kubang tak digubris, akhirnya memicu terbitnya surat Somasi Niniakmamak nagari Kubang tahun 2007. Inti dari Somasi Niniakmamak nagari Kubang tahun 2007 itu adalah meminta kembali duduk besama antara Niniakmamak dengan pihak yang bertikai  dengan di mediasi oleh Pemda Kota Sawahlunto. Dalam hal ini niniakmamak nagari Kubang berharap Walikota Sawahlunto sebagai pemimpin dan tempat  berlindung bagi masyarakat hukum adat nagari Kubang khususnya dan masyarakat Sawahlunto umumnya, agar memediasi dan memberikan solusi terhadap permasalahan tanah ulayat yang sudah berlangsung sejak masa kolonial ini. Tapi surat somasi niniakmamak nagari Kubang tahun 2007 ini juga tak di tanggapi oleh Pemda Kota sawahlunto. Sehingga sampai saat ini duduk bersama atau musyawarah untuk mencari solusi yang menjadi ciri dari masyarakat adat nagari Kubang khususnya dan masyarakat Minangkabau umumnya, tak pernah terlaksana. Hal ini membuat permasalahan sengketa tanah ulayat ini terus berlarut-larut hingga saat ini.
          Dari kesimpulan skripsi ini mengatakan bahwa Pemerintah Kota Sawahlunto sebagai posisi sentral dalam pelaksanaan Otonomi Daerah, tidak menempatkan diri dengan baik dalam menyelesaikan permasalahan tanah ulayat nagari Kubang di Sawahlunto. Good Governance yang dicita-citakan masyarakat adat dengan responsiveness (daya tanggap) pemerintah daerah sebagai kata kuncinya, ternyata jauh dari harapan. Kesimpulan skripsi yang berdasarkan riset ilmiah ini tentu tak bisa diabaikan begitu saja. Karena masalah pertanahan adalah fondasi utama dari sebuah Kota. 
          Kini telah 133 tahun kota Sawahlunto berdiri. Awalnya adalah sebagai tempat dibangunnya berbagai fasilitas pertambangan lalu kemudian menjelma menjadi sebuah kota yang modern, sejak itu pula permasalahan tanah ulayat di Sawahlunto ini  dimulai. Masyarakat hukum adat nagari Kubang tentu takkan pernah lupa karena bagi mereka peristiwa ini adalah peristiwa besar.  Ini selalu diceritakan turun temurun ke anak cucunya yang tetap tinggal dan hidup bagaikan pungguk merindukan bulan di tengah-tengah lingkaran sengketa itu.  Rangkaian peristiwa demi peristiwa yang mereka alami dalam kurun waktu yang panjang itu, tentu terukir dalam memori. Rangkaian kebijakan demi kebijakan yang berdampak kepada mereka dalam rentang waktu yang panjang itu juga tersimpan dalam dokumen-dokumen penjajahan sampai setela menjadi negara merdeka. Tapi mengapa kita semua terlalu mudah untuk melupakannya.
          Tulisan ini tidak bermaksud untuk menghakimi peristiwa-peristiwa dan kebijakan-kebijakan masa lalu. Karena setiap peristiwa masa lalu dan setiap kebijakan pada masa lalu, tak bisa  dinilai dalam nuansa masa kini. Hidup itu dinamis dan dia terus bergulir ke depan. Biarlah masa lalu menjadi sejarah yang abadi bagi kota ini. Tulisan ini hanya sekedar mengingatkan kita akan pentingnya mengetahui sejarah khususnya generasi penerus estafet kepemimpinan di kota ini dan umumnya para pemegang tampuk-tampuk kekuasaan. Seperti kata-kata bijak seorang kawan yang mengatakan bahwa melihat sejarah itu adalah ibarat melihat kaca spion, melihat kebelakang agar selamat maju ke depan.  *** Tamat

Kota Sawahlunto


          
          
          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)