SEJARAH TAMBANG BATUBARA DAN TANAH ULAYAT NAGARI KUBANG DI SAWAHLUNTO [1]

          Masyarkat hukum adat nagari Kubang zaman dahulu yaitu sebelum Belanda datang adalah masyarakat agraris yang mengandalkan hidup dari sektor pertanian dan peternakan. Penghidupan dari sektor pertanian adalah dari persawahan dan perladangan dan dari sektor peternakan tetutama mengandalkan ternak ruminansia seperti sapi, kerbau dan kambing.
           Topografi tanah ulayat nagari Kubang adalah perbukitan yang bergelombang dengan kemiringan sedang sampai curam. Namun sejak dahulu daerah persawahan itu banyak ditaruko (dibuat) terutama disepanjang aliran sungai Batang Lunto yang cukup landai. Daerah Persawahan itu mulai dari Galugu (Lubuakantuan) sampai ke Ayia Dingin (Sawahlunto). Pengairannya terutama dari Sungai Batanglunto dan lugha-lugha (anak sungai) yang bermuara ke Sungai Batanglunto tersebut.  Disamping itu sawah juga ditaruko di lembah-lembah dan lereng bukit yang mempunyai sumber pengairan yang cukup, baik dari aliran air lugha maupun dari mata air.  Sementara di punggung-punggung bukit sampai puncak-puncak bukit adalah padang rumput sebagai padang pengembalaan ternak. 
          Rumah-rumah gadang dari kaum-kaum di nagari Kubang berada di satu kawasan yang berdekatan sehingga membentuk sebuah Koto. Namun persawahan dan perladangan terus berkembang di wilayah tanah ulayat masyarakat hukum adat Nagari Kubang seiring pertumbuhan penduduk. Tanah ulayat Nagari Kubang itu sangat luas. Bentangan tanah ulayat Nagari Kubang itu diceritakan turun-temurun dari para pendahulu yaitu "membentang dari Simotuang sampai Rimboporiang".
          Umumnya manaruko persawahan dan membuat perladangan itu jauh dari rumah-rumah gadang kaum. Karena itu dibuatlah dangau-dangau (rumah ladang dan rumah sawah). Kemudian dangau-dangau ladang dan sawah ini berubah menjadi rumah semi permanen dan kemudian lama-lama mereka menetap dengan membuat rumah-rumah permanen di persawahan dan perladangan itu. Hal seperti inilah yang terjadi jauh sebelum Belanda datang ke nagari Kubang seperti Batutajam, Sikabu, Sumpahan, Sawahlunto sekarang dan lain-lain. 
          Agak berbeda dengan yang terjadi di Sonsek. Ada beberapa kaum yang awalnya justru datang dari berbagai daerah ke Sonsek, lalu disana mereka berladang dan menetap. Kemudian mereka turun ke pinggiran Sungai Batanglunto untuk membuat rumah gadang dan membentuk Koto. Di kawasan itu akhirnya terbentuklah Koto karena rumah-rumah gadang dari kaum-kaum di Nagari Kubang berdekatan. Namun warga kaum itu tetap berladang di Sonsek dan lama kelamaan sebagian kembali menetap di Sonsek. Sesuai dengan pertumbuhan penduduk dimana anggota kaum semakin ramai, sebagian ada pula yang mencari tempat-tempat baru sampai ke nagari-nagari tetangga untuk mencari penghidupan.
          Ada beberapa alasan mengapa masyarakat hukum adat Nagari Kubang memilih menetap di ladang dan sawah ini. Alasannya antara lain karena jarak yang jauh dari rumah gadang sehingga waktu, tenaga dll menjadi tak effektif. Waktu dan tenaga habis di jalan. Kemudian karena menjaga sawah ladang dan ternak dari berbagai hama dan musuh. Dua alasan ini menunjukkan bahwa kelompok ini adalah para petani-petani tangguh yang membuka lahan-lahan pertanian baru di tanah ulayat nagari. Tetapi ada pula karena alasan mencari penghidupan yang lebih baik serta karena perkembangan penduduk kaum yang semakin banyak sehingga tak tertampung lagi di pusako yang ada di rumah gadang. Biasanya kelompok ini selain mengandalkan bertani juga hidup dari berdagang dll. 
          Hal seperti ini juga terjadi dengan anggota dari kaum-kaum yang berladang dan bersawah di daerah yang sekarang disebut Sawahlunto dan sekitarnya. Daerah-daerah itu semuanya masih dalam lingkup tanah ulayat nagari Kubang. Masyarakat hukum adat Nagari Kubang itu akhirnya menetap dipersawahan di tengah kota Sawahlunto sekarang. Tetapi sebagian berladang dan bersawah di daerah sekitarnya kemudian juga menetap disana seperti di Kubang Sirakuak, di Batupipik, di Guguakgadang, di Mudiakayia, di Ayiadingin, di Sikabu, di Sumpahan dan lain-lain.
          Sudah menjadi kebiasaan di masyarakat hukum adat Nagari Kubang ditiap-tiap sawah dan ladang yang dibuka itu diberi nama. Sehingga kadang-kadang tempat yang berdekatan sekalipun biasanya punya nama sendiri. Apalagi jika pusako itu dimiliki oleh kaum yang berbeda. Disamping itu setiap bukit juga punya nama. Begitu juga setiap lokuang (lembah), lugha (anak sungai), lubuak (lubuk), batu, padang pengembalaan, hutan perburuan dan lain-lain, semua punya nama. 
          Di Sawahlunto juga demikian, setiap sawah dan tempat di Sawahlunto ini dulunya juga punya nama. Nama-nama sawah di kota Sawahlunto dulunya antara lain; Sawah Godang, Sawah Aghu (Aru), Sawah Sianik, Sawah Rawang, Sawah Limaukapeh, Sawah Koboutuo, Sawah Spanjang dll. 
          Kemudian nama-nama tempat perladangan (lama kelamaan jadi tempat menetap), tempat pengembalaan, bukit dan hutan perburuan dan lain-lain di daerah sekitar Sawahlunto ini antara lain; Puncak Guak Godang, Puncak Matoayia, Lokuang Ngungun, Palampatan, Mudiakayia, Batupipik, Kubangsirakuak, Kundu Bowuak, Aghutajungkang, Puncak Guak Sugai (Suga), Ayiadingin, Gunuangpari, Rimboporiang, Saringan, Lubang Tembok, Tangsi Gunuang, Parak Jati, Lubang Panjang bawah, Lubang Panjang Ateh,  Waringin, Kuburan Balando (Kerckoof), Sumpahan, Pasar Baru Durian (sebagian), Sikabu, pondok batu, kampuang Teleng (Buah Palo, Lokuak, Guak Guakgodang), Sianjiang Jatuah, Sumpahan dan lain-lain. Sebagian nama-nama itu muncul setelah Belanda datang yang membangun berbagai fasilitas tambang di Nagari Kubang. Begitu juga sebagian masyarakat hukum adat nagari Kubang juga ada yang baru menetap di daerah itu setelah tambang batubara dibuka. Tetapi tempat-tempat yang tersebut di atas itu, semua termasuk kedalam lingkup tanah ulayat Nagari Kubang. Karena itu dia masuk kedalam wilayah hukum adat nan salingka nagari Kubang. Tentu saja sangat banyak lagi nama-nama tempat itu baik yang muncul belakangan maupun yang sudah ada dari zaman dahulu namun tak mungkin disebutkan satu persatu. 
          Ketika nagari pertama kali dibuat yaitu jauh sebelum Belanda datang, maka batas-batas ulayat itu sudah disepakati dengan nagari-nagari yang bersepadan oleh para niniakmamak zaman dahulu. Kalau ada batas-batas nagari itu yang belum disepakati, biasanya lebih karena hubungan kekerabatan yang sangat dekat antara kaum-kaum di nagari-nagari yang bersepadan. Sehingga ada rasa sungkan dan rasa saling segan menyegani. 
        Berikut ini adalah nama beberapa tempat persepadanan antara nagari Kubang dengan beberapa nagari yang tetangga yang sudah diterima turun temurun oleh anak cucu dari para niniakmamak zaman dahulu. Nama-nama batas persepadanan itu ada yang nama bukit, nama lugha (anak sungai), nama lokuang (lembah) dan lain-lain. Tetapi masalahnya tempat-tempat persepadanan itu sebagian besar belum sampai kepada dimana letak titik-titik koordinat yang disepakati bersama. Teknologi yang tersedia saat ini sangat memungkinkan untuk itu. Namun belum terlaksananya penentuan titik-titik koordinat di perbatasan itu tentu karena terkendala oleh berbagai hal, antara lain karena masaalah biaya. Tempat-tempat persepadanan itu antara lain adalah; Puncak Jojak Nobi, Kubang Putiah, Puncak Kualo Tenggi, Pasa Baru Durian, Lugha Duoboleh, Gontiang Pogang, Manggi Godang, Ikua Lugha, Lugha Sikarapiak, Lokuang Ula, Bukik Sarang Onggang, Lugha Macang, Puncak Kojai, Patomuan Lugha dll. 
          Setelah Belanda datang penamaan kawasan dibawah Puncak Guak Sugai ini diberi nama Sawahlunto oleh Belanda yang artinya sawah yang dialiri Sungai Batanglunto. Namun sebelum Belanda datang, masyarakat hukum adat Nagari Kubang menyebutnya Ilie (Hilir). Dan sebaliknya daerah dimana tempat rumah-rumah gadang itu berdiri, mereka menyebutnya Mudiak (artinya Hulu) bila mereka datang dari Ilie.  Kadangkala mereka menyebutnya dengan pulang. Maksudnya adalah pulang ke rumah gadangnya karena umumnya mereka sudah menetap di sawah dan ladangnya di Ilie. Penemaan Ilie dan Mudiak ini pada dasarnya karena sesuai aliran Sungai Batanglunto. Istilah Ilie dan Mudiak itu masih ada sampai sekarang. 
          Mengenai akses jalan antara Ilie dan Mudiak ini, awalnya ada tiga akses jalan utama sebelum Belanda datang. Pertama, yaitu akses jalan Batupipik yaitu Balaikubang, Lontiakmalowe, Taklawuik, Gunuang, Batupipik dan Kubangsirakuak. Kedua akses jalan Luak Badai  yaitu Batulombu, Batudukuang, Macangmani, Cocang, Sonsek (Guakpawuah), Sangkak Ayam, Luakbadai, Guakgodang (Kampuangteleng). Ketiga yaitu akses jalan Batutajam yaitu Galugu, Polakdatai, Batugantuang, Batutajam, Lughajuai, Guakgodang, Kampuangteleng. Kemudian belakangan dibuat pula jalan dari Lughajuai ini yaitu melalui Palampatan (dibawah katapiang ciek) terus ke Mudiakayia. 
          Sejak sekitar akhir 1960-an jalan dari Lughajuai - Mudiakayia pindah di Palampatan ke arah sebelah atasnya yaitu ke Katapiang Ciek baru ke Mudiakayia. Pada sekitar akhir tahun 1960-an dibuka pula jalan dari Batutajam, Lubuak Sansang, Pintulubang (Lubangkolam), Relkereta (Mudiakayia). Sementara itu di Sangkakayam ada pula jalan lama (sejak sebelum Belanda datang) menuju Sikabu dan Sumpahan melalui Padangelok. 
          Jalan utama kendaraan roda empat ke Nagari Kubang baru dibuka sekitar tahun 1973 di Kudubowuak (Simpangkubang). Ini terlaksana atas koordinasi perkumpulan pemuda Kubang di Jakarta (IPKS) yang dimotori oleh Syofyan Adam alias Abu Salfani, Fardis Amir dan Een Sa'at berkoordinasi dengan Walinagari Kubang Kapt. (Purn) Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati. Kerinduan masyarkat hukum adat nagari Kubang untuk mempunyai jalan yang bisa dilewati kendaraan roda empat ini mendapat perhatian serius dari Kol. Inf. Djamaris Yoenoes, Bupati Kabupaten Sawahlunto/ Sijunjung (1966-1980). Akhirnya terwujudlah kerinduan  masyarakat hukum adat Nagari Kubang itu setelah hampir seabad terisolasi dari tanah ulayat mereka yang di eksploitasi habis-habisan di Ilie (Sawahlunto) dengan dimulainya pembangunan jalan Kundu Bowuak tahun 1973*** (Bersambung)

  
Inilah daerah yang oleh masyarakat hukum adat Nagari Kubang di sebut Ilie (Hilir) sebelum di eksploiasi Belanda. Oleh Belanda di beri nama Sawahlunto, yang artinya sawah yang dialiri oleh Sungai Batanglunto.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)