SEJARAH TAMBANG BATUBARA DAN TANAH ULAYAT NAGARI KUBANG DI SAWAHLUNTO [2]

          Ahli Geologi Belanda bernama C. De Groot Van Embden adalah geolog Belanda pertama yang mengeksplorasi kandungan batubara di daerah Ilie (Sawahlunto) dan sekitarnya. Dia melakukan eksplorasi selama 9 tahun yaitu dari tahun 1858 sampai dengan 1867. Kemudian pada tahun 1867 ini juga Belanda mengirim lagi seorang ahli geologinya yang bernama W. H. De Greeve ke daerah ini. De Greeve inilah yang menemukan kandungan batubara yang sangat besar di daerah ini. Pada tahun 1871 W. H. De Greeve menulis laporan atas penemuannya ini kepada Pemerintahan Hindia Belanda di Batavia. Laporan ini menjadi perbincangan di kalangan para petinggi Belanda. Setelah itu De Greeve kembali melanjutkan ekplorasinya untuk meneliti berapa perkiraan deposit batubara itu. Tapi naas baginya dia meninggal pada eksplorasinya yang kedua ini. W. H. De Greeve hanyut terbawa derasnya arus Barang Kuantan.
          Sepeninggal De Greeve ekplorasi dilanjutkan oleh R. D. M. Verbeek. Dari hasil ekplorasi Verbeek dapat diperkirakan bahwa deposit batubara itu mencapai 200 juta ton. Penemuan ini menggemparkan Pemerintahan Hindia Belanda bahkan menjadi perbincangan sampai ke Kerajaan Belanda. Deposit Batubara itu menyebar di beberapa tempat di nagari-nagari di sekitar daerah Ilie ini, diantaranya Nagari Kolok, Sijantang dan Nagari Kubang.
          Dari beberapa catatan tentang daerah Ilie ini dapat dilihat bagaimana Belanda membangun narasinya yang sangat merugikan masyarakat adat nagari Kubang. Belanda mengatakan daerah ini adalah daerah yang tandus dan tidak cocok untuk pertanian. Tetapi konon ada pula baru-baru ini yang membuat narasi menyesatkan, bahwa daerah Ilie dulu adalah daerah rawa yang tak berpenghuni. Apapun itu, baik balanda atau siapapun yang membuat narasi-narasi menyesatkan itu pastilah karena ada kepentingan yang besar dibalik semuanya. Ini perlu diluruskan. Bahwa daerah ini adalah daerah persawahan terluas di nagari kubang dan merupakan lumbung padi masyarakat adat Nagari Kubang zaman dahulu. 
         Kemudian dikatakan pula bahwa didaerah ini hanya dihuni oleh sekita 500 orang penduduk. Dapat dipastikan bahwa 500 orang itu semuanya adalah kaum-kaum dari masyarakat adat nagari Kubang. Tapi bagaimana nasib mereka, bagaimana penghidupan mereka setelah tambang mulai dieksploitasi, bagaimana ganti rugi oleh Belanda, bagaimana Royalty buat nagari dan lain-lain, semuanya tanpa ada kejelasan. 
           Beberapa tahun lamanya tiada kejelasan seperti apa solusi terhadap nasib sawah dan ladang masyarakat adat Nagari Kubang di Ilie. Bagaimana awal Belanda mengeksploitasi tanah ulayat nagari Kubang ini masih segar dalam ingatan masyarakat hukum adat Nagari Kubang. Ada sebuah cerita nyata berdasarkan sejarah lisan yang turun temurun tentang bagaimana Belanda memperlakukan masyarakat hukum adat nagari Kubang saat awal mereka mengeksploitasi daerah Ilie atau Sawahlunto ini.
          Waktu itu seorang nenek dengan tekun dan sangat hati-hati sedang menyiangi padi di sawahnya. Padinya menghampar hijau karena sangat subur dengan pengairan yang bagus dari sungai Batang Lunto. Tiba-tiba datang sekelompok orang Belanda tanpa permisi, lalu mengukur-ngukur persawahan itu dengan meteran yang panjang. Si nenek terheran-heran melihat kelakuan bule-bule itu yang tak punya rasa hormat dan sopan santun sama sekali. Si nenek tambah kesal lagi karena padi yang disayang-sangnya, mereka injak-injak seakan-akan hamparan rumput liar saja. Kemudian sinenek pura-pura terus bekerja, membungkuk-bungkuk menyiangi padi tetapi matanya terus mengawasi bule-bule itu sampai akhirnya mereka semakin mendekat. Ketika bule-bule itu sudah dekat dan masih asik mengukur-ngukur sambil tunjuk sini tunjuk sana, tiba-tiba melayanglah punggung pacul si nenek ke pundak salah seorang dari mereka. Seketika si bule tersungkur dan tak sadarkan diri. Terjadilah keributan di tengah sawah itu. Cukup lama juga teman-temannya baru bisa menaklukan perempuan tua itu. 
         Ketika itu pula anak cucu sang nenek dan para tetangga juga berhamburan keluar dari rumah-rumah mereka di sekitar sawah itu. Untunglah salah seorang dari mereka dengan cepat menguasai keadaan lalu mengatakan kepada orang-orang Belanda itu bahwa nenek mereka ini adalah orang yang kurang waras. Mereka tak mau terlibat masalah dengan penjajah itu. Hebatnya pula si nenek tua itu tiba-tiba berperilaku seperti orang yang benar-benar kurang waras. Si nenek itu berlari-lari dan berteriak-teriak sambil  basisengkek-sisengkek (mengamuk), namun terus di lerai dan di tenagkan oleh karib kerabatnya. Melihat situasi itu membuat sekelimpok pria Belanda itu pun percaya bahwa perempuan tua itu benar-benar kurang waras. Sehingga loloslah si nenek tua itu dari jerat hukum pemerintahan Kolonial Belanda yang baru mulai menancapkan kukunya di tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang. 
          Nenek itu berasal dari kaum Taratak Lawuik, suku Spanjang kenagarian Kubang. Sejarah lisan ini terus di ceritakan sebagai "tutua nan ditarimo" kepada anak-anak cucu sampai generasi melenial kini, yaitu setelah lima generasi dibawahnya. Inilah deskripsi atau gambaran yang terjadi ketika awal-awal tambang batubara Ombilin itu mulai mengeksploitasi tanah-tanah ulyat nagari Kubang dan tanah Ulayat masyarakat hukum adat nagari Kubang sekitar akhir tahun 1880-an. Setelah itu cukup lama tanpa kejelasan bagaimana nasib masyarakat adat dan bagaimana nasib tanah ulayat mereka. Tetapi eksploitasi itu terus berjalan untuk persiapan tambang membangun berbagai fasilitasnya di daerah yang kemudian mereka beri nama Sawahlunto. 
         Ketika batubara mulai berproduksi tahun 1892, disaat itu baru ada kejelasan nasib masyarkat adat nagari Kubang. Tapi keputusan itu sungguh sangat mengecewakan. Berawal dari surat keputusan Gubernur Jenderal Belanda di Batavia no. 1695 tanggal 15 Maret 1892  yang dikeluarkan tanpa musyawarah atau secara sepihak, untuk mengatasi persoalan  tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang. Di surat itu dikatakan bahwa Belanda mengeluarkan uang ganti rugi untuk niniakmamak nan ampek jinih dari 6 suku yang ada (24 orang) sebesar 1500 gulden atas persawahan atau perladangan milik masyarakat hukum adat Nagari Kubang di Ilia (Sawahlunto kota lama). Kemudian Belanda mengalokasikan dana sebesar 500 gulden untuk pesta adat. Hanya itulah yang didapatkan masyarakat hukum adat Nagari Kubang dari Belanda
          Sementara itu mengenai tanah-tanah ulayat nagari yang merupakan padang gembalaan dan hutan perburuan yang juga kaya dengan hasil-hasil hutan sebagai sumber ekonomi masyarakat adat selama ini, juga tak jelas duduk perkaranya. Belanda secara sepihak terus-menerus  memperluas pemakaian tanah Ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang, sesuai kebutuhannya tanpa jelas berapa luasnya dan dimana batas-batas konsesinya. 
          Masyarakat hukum adat Nagari Kubang menganggap uang yang sangat tak sebanding sebesar 1500 gulden itu hanyalah semacam uang siliah jariah atau uang pengganti tanaman yang rusak. Dan uang 500 gulden untuk pesta adat itu hanyalah untuk meredam gejolak dan amarah masyarakat adat Nagari Kubang. Uang itu tak ada hubungannya dengan pelepasan hak kepemilikan tanah ulayat Nagari Kubang, apalagi tanpa batas-batas konsesi yang jelas. Ini adalah kezoliman-kezoliman penjajah terhadap masyarakat hukum adat nagari Kubang. Keputusan tanpa azas musyawarah atau sepihak itu sangat cacat secara hukum adat di Minangkabau umumnya dan Nagari Kubang khususnya.
          Didalam  masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan Minangkabau ada banyak pituah-pituah (filosofi) yang menjadi landasan dalam menjalankan kehidupan sehari-hari. Pituah itu antara lain dikenal dengan adek basandi sarak, sarak basandi kitabullah. Maksudnya adalah bahwa adat berlandaskan agama (Islam) dan agama berlandaskan kitabullah (Al-Qur'an). Kemudian bagaimana posisi adat dengan sarak ini dalam menjalankannya, dipertegas pula dengan pituah yang berbunyi sarak mangato adek mamakai. Maksudnya adalah yang sudah digariskan agama dipakaikan dalam adat. Pituah-pituah itu  mencerminkan bahwa bagaimana masyarakat hukum adat nagari Kubang sangat teguh dalam beragama (Islam) dan beradat dalam menjalani kehidupan sehari-hari.
          Mengenai tanah ulayat Ini ada beberapa pituah yang dipegang teguh masyarakat hukum adat nagari Kubang diantaranya adalah dari tanah nan sabingka, dari ayia nan satitiak, dari capo nan sabatang, kaateh taambun jantan, kabawah takasiak bulan. Maksudnya adalah bahwa hak ulayat itu mencakup udara serta apa yang ada di permukaan bumi dengan segala kekayaannya dan apa yang ada di dalam perut bumi di wilayah Minangkabau. Kemudian ada pula petuah yang berbunyi kok dijua Indak dimakan bali kok digadai indak dimakan sando, yang maksudnya adalah bahwa ulayat itu pada prinsipnya tak bisa diperjualbelikan maupun digadaikan. 
          Namun sebetulnya ada hal yang bisa melepaskan hak kepemilikan atas tanah ulayat itu yaitu hibah. Tapi proses hibah ini tentu harus sesuai pula dengan ketentuan-ketentuan hukum adat yang berlaku. Selain itu sebenarnya gadai boleh pula dilakukan tetapi harus pula sesuai dengan ketentuan adat yang jadi pegangan masyarakat hukum adat Nagari Kubang khusnya dan Minangkabau umumnya. 
          Mengenai royalti atau fee atas penggunaan tanah ulayat oleh pihak-pihak lain ada pula pituah-pituah yang menjadi landasan pijakannya bagi masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan nagari-nagari lain umumnya. Pituah  itu berbunyi karimbo babungo kayu, kasungai babungo pasia, kalawuik babungo karang, kasawah babungo ampiang, katambang babungo ameh, dalam sapuluah kalua ciek. Maksud petuah ini adalah bahwa royalty atau fee terhadap penggunaan tanah ulayat itu berkisar 10%. Dalam sudut pandang adat Minangkabau, khususnya adat nan salingka nagari kubang menganggap bahwa Belanda hanyalah pengelola dari tanah ulayat mereka, lalu Belanda ingkar janji terhadap tanah ulayat yang mereka pakai maupun terhadap royalti yang sudah berlaku di tanah ulayat sebum Belanda datang. 
           Pituah adat juga mencakup bagaimana setelah si pemakai tanah ulat telah berhenti mengelolanya. Maka masyarakat adat sudah punya pituah untuk melindungi mereka yaitu berbunyi pai kabau kubangan tingga. Maksudnya adalah setelah si pengelola telah berhenti mengelola tanah Ulayat itu maka tanah itu kembali kepada pemilik ulayat, dalam hal ini adalah nagari Kubang.
          Sejak awal proses eksploitasi tambang batubara di tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari kubang, semua ketentuan adat dilanggar oleh Belanda. Baik mengenai tanah ulayat maupun mengenai royalty atau fee. Pituah yang berbunyi duduak surang basampik-sampik, duduak basamo balapang-lapang yang artinya azas musyawarah dalam menyelesaikan setiap persoalan, tidak diakomodir oleh pihak Belanda. Begitu juga pituah yang berbunyi kok lah pipih buliahlah dilayangkan, kok lah bulek buliahlah di giliangkan. Artinya bahwa setelah musyawarah itu mencapai kata sepakat maka hasil kesepakatan itu baru boleh di laksanakan. Jika belum ada kata sepakat maka belum  boleh dilaksanakan (dieksekusi) dan ini juga di langgar oleh penjajah Belanda.
          Didalam sebuah musyawarah semua aspirasi akan didengar. Memang biasanya pada awalnya akan banyak perdebatan dan pertentangan. Tapi pada akhirnya akan ada jalan tengah yang bisa diterima semua fihak. Ini juga tertuang di dalam pituah yang berbunyi basilang kayu dalam tungku disinan ayia mangkonyo masak. Kemudian seberat apapun permasalahan yang di hadapi tapi dengan musyawarah semua persoalan pasti bisa diselesaikan. Ini juga sesuai dengan pituah yang berbunyi indak ado kusuik nan indak salasai.
          Musyawarah yang menjadi kata kunci didalam setiap penyelesaian masaalah yang mencirikan masyarakat Minangkabau sebagai masyarakat yang egaliter dan demokratis seperti yang dianut oleh masyarakat hukum adat Nagari Kubang, tidak dilaksanakan oleh Pemerintah Kolonial Belanda. Kalaupun pernah namun apalah gunanya jika itu hanya pemanis mulut atau lips service semata yang akhirnya hanya untuk di ingkari, lain dimulut lain pula perbuatannya. Akibatnya juga sudah di tuangkan dalam sebuah pituah yang berbunyi tuah dek sapakek, cilako dek basilang. Maksudnya adalah jika penyelesaian permasalahan itu tidak dengan musyawarah atau tidak dengan kesepakatan bersama atau kesepakatan yang hanya dimulut saja, maka akan timbul banyak persoalan di kemudiaan hari. Ini telah terbukti terjadi. Bahwa apa yang diperlakukan oleh penjajahan Belanda terhadap tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang ini menyebabkan terjadinya peristiwa Porang Tahun Salapan (Perang Tahun 1908) yang di picu oleh masalah belasting (pajak) di Sawahlunto.  Kemudian berbuntut kepada persoalan-persoalan fundamental di bidang agraria yang dihadapi oleh masyarakat hukum adat nagari Kubang, pemerintah daerah kota Sawahlunto dan masyarakat Sawahlunto umumnya hingga saat ini. Akankah pemerintah khususnya pemerintah daerah kota Sawahlunto sebagai pemegang kekuasaan  kepemimpinan dan payuang panji masyarakat hukum adat Nagari Kubang dan masyarakat Sawahlunto umumnya akan memelihara terus sengketa agraria ini?  Wallahu'alam. *** (Bersambung)

Keterangan gambar :
Daerah yang oleh masyarakat hukum adat Nagari Kubang disebut Ilie merupakan lumbung padi masyarakat hukum adat Nagari Kubang, kemudian dijadikan tempat membangun segala fasilitas tambang batubara Ombilin (Ombilin Minjnen) milik pemerintah Hindia Belanda. 
          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)