Prahara Di Tanah Leluhur


Dari dulu kala nasib tanah ulayat Kubang di Sawahlunto selalu dalam "prahara". Ancaman dan teror selalu menggerus  eksistensinya. Sekitar akhir abad ke 16 atau awal abad ke 17, terjadi perang yang sangat dahsyat di nagari Kubang. Perang itu telah merobah tatanan kehidupan masyarakat adat nagari Kubang dan nagari-nagari di sekitarnya. Perang yang dikenal dengan "Perang Sitimbago" disebabkan oleh sekelompok orang yang konon bukan berasal dari ranah Minangkabau dan mereka hidup berpindah-pindah karena dalam pelarian. Apakah merupakan bahagian dari sejarah kelam Kerajaan Pagaruyuang yang terputus (hilang)?.  Mungkin perlu ahli sejarah yang lebih berkompeten untuk mendalaminya. Sebab banyak versi tentang asal muasal kelompok perompak ini. Tapi melihat tabiat mereka waktu itu, banyak pendapat yang mengatakan bahwa mereka bukan berasal dari rumpun Minangkabau. 
          Di Minangkabau dan daerah sekitar tempat mereka bercokol secara illegal ini, sudah ada nagari-nagari yang berdaulat di bawah konfederasi Kerajaan di Minangkabau, seperti nagari Kolok, nagari Kubang dll. Sejarah nagari-nagari ini menunjukkan bahwa antar nagari-nagari ini punya hubungan kekerabatan yang dekat karena mereka berasal dari rumpun yang sama. Sehingga baik suku, maupun juga budaya adalah sama, karena turun dari rumpun yang sama. Hanya saja setiap nagari punya "adat nan salingka nagari" yang berbeda yang menunjukan identitas sebuah nagari. Adat nan salingka nagari ini sangat dihormati dalam hubungan antar nagari-nagari yang independen ini. Kelompok perusuh itu awalnya mereka bercokol secara illegal hanya di daerah ulayat nagari Kolok. Ini saja sudah menunjukkan bukan tabiat masyarakat Minangkabau.
          Kelompok illegal ini selalu mengintimidasi masyarakat adat nagari Kubang, kolok dll. agar tunduk dan mengikuti kemauan mereka. Seperti misalnya mencuri hasil panen, mencuri ternak, hingga merampok dan melegalkan perbuatan-perbuatan yang melanggar etika dan susila yang sangat tabu di daerah ini. 
          Masyarakat adat nagari Kubang  khususnya yang merupakan masyarakat agraris, selalu memberikan perlawanan. Sampai akhirnya suatu ketika, kelompok perusuh ini bukan hanya merampas hasil panen padi, ternak dll. tapi juga merampok dan menduduki pusako masyarakat adat nagari Kubang (tanah ulayat nagari dan sawah-sawah milik ulayat kaum). Pusako itu terletak persis di pusat kota Sawahlunto kini. Kalau dihubung-hubungkan bukti-bukti yang ada dilapangan dengan "budaya narasi" masyarakat adat nagari kubang dan nagari-nagari yang bersepadan, berkemungkinan agak lama juga kelompok perusuh itu menguasai ulayat nagari Kubang ini. Sehingga sangat meresahkan dan mengganggu, khususnya di internal nagari Kubang dan nagari-nagari yang bersepadan. Sampai akhirnya mereka itu membuat pemukiman di daerah Kayu Gadang. Hal ini berakibat terjadinya konfrontasi yang berkepanjangan dengan masyarakat adat nagari Kubang. 
             Menurut sejarah lisan masyarakat adat nagari Kubang, bahwa di daerah Lokuang Ngungun ( lokasinya antara Luak Badai dan Katapiang) pernah terjadi perang antara masyarakat adat nagari Kubang dengan kelompok Sitimbago ini. Sehingga disana ada pula beberapa kuburan dari kelompok Sitimbago yang gugur. Di daerah Gunuang Pari (Kelurahan Saringan) juga ada semacam "pemakaman keramat" yang selalu di ziarahi oleh sekelompok orang hingga kini. Konon menurut mereka bahwa pekuburan tersebut adalah makam para leluhur mereka yang dulu gugur waktu perang "beradu tanding" satu lawan satu dengan masyarakat adat nagari Kubang, juga karena  adanya perampasan ulayat itu. Banyak pertanyaan yang perlu dijawab oleh para ahli. Misalnya siapakah sesungguhnya mereka ini, kapankah hal ini persisnya terjadi dll. Karena itu, maka perlu penelitian yang mendalam dari para ahli sejarah. Tetapi yang jelas setelah peristiwa Perang yang dahsyat itu, dimana kelompok perampok iniberhasil ditumpas, semua Ulayat itu kembali ke pemiliknya yaitu masyarakat adat nagari Kubang.
          Kelompok perampok itu akhirnya bisa di tumpas dengan perang pamungkas, dimana masyarakat adat nagari Kubang meminta bantuan kepada dua nagari tetangga yaitu nagari Silungkang dan Padang Sibusuk, dimana mereka juga terkena imbas dari keresahan ini. Kolaborasi tiga nagari ini akhirnya melumpuhkan kelompok perompak itu dan menewaska pimpinan mereka yang terkenal zalim, bernama "si Timbago". Pusat pemukiman mereka di Kayu Gadang di hancurkan dan dibakar. 
          Di pihak masyarakat adat tiga nagari ini,  masing-masing punya panglima perangnya dari kalangan para pendekar yang disegani. Tetapi pemimpin perang dari ke tiga nagari itu adalah seorang pendekar perempuan yang sangat terkenal dan melegenda dengan nama "Mandeh Singo Dilawuik". Beliau berasal dari kaum Taratak Lawuik, suku Supanjang Kenagarian Kubang yang merupakan pewaris terbesar dari ulayat yang dirampok itu. Dari ranji kaum Taratak Lawuik, suku Supanjang Kenagarian Kubang, dapatlah ditelusuri jejak Mandeh Singo Lawuik ini. Bahwa beliau hidup kira-kira sebelas hingga duabelas generasi atau lebih di atas generasi milenial kini.
         Pusara Mandeh Singo Dilawuik dulu ditandai dengan sebuah Mejan nan Tenggi (Nisan yang Tinggi). Mungkin ini adalah sebagai penghormatan dari masysrakat adat waktu itu.  Mejan nan Tenggi (pusara Mandeh Singo Dilawuik) ini berada di "pandan pekuburan" kaum di Taratak Lawuik, di dusun Lontiak Malowe, Desa Pasar Kubang. Sayang situs bersejarah ini belakangan, dirusak dan dicuri oleh tangan-tangan yang tak bertanggung jawab, dan disalahgunakan untuk kepentingan tertentu. 
          Tetapi ini menunjukkan bahwa masyarakat adat nagari Kubang dan nagari-nagari yang bersepadan, merupakan masyarakat adat tradisional dari nagari-nagari yang sudah tua. Mereka punya nilai-nilai kearifan lokal yang sejatinya haruslah dihormati oleh para pendatang. Sebuah filosofi hidup yang  mereka pegang erat hingga saat ini berbunyi "dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung", seharusnya dihormati oleh setiap pendatang di Ulayat mereka. Karena disitulah terkandung makna mendalam dari sebuah "hargadiri" sebagai sebuah masyarakat adat yang sudah tua.
          Usai pertumpahan darah dalam perang "Sitimbago" yang sangat dahsyat ini, maka tiga nagari bertetangga inipun membuat kesepakatan bahwa; harta berupa benda hasil rampasan perang diberikan kepada nagari Silungkang; ternak-ternak hasil rampasan perang diberikan kepada nagari Padang Sibusuk; dan tanah ulayat itu tentulah kembali ke pangkuan pemiliknya yaitu nagari Kubang. 
          Walau harus di akhiri dengan perang yang dahsyat, tapi kemudian masyarakat adat nagari Kubang dan masyarakat adat nagari Kolok memberikan solusi yang elegan dengan menjujung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, sesuai dengan adek nan salingka nagari (adat selingkar nagari) masing-masing. 
          Dinagari Kubang kelompok Sitimbago yang selamat dan tertawan di jadikan "anak kemenakan", masuk kedalam suku-suku di nagari Kubang. Mereka di limbagoi ( di syahkan/ di legalkan) dengan diberikan  pusako (tanah ulayat) oleh kaum-kaum di dalam suku di kenagarian Kubang. Mereka kemudian dibawa saiyo sakato, sairiang sajalan, sapikua sajinjingan dll.  (seiya sekata, seiring sejalan, sepikul sejinjangan dll.) dalam kehidupan sehari-hari. Sehingga sudah membaur dan sudah terjadi asimilasi dengan baik.
          Sementara kelompok Sitimbago yang terpencar karena menyelamatkan diri di hutan-hutan dan sebagian melarikan diri mengikuti aliran sungai Batang lunto, akibat "Perang Sitimbago" ini. Sebagian dari mereka kembali ke tanah ulayat nagari Kolok (tempat awalnya mereka bercokol secara illegal). Mereka yang kembali ke ulyat nagari kolok, oleh masyarakat adat nagari Kolok diberikan solusi dengan malimbagoi (mensyahkan/melegalkan) mereka sesuai dengan adek nan salingka Nagari Kolok pula. Mereka di akomodir menjadi sebuah suku yaitu "Suku Timbago" di Kenagarian Kolok.
          Sebagian kelompok Sitimbago ini juga menyebar di nagari-nagari di Kabupaten Sijunjung. Sepertinya  disana mereka juga di terima sebagai "anak nagari" dengan cara adek nan salingka nagari masing-masing pula. Di semua nagari-nagari ini sudah terjadi pembauran (asimilasi). Inilah kearifan lokal dari adat-istiadat nagari-nagari di bumi Minangkabau yang menjunjung tinggi nilai-nilai agama, adat istiadat dan nilai-nilai kemanusiaan. Filosofi hidup orang Minangkabau yang berbunyi "dimana bumi dipijak, disana langit dijunjung" juga dipakai bila mereka merantau. Mereka adalah sebuah etnik masyarakat yang suka merantau sesuai dengan "sunnah" Rasulullah SAW yaitu "hijrah". Tak pernah tercatat dalam sejarah bahwa suku bangsa Minangkabau sebagai suku bangsa yang sudah maju dari zaman dahulu kala, kemudian menaklukkan tanah rantau dengan perang dan menjajah. Mereka menaklukkan tanah rantau dengan berniaga sambil tetap menjunjung tinggi filosofi "dimana bumi di pijak, disana langit dijunjung". Sehingga mereka membawa manfaat bagi tanah rantau dan akhirnya mereka diangkat menjadi pemimpin-pemimpin oleh masyarakat rantaunya. Itulah ciri-ciri masyarakat Minangkabau di perantauan. Tampaknya tidak berlaku di bangsa yang lain dan bahkan ada yang coba-coba menentang filosofi masyarakat adat Minangkabau yang luhur ini.
          Kisah perang Sitimbago ini tersimpan dalam "sejarah lisan" atau "budaya tutur" atau tutua nan di tarimo (tutur yang diterima dari para pendahulu) di masyarakat adat nagari Kubang Sawahlunto dan nagari-nagari sekitar. Sehingga kisah ini bukanlah sekedar folklor semata, akan tetapi adalah sebuah peristiwa yang benar-benar terjadi di zaman dahulu kala. Mungkin karena minimnya literasi akan peristiwa Perang Sitimbago ini, maka orang menggap peristiwa itu sudah tenggelam dalam waktu yang lama. Lalu muncul berbagai folklor dalam berbagai versi pula,  sebagiannya seakan-akan  ada kepentingan di belakangnya.
          Benang merah peristiwa itu ada di masyarakat adat nagari Kubang, Kolok dan masyarkat adat nagari-nagari tetangga, sampai ke sebagian nagari di kabupaten Sijunjung. Inilah sebuah realitas yang harus diterima. Inilah kearifan lokal dan peradaban yang tinggi yang penuh dengan nilai-nilai kemanusiaan dalam penyelesaian sebuah konflik besar.  Dan nagari-nagari ini juga menganut falsafah "adek nan salingka nagari", yang sangat di hormati semua fihak ini.
          Setelah kira-kira dua abad lebih dari peristiwa itu, atau tepatnya akhir abad ke 19 datang pula bangsa Eropa untuk menjajah. Yaitu penjajah kolonial Belanda, lalu merebut tanah Ulayat yang sama. Kembali lagi filosofi luhur masyarakat adat yang berbunyi "dimana bumi di pijak, disana langit dijunjung" itu di langgar oleh pendatang. Di tanah itu dulu sudah tertumpah darah akibat perilaku kelompok perampok. Kemudian tertumpah pulalah kembali darah di tanah leluhur ini dalam perang yang juga sangat dahsyat yang dikenal dengan Porang Tahun Salapan (Perang Tahun 1908). Sungguh sangat menyedihkan bila melihat "prahara ditanah leluhur ini" dari dulu kala. Dan konflik perampasan tanah ulayat oleh kolonial Belanda yang tidak menghormati nilai-nilai filosofi luhur dari masyarkat adat ini, justru tak kunjung selesai hingga saat ini. Sampai kemerdekaan itu sudah pula berumur  75 tahun. 
          Ada dua "adagium" sejarah yang lazim terjadi, namun terbantahkan oleh "dua prahara" sejarah di tanah ulayat nagari Kubang di kota Sawahlunto ini. Dua peristiwa sejarah yaitu peristiwa "Perang Sitimbago" dan peristiwa "Perang Tahun 1908 (Perang Tahun Salapan)",  terjadi dalam jarak waktu yang sangat panjang. Kedua adagium yang tak berlaku itu adalah, history has been written by the victors (sejarah ditulis oleh para pemenang) dan adagium kedua berbunyi, no document no history (tak ada dokument tak ada sejarah). Bahwa peristiwa bersejarah Perang Sitimbago itu tak pernah ditulis atau "diumbar" oleh pemenangnya. Sebabnya tak lain adalah karena sebuah "filosofi" lain yang juga kental dalam masyarakat adat berbunyi "ibarat menepuk air didulang", akhirnya menutup rapat peristiwa itu untuk publik.  Karena bila air didulang itu di tepuk, maka yang akan basah asalah muka kita sendiri. 
          Tetapi sebetulnya kisah peristiwa Perang Sitimbago itu,  jika didalami secara mendalam konon juga tersimpan dalam "pidato-pidato adat". Itu artinya dia hanya boleh beredar dikalangan pemangku adat dan para ahli adat di Minangkabau atau adat nan salingka nagari tadi. Demikian pula mengenai peristiwa Porang Tahun Salapan, Jika digali lebih mendalam, para pendahulu masyarakat adat nagari Kubang sudah menyimpannya di dalam "cerita Randai". Sehingga peristiwa-peristiwa bersejarah itu akan selalu abadi jika masyarakat adatnya tidak "tercerabut" dari akar budayanya. Itulah juga kenapa budaya itu menjadi penting untuk di lestarikan karena sejatinya itulah identitas kita sesungguhnya. Demikian luhur dan agungnya folosofi-filosofi yang dianut oleh para leluhur kita hingga kini, yang harus kita warisi.
          Selain itu,  peristiwa-peristiwa sejarah ini juga begitu banyak bukti hingga mempengaruhi tatanan kehidupan. Sehingga dia tetap dikenang oleh masyarakat.  Bahkan belakangan mulai bermunculan tulisan yang akhirnya mencoba mendiskripsikan peristiwa itu dalam  bentuk "folklor" atau cerita rakyat. Karena itu adagium kedua berbunyi no document, no history, atau tak ada dokumen tak ada sejarah akhirnya juga terbantahkan. Betapa sejak ratusan tahun yang lalu dalam "Perang Sitimbago", nenek moyang masyarakat adat nagari Kubang dan nagari-nagari sekitarnya telah menegakkan "martabat" dan "etika" secara adat dalam menyelesaikan konflik di ulayat yang sama ini. Kini kita hanya berharap jangan sampai terjadi lagi konflik baru dan pertumpahan darah lagi, akibat ulah kelompok-kelompok tertentu yang memanfaatkan konflik Perang Sitimbago dan konflik dengan kolonial Belanda ini. Apa lagi jika karena tidak menghargai adat istiadat yang berlaku, seperti adat nan salingka nagari dll-nya itu. 
          Tulisan ini tak hendak bermaksud lain kecuali ingin meluruskan sejarah dari opini-opini yang kurang lurus. Jangan sampai "folklor-folklor" yang beredar itu semakin liar. Karena diboncengi oleh kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Karena begitu besarnya sumber daya alam, yang ada di belakangnya....
Allahu a'lam bisshawab
Keterangan gambar;
Peta Wilayah Masyarakat Adat Nagari Kubang sejak dulu kala. Sejarah berdirinya nagari-nagari dibawah konfederasi kerajaan di minangkabau bukanlah asal bikin saja. Banyak aspek persyaratannya yang harus terpenuhi. Termasuk didalamnya daerah-daerah batas ulayat suatu nagari dengan nagari yang bersepadan, sudah disepakati sejak nagari itu berdiri. Sesuai dengan kemajuan teknologi karang, maka peta itu hanya perlu kesepakatan antar niniak mamak dimana letak titik-titik koordinatnya dilapangan, antar nagari-nagari yang bersepadan. Alangkah baiknya bila nagari-nagari yang bersepadan berkolaborasi dengan dimediasi oleh Pemda untuk membuat peta nagari masing-masing, demi kemaslahatan semua masyarakat penghuninya.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)