SEJARAH TAMBANG BATUBARA DAN TANAH ULAYAT NAGARI KUBANG DI SAWAHLUNTO [3]

          Ketidakpuasan masyarakat hukum adat Nagari Kubang terhadap Belanda di Sawahlunto terus menumpuk. Tambang telah mulai berproduksi sejak 1892, fasilitas pendukung tambang pun mulai dibangun seperti rel kereta, stasiun, pasar, pembangkit listrik, rumah sakit, emplacment saringan batubara, rumah dinas para petinggi tambang, mes karyawan, perkantoran dan lain-lain. Tanah ulayat itu diperlakukan seperti milik mereka sendiri. Semua fasilitas tambang dibangun sesuai kebutuhannya di tempat-tempat yang mereka suka. Hutan masyarkat adat di sekitar persawahan sampai ke Rimboporiang dan Guak Sugai juga mereka kuras untuk kebutuhan penambangan dan membangun fasilitas itu. Tetapi pihak Belanda tidak pernah lagi membayar ganti rugi atas pemakaian tanah ulayat, atas pemanfaatan hasil hutan dan lain-lain, serta tak pernah membayar royalty kepada nagari terhadap semua hasil hutan dan tambang yang mereka ambil.
         Karena perlakuan Belanda itu tak ada masyarkat adat nagari-nagari khususnya masyarakat hukum adat nagari Kubang yang mau bekerja di pertambangan itu pada masa-masa awal eksploitasi. Apalagi bekerja sebagai babu mereka di mes-mes para pimpinan tambang itu, tak pernah terjadi. Alam pedesaan yang damai tentram berubah sekejap mata. Masyarakat adat adalah masyarakat yang sangat regilius memegang teguh prinsip-prinsip agama dan adat. Akibatnya kebencian masyarakat adat terhadap penjajahan Belanda semakin hari semakin menggunung. Itu tergambar dengan sebutan-sebutan yang berkonotasi negative terhadap penjajah karena mengumbar janji-janji manis saja seperti Balondo mintak tanah, sikapia dan lain-lain yang masih terdengar pada generasi-generasi tua setelah kemerdekaan.
          Namun Belanda selalu mencari akal untuk menancapkan kukunya dengan kokoh di tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan nagari-nagari lain yang berdekatan. Langkah-langkahnya dimulai dengan dijadikannya daerah Ilie (Sawahlunto) ini sebagai bagian dari Afdealing Tanah Datar (1888). Kemudian dibuat pula kelarasan-kelarasan setingkat kecamatan. Nagari Kubang termasuk kedalam Kelarasan Silungkang yang terdiri dari Nagari Kubang, Silungkang dan Lunto. Laras pertama dari Kelarasan Silungkang diangkatlah Abdul Madjid atau terkenal dengan sebutan Tuanku Nan Dirawang. Beliau adalah salah seorang pemuka masyarakat Kubang yang sangat disegani dari kaum Tarataklawuik, suku Supanjang dan beliau juga adalah ahli waris dari Sawah Rawang. Tapi Abdul Madjid alias Nan Dirawang tak lama menjadi Laras, karena alasan tak bisa baca tulis huruf latin. Tapi ini hanyalah salah satu alasan beliau saja, sebab ternyata tugas utama seorang Angku Lareh (Laras) adalah sebagai penanggung jawab atas pemungutan pajak rakyat di kelarasannya. Begitulah cara Belanda mulai menancapkan kukunya di tanah ulayat yaitu dengan mengangkat orang berpengaruh menjadi pejabat pentingnya. Kearena itu Abdul Madjid mengundurkan diri lalu beliau digantikan oleh Djaar St. Pamuncak dari Nagari Silungkang.
          Pada saat yang sama Belanda juga mengangkat pemimpin nagari yang disebut Angku Palo menjadi "pegawai" di pemerintahan Belanda. Angku Palo Nagari Kubang pada masa itu adalah seorang Pangulu (Datuk) dari suku Supanjang. Beliau adalah Jakfar Dt. Rajo Batuah yang juga dari Kaum Tarataklawuik, Suku Supanjang. Beliau juga adalah orang yang sangat berpengaruh dan disegani di Nagari Kubang saat itu. Taka ada catatan pasti sejak kapan Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah menjadi Angku Palo Nagari Kubang. Tapi beliau sudah menjadi Angku Palo Nagari Kubang ketika Belanda  mulai menduduki Nagari Kubang. Begitulah liciknya Belanda memanfaatkan kekuasaan Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah dengan menjadikan beliau sebagai pegawai di pemerintahannya. Kemudian kapan berakhirnya kepemimpinan Angku Palo Jakfar ini, tak diketahui pula dengan pasti. Tapi ketika berakhirnya Porang Tahun Salapan yang ditandai dengan perdamaian di Balaikubang sekitar 1908-1909, Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah masih menjadi Angku Palo Nagari Kubang. 
          Mengangkat jadi pegawai pemerintahannya lalu menggaji para angku palo itu dilakukan oleh Belanda di semua nagari-nagari yang didudukinya di Minangkabau. ini adalah cara penjajahan Belanda mengendalikan nagari-nagari yang independen ini, termasuk nagari Kubang. Sejak itulah nagari-nagari itu tidak lagi independen karena sudah dirampas kemerdekaannya. Apalagi Nagari Kubang begitu penting artinya bagi Belanda,  karena itu diperlukan langkah-langkah strategis untuk mengamankan investasinya di Ilie (Sawahlunto). Demikian juga mengenai pembentukan kelarasan-kelarasan di Sawahlunto oleh pemerintahan kolonial Belanda. Semua itu adalah sebagai strategi untuk menancapkan kekuasaannya demi menguasai sumber daya alam yang ada di di Nagari Kubang dan sekitarnya. 
          Baik pembentukan kelarasan maupun pemberdayaan angku Palo sebagai pegawainya Belanda, semakin membuat masyarakat hukum adat Nagari Kubang menjadi tidak berdaya. Namun untunglah Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah ini pintar-pintar bermain di dua kaki agar tidak melakukan hal-hal yang menyebabkan nagari Kubang melepas hak kepemilikan atas ulayatnya kepada penjajah. Sayangnya Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah sudah terbelenggu oleh kekuasaan penjajah itu sehingga beliau juga tak berdaya untuk meminta hak royalty buat nagari Kubang kepada penjajah yang sangat licik cemgraman dan intimidasinya itu. Sebaliknya justru pihak belanda yang terus memanfaatkan kekuasaan Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah ini untuk berlindung dari protes-protes yang terus gencar dilakukan oleh masyarakat hukum adat Nagari Kubang. Demikianlah kelicikan-kelicikan penjajahan Belanda dalam menguras kekayaan nagari. Angku Palo Jakfar Dt. Rajo Batuah terkenal dengan sebutan Angku Palo Pensiun. Karena beliau menerina pensiun dari Belanda ketika beliau sudah tidak menjadi Angku Palo lagi.
          Sementara itu di internal perusahaan tambang itu sendiri, Belanda juga mempraktekkan hal-hal yang bertentangan dengan norma-norma kemanusiaan, agama dan adat istiadat. Perusahaan pertambangan batubara milik Pemerintah Kolonial Belanda ini telah melakukan pula praktek perbudakan, perdagangan manusia dan rasisme. Belanda memperkerjakan para tahanan yang didatangkan dari berbagai daerah yang disebut dengan orang rantai. Mereka diikat kakinya dengan rantai besi lalu dipekerjakan. Perusahaan juga merekrut buruh-buruh kontrak dari berbagai daerah di Nusantara termasuk dari Cina yang sebagian mereka awalnya mungkin tidak tahu akan bekerja seperti apa, atau bahkan mungkin ada juga yang tidak tahu akan dibawa kemana. Perusahaan juga membeda-bedakan perlakuan terhadap buruh berdasarkan etnis atau kelompok. Bahkan perusahan tambang itu menerapkan hukuman cambuk kepada buruhnya atas kesalahan-kesalahan tertentu. Semuanya itu adalah strategi busuk penjajah untuk mencengkramkan kekuasaannya demi untuk meraut keuntungan sebesar-besarnya. Belanda telah menghalalkan berbagai cara untuk mencapai tujuannya itu di Sawahlunto.
          Ketika kekuasaan Belanda semakin kuat di Sawahlunto dan pemasukan yang didapat dari pertambangan semakin meningkat, maka kerakusan penjajah ini semakin terlihat dengan terus membangun fasilitas pertambangan tanpa henti di ulayat nagari Kubang. Masyarakat adat mereka diusir dari sawah-sawah dan ladangnya untuk dipakai sebagai tempat dibangunnya berbagai macam fasilitas tambang. Lebih bobrok lagi adalah pada saat seperti itu, akan di berlakukan pula kerja paksa kepada masyarakat adat untuk mengeruk hasil buminya sendiri demi kepentingan penjajah, serta akan ditarik pula belasting (pajak) bagi tanah dan ternak mereka untuk penjajah. Akumulasi dari semua kemarahan masyarakat adat yang menumpuk itu mengakibatkan meletusnya perang dahsyat yang terkenal dengan Porang Tahun Salapan atau "Perang Tahun 1908 di Sawahlunto" yang berakhir dengan perdamaian di Balaikubang (peristiwa perang itu telah tuangkan didalam satu tulisan khusus di  bagindobonsu.blogspot.com).
          Setelah peristiwa Porang Tahun Salapan itu, Kekuatan finansial perusahaan semakin kuat dan Keuntungan dari tambang itu semakin berlipat ganda dari tahun ke tahun. Belanda menggelontorkan dana sampai 5,5 juta gulden untuk pembangunan fasilitas tambang secara bertahap di tanah ulayat Nagari Kubang. Tetapi coba bandingkan dengan keuntungan yang pernah dibukukan perusahaan itu sebesar 4,6 juta gulden di tahun 1920 saja. Namun nasib Nagari Kubang sebagai pemilik ulayat (dan nagari Kolok serta Sijantang) tak pernah lagi menerima uang selain yang 1500 gulden plus pesta adat itu. 
          Perusahaan tambang terus menuju puncak kejayaannya. Begitu juga Kota Sawahlunto terus tumbuh menjadi kota metropolitan yang sangat  maju dengan pertambangan batubara terbesar dan termodern di kawasan Asia Tenggara bahkan mungkin termasuk salah satu daerah pertambangan termodern di kawasan Asia. Nama Sawahlunto semakin harum di negara-negara Eropa. Status kota ini terus di tingkatkan didalam sistim Pemerintahan Kolonial Hindia Belanda sesuai perkembangannya. Pada tahun 1918 status kota ini berubah menjadi Gemeente. Pemerintahan kota dijalankan oleh Burgemeester dan Stadesgementeeraad.
          Setelah Sawahlunyo menjadi Gemeente ini, penjajahan Kolonial Belanda di tanah ulayat semakin mantap. Situasi kehidupan buruh di pertambangan itu juga semakin membaik. Tetapi sebaliknya kehidupan sosial ekonomi masyarakat nagari-nagari umunya dan nagari Kubang khusunya justru semakin terperosok ke jurang kemiskinan. Beruntunglah ada pusat keramaian, khususnya pasar Sawahlunto yang semakin ramai oleh pendatang. Akhirnya pasar inilah yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan nagari-nagari sekitarnya. 
         Sejak awal berdirinya pasar ini sebagai akibat semakin ramainya pendatang, maka sebuah sistem kearifan lokal terbentuk yaitu diangkatnya Inyiak Dagang guna menjembatani hubungan antara ughang dagang (para pendatang) yang mulai tinggal menetap di Sawahlunto dengan Angku Palo Nagari Kubang dan masyarakat hukum adat Nagari Kubang sebagai penduduk asli sekaligus pemilik ulayat. 
          Inyiak Dagang adalah pemimpin para pendatang di Sawahlunto. Syarat menjadi Inyiak Dagang antara lain adalah harus orang Minang asli yang mengerti adat istiadat di Minangkabau. Inyiak Dagang juga harus orang yang di segani oleh para pendatang dan masyarakat hukum adat nagari Kubang. Sejak itu Sawahlunto seperti sebuah "jorong baru" dari nagari Kubang dan tetap dibawah kekuasaan Angku Palo Nagari Kubang sebagai pemimpin nagari. Sejak itu pula banyak ughang dagang yang mulai menetap di Sawahlunto lalu mangaku mamak ke suku-suku yang ada di Nagari Kubang. Ini sesuai dengan pituah atau filosofi adat di Minangkabau yaitu dimano bumi di pijak disinan langik dijunjuang. Beginilah kearifan pemimpin-pemimpin adat Nagari Kubang zaman dahulu yang fleksibel menyikapi situasi yang ada di Sawahlunto saat itu. Disatu sisi tetap menentang pemakaian tanah ulayat yang semena-mena oleh penjajah tapi disisi lain terpaksa mengakomodir para pendatang yang mencari penghidupan. Mengenai hubungan sosial kemasyarakatan, tampaklah masyarakat hukum adat nagari kubang sangat fleksibel pula. Mereka membaur saja dengan ughang dagang itu. Ada yang jadi pedagang juga dan sebagian tetap jadi petani lalu menjual hasil taninya di pasar Sawahlunto.
          Seiring dengan berjalannya waktu orang-orang Belanda juga semakin ramai di Sawahlunto. Sebagian masyarakat adat nagari Kubang mulai berpikir mencari penghidupan di perusahaan tambang itu, tapi mereka tetap belum mau menjadi buruh tambang. Mereka tidak menganggap orang-orang Belanda itu lebih tinggi peradabannya dan kedudukan strata sosialnya, walaupun Belanda beranggapan begitu. Bagi mereka orang Belanda itu tetaplah sikapia yang merampas tanah ulayat mereka. Sejak itu mulai ada dari masyarakat hukum adat nagari Kubang yang berprofesi menjadi rekanan di perusahaan tambang itu. 
          H.M. Jamin Pono Batuah awalnya adalah seorang toke taranak (pedagang ternak) yang sukses di nagari Kubang dan sekitarnya. Ternak beliau (khususnya ternak sapi) dikembangbiakkan oleh masyarakat Nagari Kubang di bukit-bukit di nagari Kubang dengan sistim dipaduoi yaitu sistim bagi hasil menurut syariat islam. Lalu pasca Porang Tahun Salapan dimana Belanda dengan kekuasaannya terus mengeksploitasi tanah ulayat itu, maka beliau mencoba mengadu peruntungan menjadi rekanan di perusahaan tambang itu yaitu sebagai anemer (pemborong), terutama dalam hal pengadaan kayu untuk kebutuhan penyangga lobang tambang. Untuk itu H. M. Jamin Pono Batuah menjalin kerjasama dengan nagari-nagari pemilik hutan ulayat  sampai ke pedalaman kabupaten Sijunjung dan Dharmasraya sekarang untuk membeli kayu kebutuhan tambang itu. Selain sukses sebagai rekanan di perusahaan tambang itu, beliau juga  mempunyai kontrakan rumah dan toko sampai 40 pintu yang di kontrakan kepada ughang dagang di Sawahlunto. Akhirnya H. M. Jamin Pono Batuah terus tumbuh menjadi seorang pengusaha sukses yang disegani  baik oleh ughang dagang maupun oleh penjajah Belanda di Kota Sawahlunto saat itu. Karena itu pula akhirnya Belanda memperbolehkan anak dan ponakan-ponakannya sekolah di HIS (Hollandsch Inlandsche School) Sawahlunto. HIS Sawahlunto didirikan Belanda tahun 1921 yang berlokasi di SMPN I Sawahlunto sekarang. H. M. Jamin Pono Batuah berasal dari kaum Rumahtapanggang, Suku Sikumbang Kenagarian Kubang. Beliau adalah anak dari Tuanku H. Khatib, pemimpin spiritual  Porang Tahun Salapan dan cucu dari Abdul Madjid atau Tuanku Nan Dirawang, yang merupakan Laras pertama di Kelarasan Silungkang. 
          Adik dari H. M. Jamin Pono Batuah yaitu  H. Abdul Gani alias Haji Sumbu yang tadinya adalah salah satu tokoh Porang Tahun Salapan, menduduki peran penting di perusahaan. Beliau di dibayar oleh perusahaan bila terjadi keributan antara buruh-buruh tambang. Kehidupan tambang yang keras dengan buruhnya yang multi etnis sering kali terjadi perkelahian sampai pembunuhan antar kelompok atau etnis. Abdul Gani atau "Genie" sangat popupuler dikalangan Belanda Sawahlunto sejak peristiwa Porang Tahun Salapan. Beliau sangat disegani oleh semua kalangan di perusahaan tambang itu. 
           Kerabat H. Abdul Gani dari kaum Rumahtapanggang yaitu Akuk Kayo (Ya'kub) adalah orang yang bergerak dibidang jasa di perusahaan tambang itu. Beliau menjadi rekanan perusahaan tambang  dalam urusan menangkap buruh tambang, khususnya orang-orang rantai yang melarikan diri. Kerasnya kehidupan serta pekerjaan dilingkungan pertambangan yang sudah diluar kemampuan manusia menyebabkan pula banyak orang-orang rantai yang melarikan diri. Ya'kub atau lebih terkenal dengan nama Akuk Kayo, punya keahlian dalam mengembalikan orang-orang rantai yang melarikan diri dan bersembunyi di hutan-hutan-hutan ulayat nagari kubang. Biasanya mereka yang tertangkap itu di pekerjakan dulu sampai berminggu-minggu di ladang beliau di daerah Sikabu dan Sumpahan sebelum diserahkan ke perusahaan tambang. Beliau sudah punya komitmen dengan perusahaan tambang tentang berapa imbalanya per orang yang ditangkap dan juga sudah punya komitmen dengan perusahaan agar orang-orang yang dia kembalikan ke perusahaan itu diperlakukan dengan baik. Baik Abdul Gani maupun Akuk Kayo adalah orang-orang yang ditakuti dan disegani baik oleh orang-orang Belanda maupun para buruh tambang karena mereka adalah para pendekar dengan kedalaman ilmunya pada masa itu.
          Kemudian Angku Palo nagari Kubang yang terkenal lainnya adalah Angku Palo Muhammad Rasyad Dt. Maharaja Kayo  yang merupakan Pangulu (Datuk) dari suku Dalimo. Beliau kemudian jadi menantu oleh M. Jamin Pono Batuah setelah istri pertamanya meninggal dunia. Angku Palo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo mengurus masalah ulayat Nagari Kubang di Sawahlunto dengan tetap meneruskan prinsip-prinsip adat nan salingka nagari dari para pendahulunya. Dikalangan ughang dagang (pendatang) di Sawahlunto  beliau terkenal dengan sebutan Angku Palo Babulu Lidah karena sangat pandai betutur kata, tegas dan bijaksana sehingga juga sangat disegani oleh semua kalangan di Sawahlunto pada zamannya. Beliau juga terkenal dengan pergaulannya yang sangat luas dikalangan kaum adat di Minangkabau sehingga pernah menjadi anggota dan pimpinan Minangkabau Raad. Tapi Angku Palo M. Rasyad meninggal pada usia yang relative masih muda pada tahun 1938. Diwaktu beliau meninggal dunia secara mendadak ada keanehan yang terjadi. Nagari Kubang tiba-tiba dilanda hujan lebat dan angin kencang disaat cuaca sedang cerah di siang bolong. Saat itulah Angku Palo yang masih muda dan sehat walafiat itu tiba-tiba meninggal dunia. Masyarakat hukum adat Nagari Kubang berduka. Banyak masyarakat yang menghubungkan kepergian Angku Palo itu dengan pertentangan-pertentang yang terjadi di Minangkabau Raad waktu itu. 
          Tak ada catatan resmi sejak kapan M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo menjadi Angku Palo Nagari Kubang. Tetapi dalam sejarah Mesjid Baitunnur Kubang disebutkan bahwa pada tahun 1927 dilakukan renovasi Mesjid Baitunnur Kubang yaitu mengganti atap masjid yang sudah lapuk dari atap ijuk menjadi atap seng, dan itu dilakukan atas prakarsa Angku Palo M. Rasyad Dt. Maharajo Kayo. 
          Dimasa kepemimpinan  Angku Palo M. Rasyad inilah orang Kubang mulai ada yang bekerja di perusahaan tambang batubara itu. Pengaruhnya sebagai Angku Palo Nagari Kubang cukup besar di kalangan petinggi-petinggi tambang dan kalangan pemerintahan Belanda di Sawahlunto. Salah satu orang Kubang yang pertama masuk jadi karyawan tambang itu adalah Jamiun Jamin dari suku Payabadar. Belau anak tertua dari H. M. Jamin Pono Batuah sekaligus merupakan kakak ipar dari Angku Palo M. Rasyad Dt. Pangulu Maharajo Kayo. Jamiun Jamin akhirnya menduduki jabatan penting di perusahaan tambang itu. Waktu itu tambang sudah pada masa kejayaannya dan situasi buruh sudah jauh lebih baik. Melalui Jamiun Jamin inilah masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan nagari-nagari sekitar banyak direkrut di perusahaan tambang ini. Apalagi sejak setelah kemerdekaan, masyarakat hukum adat Nagari Kubang berduyun-duyun masuk menjadi karyawan tambang batubara Ombilin peninggalan Pemerintah Hindia Belanda itu atas prakarsa Jamiun Jamin. 
          Hebatnya adalah sikap buruh tambang sekaligus sebagai masyarakat hukum adat Nagari Kubang terhadap investasi nagari mereka atas kepemilikan tanah ulayat yang di pakai Belanda dan terhadap royalty perusahaan kepada nagari, tidak berubah sama sekali. Sikap para karyawan tambang yang berasal dari Nagari Kubang itu tetap sama dengan sikap semua anak Nagari Kubang seperti yang telah digariskan oleh adat dan para pendahulu mereka sampai tambang itu tutup setelah kemerdekaan.
          Inilah contoh dari sebagian tokoh-tokoh nagari Kubang zaman saisuak. Tetap tegas dalam urusan tanah ulayat tapi umumnya sangat fleksibel dalam bermasyarakat di Sawahlunto, dimana Sawahlunto sudah tak terbendung menjadi sebuah kota maju dan modern. Sebagai tokoh masyarkat adat Nagari Kubang, mereka tetap melakukan protes-protes atas pemakaian tanah ulayat yang tak jelas duduk perkaranya oleh perusahan tambang batubara milik pemerintahan kolonial Belanda itu. Karena menjaga  tanah ulayat adalah  prinsip yang harus di pertahankan, sebab tanah Ulayat itu adalah titipan dari pendiri-pendiri nagari zaman dahulu untuk anak cucu mereka dari generasi ke generasi. Itulah sebabnya kenapa hukum adat di Minangkabau tidak memperbolehkan jual beli atas ulayatnya. Karena itu pula untuk urusan tanah ulayat ini, protes masyarakat adat nagari-nagari khususnya Nagari Kubang tak pernah berhenti sampai berakhirnya pendudukan Belanda di Sawahlunto. Bahkan sampai perusahaan tambang tidak beroperasi lagi pasca otonomi daerah, protes terus dilakukan. Kecuali mungkin suatu saat sudah melalui proses yang benar secara adat di nagari Kubang khususnya dan Minangkabau umumnya. ***(Bersambung)


Keterangan gambar : Kondisi Pasar Sawahlunto masa awal-awal eksploitasi batubara di Sawahlunto. Pasar inilah yang menjadi tumpuan ekonomi masyarakat adat, khususnya masyarakat hukum adat Nagari Kubang saat itu.



         

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)