Alkisah "Balando Mintak Tanah" di Ulayat Nagari Kubang

Sebuah pepatah Minang mengatakan "abih cakak silek takana". Maksud pepatah Minang ini adalah, setelah selesai pertarungan barulah teringat akan jurus-jurus silatnya. Sebelumnya waktu dia sedang bertarung, dia lupa mempergunakannya. Inilah yang terjadi pada sebuah perusahaan tambang besar milik negara bernama PTBA. Dan inilah "alkisah" pasang surutnya sikap perusahaan tambang batubara terkemuka itu di tanah kelahirannya , di nagari Kubang Sawahlunto. Ternyata pasang surutnya sikap perusahaan itu terhadap tanah ulayat, sangat di tentukan oleh siapa yang berada di belakangnya.
            Dulu waktu mereka masih berkosentrasi menguras dan mengeksploitasi perut bumi tanah ulayat nagari kubang dan nagari-nagari tetangga, mereka tak berani mengutak-atik kepemilikan tanah Ulayat. Tapi sekarang setelah isinya di kuras, mereka seperti terkesan "kurang kerjaan", karena mulai berani mengutak-atik Pusako (tanah Ulayat) masyarakat adat. Tentu saja karena tak ada resiko lagi sekarang, yang akan mengganggu jalannya produksi. Dan tentu juga karena mereka tak ada pemasukkan lagi sekarang dari UPO. Kemudian disisi lain, ada desakan perundang-undangan yang menuntut mereka harus menggelontorkan dana CSR yang besar kepada masyarakat, dimana telah ratusan tahun mereka tinggalkan. Benarlah sebuah adagium mengatakan bahwa "tak ada makan siang yang gratis".
          Alkisah, dulu waktu masih bernama PNTBO dia adalah kebanggaan orang sawahlunto. PNTBO telah menyumbang begitu besar terhadap negara Republik Indonesia selama puluhan tahun. Tapi baik pemilik ulayat, Pemda TK II maupun Pemda TK I tak pernah kebagian karena sistim ekonomi sentralistis yang di anut negara. Dia pernah menyumbang terhadap pemerintahan daerah, hanya terjadi saat pemerintahan daerah diambil alih oleh "Dewan Banteng" tahun 1956-1958. Akan tetapi saat meletusnya PRRI hingga meletusnya G30S (1958-1965), perusahaan tambang ini berubah menjadi monster yang menakutkan. Karena saat itu dia menjadi basis tentara pusat yang merupakan agen-agen PKI, dan kemudian perusahaan itu menjadi basis perekrutan "monster" OPR yang sangat kejam dan menakutkan bagi masyarakat adat disekelilingnya.
          Sebelum itu, di zaman perang kemerdekaan (Agustus 1945  - 31 Desember 1948) perusahaan tambang itu telah ikut terjun kedalam kancah perjuangan dan memberikan apa yang ada padanya untuk perjuangan. Seperti meminjamkan dan memberikan fasilitas yang dia punya ( bengkel, gudang ransum, rumah sakit, bangunan-bangunan, finansial, bahkan sampai sebagian karyawannya) untuk perjuangan kemerdekaan. Sehingga menjadikan Sawahlunto sebagai basis pertahanan perang kemerdekaan di Sumatra tengah, sampai dilumpuhkan oleh pasukan NICA Belanda 31 Desember 1948.
           Sebelum zaman Kemerdekaan, yakni waktu masih bernama Hokkaido and Steamship Co. Ltd, dia adalah salah satu "mesin perangnya" Jepang.  Yaitu sebagai sumber ekonominya Jepang dalam menghadapi sekutu dalam perang dunia II di Asia Pasifik. Tiga setengah tahun lamanya Hokkaido and Steamship Co. Ltd  nenguras perut bumi tanah ulayat, tetapi mungkin itulah masa-masa tersulit secara ekonomi dan tekanan hidup yang dialami masyarakat tambang dan masyarakat adat dikota ini.
           Sebelum zaman penjajahan Jepang ini, ada pula zaman yang panjang (sekitar 60-70 tahun), yaitu ketika dia dibawah bendera Pemerintahan Kolonial Belanda yang diberi nama Ombilin Minjnen. Di zaman ini, dia adalah tambang batubara tertua, terbesar dan termodern di Asia Tenggara. Dia adalah mesin uang pemerintahan kolonial di samping perkebunan di Hindia Belanda. Dia adalah sumber energi utama bagi VOC dalam menguasai nusantara dengan kapal-kapal uapnya. Dia adalah primadona bagi revolusi industri di Eropa.
          Tapi ironinya dia (Ombilin Minjnen) adalah sumber malapetaka bagi ribuan tahanan politik, pemberontak (pejuang yang menentang kolonial), narapidana dll. yang di pekerjakan secara paksa di tambang ini. Mereka berasal dari daerah kekuasaan kolonial yang lain di Hindia Belanda. Dan sesungguhnya dia (Ombilin Minjnen) juga adalah malapetaka bagi masyarakat adat nagari Kubang khususnya (ini tak pernah di ekspos). Tentu saja karena dia telah merampas Pusako (tanah ulayat) berupa persawahan, lahan pertanian dan ulayat nagari milik masyarakat adat. Dia tidak mengakui adat istiadat dan hak-hak tradisional masyarakat adat itu, lalu menjalankan politik adu domba antara pemuka adat dan masyarakat untuk menguasai lahannya.
          Konflik yang tak berkesudahan terus mengalami pasang surut antara perusahaan tambang ini dengan masyarakat adat nagari Kubang hingga kini. Dan ironinya pihak pemerintah tidak pernah "hadir" untuk menengahinya atau  sekedar mengajak masyarakat adatnya untuk "duduk bersama" dalam membuat kebijakan yang menyangkut tanah ulayatnya dikota ini. Bahkan sebaliknya justru "berkompromi" dengan perusahaan tambang yang masih Pure strain of colonization atau masih murni berpegang atas "kebijakan kolonial Belanda" dalam menyikapi konflik dengan tanah ulayat. 
          Dipihak lain, pemerintah telah bersikap "ambigu" terhadap masalah ini. Disatu sisi melakukan perlindungan terhadap aset perusahaan tambang peninggalan kolonial ini sebagai "cagar budaya" hingga diakui oleh UNESCO, tapi disisi lain tidak pernah melakukan perlindungan terhadap aset-aset masyarkat adat nagari kubang yang sudah tercabik-cabik sejak penjajahan. Namun demi menegakkan hak-hak tradisionalnya dan harga dirinya yang terus digerus itu, masyarakat adat nagari Kubang tak pernah surut mengadakan perlawanan, walaupun selalu berjalan "sendirian". Maka sangat pantaslah disematkan kepadanya sebagai salah satu "nagari yang beradat" di Sumatra Barat.
          Pada kejadian terbaru terbukti (pada surat balasan PTBA terhadap protes Tim Penyelesaian Tanah Ulayat nagari Kubang, terhadap pemasangan patok "hak milik" oleh PTBA diatas tanah ulayatnya). Bahwa apa yang menjadi dasar oleh perusahaan tambang sebagai "hak miliknya" itu adalah sesuatu yang sudah dibuktikan selalu di tentang oleh masyarakat adat sejak dahulu kala. Sejak meletusnya Porang Tahun Salapan (Perang Tahun 1908 di Sawahlunto) yang diredam dengan "kompensasi" (semacam CSR-nya Kolonial Belanda), ternyata pihak Kolonial Belanda tak pernah berhenti menggerus tanah ulayat masyarakat adat nagari Kubang ini sampai berakhirnya kekuasaan Belanda oleh penjajahan Jepang. Setidaknya ada enam kali protes dari masyarakat adat nagari Kubang  dalam periode 1924-1940 (lihat Erwiza Erman dalam bukunya, "Membaranya Batubara, Konflik Kelas dan Etnik ... hal.63). Setelah zaman reformasi dan keterbukaan ini, justru surat somasi (protes) itu kembali di layangkan oleh niniak mamak nagari Kubang (Juli 2007) yakni pasca berhentinya perusahaan tambang itu mengeksploitasi tanah ulayat masyarakat adat nagari Kubang di Sawahlunto (tahun 2000-an). 
          Di sisi lain, perusahaan tambang itu juga seperti sengaja menghilangkan jejak sejarah "Perang Tahun 1908" untuk melanggengkan cengkramannya terhadap tanah ulayat, sehingga seakan-akan tidak pernah terjadi gejolak atas penguasaannya di tanah ulayat itu. Sayangnya pemerintahan sekarang yang sudah tahu akan peristiwa itu (Perang Tahun 1908), juga "menutup mata" dan terkesan tidak menghargai perjuangan nenek moyang masyarakat adat nagari Kubang ini terhadap kekejaman Kolonial Belanda saat itu. Pada hal Porang Tahun Salapan itu benar-benar terjadi dengan begitu banyak bukti, tetapi tidak mendapat tempat dalam sejarah Kota Sawahlunto oleh pemerintah daerahnya sendiri.
         Masalah pajak (belasting) dalam Porang Tahun Salapan hanyalah sebagai pemicunya saja. Masalah utamanya adalah karena tidak diakuinya penyelesaian tanah ulayat secara hukum adat yang berlaku di nagari Kubang khususnya dan di Minangkabau umumnya oleh Kolonial Belanda waktu itu (1892). Belanda memutuskan penyelesaian secara sepihak atas tanah Ulayat yang sudah mereka eksploitasi terlebih dahulu (sejak 1880-an). Kemudian mengatakan bahwa tanah itu sudah diserahkan "hak pengelolaannya" (bukan hak kepemilikannya) kepada perusahaan tambang melalui "pesta adat". Rupanya perusahaan tambang itu (PTBA), berpatokan kepada surat Gubnur Hindia Belanda yang berkedudukan di Batavia yang mereka putuskan "secara sepihak" itu. Surat itu di ditujukan "khusus" untuk penyelesaian masalah tanah ulayat masyarakat adat Nagari Kubang dengan nomor 1695 tertanggal 26 Maret 1892. Masyarakat adat dan niniak mamak nagari Kubang "menganggap" bahwa uang yang disebutkan di surat keputusan itu, yang nilainya tidak seberapa itu, yang diberikan berdasarkan keputusan sepihak oleh pemerintah kolonial Belanda itu, adalah uang siliah jariah (ganti rugi tanaman) yang diberikan kepada niniak mamak nagari Kubang, serta  untuk "pesta adat". Hal itu tak lain adalah upaya kolonial untuk "meredam" kemarahan niniak mamak dan masyarakat adat nagari Kubang waktu itu. Pesta adat itu bagi masyarakat adat nagari Kubang hanya bermakna sebagai bentuk penyerahan pengelolaan bukan penyerahan kepemilikan.
           Pengelolaan tanah Ulayat oleh perusahaan tambang milik kolonial Belanda ini akhirnya tidak diakui oleh masyarakat adat nagari Kubang, adalah karena pengelolaannya itu juga sesuai dengan ketentuan adat yang berlaku di masyarakat adat. Dimana seharusnya pihak pengelola mengeluarkan 10% kotor, atau dalam sapuluah kalua ciek (dalam sepuluh bagian dari hasil kotor maka satu bagiannya adalah hak yang punya Ulayat) juga tidak digubris oleh pihak perusahaan itu. Itulah ketentuan-ketentuan adat yang tidak pernah diakui oleh pemerintah kolonial Belanda dalam pengelolaan tanah ulayat masyarakat adat nagari Kubang. 
          Tetapi setelah kemerdekan (yakni di zaman orde lama dan orde baru), masyarakat adat nagari Kubang boleh dikatakan tak pernah mengutak-atik perusahaan tambang itu karena area  penambangan masih sistim penambangan dalam (lobang) yang meneruskan lobang yang dibuat Belanda. Walau masih belum mendapatkan manfaat dari hasil tambang itu, tapi masyarakat sudah senang karena hasilnya sudah dinikmati oleh negara. Hanya saja karena negara yang tersentralisasi di pusat waktu itu, membuat hasilnya lagi-lagi tidak dinikmati oleh masyarakat adat dan daerah. Inilah salah satu yang memicu munculnya Dewan Banteng (1956) yang berakhir dengan berdirinya PRRI (1958) di Sumatra Tengah umumnya dan Sawahlunto khususnya. Keuntungan yang di dapat warga masyarakat secara umum dari perusahaan tambang itu hanyalah dalam hal penyerapan tenaga kerja saja. 
          Mengenai permasalahan tanah ulayat sebetulnya bagi masyarakat adat justru hanya kerugian yang di dapatnya selama pemerintahan orde lama. Hal itu adalah karena kebijakan negara (Rezim Orde Lama) mengeluarkan UU no. 18 tahun 1965  tentang pembentukan Kotamadya Sawahunto tanpa ada kompromi dengan niniakmamak dan tokoh masyarakat Kubang. Nagari Kubang secara administrative berada diluar kotamadya Sawahlunto dan masuk kedalam  administrative kabupaten Sawahlunto Sijunjung. Ini membuat tanah ulayat itu terbelah di dua daerah administrasi tingkat II. Ini adalah strategi Pemerintah Pusat dalam "membungkam" suara dan ruang gerak masyarakat adatnya terhadap perusahaan tambang itu serta menjauhkan perusahaan tambang itu dari tanggung jawab sosialnya terhadap masyarakat adat Nagari Kubang.  Strategi ini telah membuat tatanan ekonomi dan sosial masyarakat terpuruk. Masyarakat adat nagari Kubang akhirnya "banyak" yang memilih merantau untuk memperbaiki hidupnya dari pada hanya melihat "orang membantai kerbau dihalaman rumahnya, tapi mereka hanya kebagian darah dan kotorannya saja". 
          Proses "pemarginalan" masyarakat adat nagari Kubang ini terus berlanjut saat setelah terjadi reformasi, dimana  perusahaan tambang ini telah tutup (tahun 2000-an). Perusahaan ini hengkang dari Sawahlunto, tetapi persoalan baru pun muncul. Aset-aset perusahaan tambang itu menjadi rebutan masyarakat secara illegal. Tapi bukan masyarakat adat yang memperebutkannya. Masyarakat adat nagari Kubang justru tetap melakukan langkah-langkah yang yang elegan dengan mengajukan Somasi (Juli 2007) kepada Pemda, PTBA dan PTKAI. inti dari somasi adalah masyarakat adat meminta para pihak yang berkepentingan untuk duduk bersama dengan masyarakat adat nagari Kubang untuk menyelesaikan permasalah ulayatnya itu. Tapi sungguh sangat disesalkan bahwa somasi ini tidak ditanggapi  alias digagalkan oleh para pihak Pemerintahan Daerah. Persoalan itu di biarkan menjadi bola liar yang sewaktu-waktu bisa menjadi "bom waktu".
             Ternyata benar, beberapa tahun kemudian PTBA UPO kembali dengan manajemen baru setelah kepemilikan saham PTBA dikuasai sampai 60% oleh sebuah "holding company" raksasa bernama "INALUM". Dia datang dengan wajah baru bagai "seorang dermawan", untuk bagi-bagi CSR. Namun diam-diam sebenarnya perusahaan itu sedang menjalankan agenda "strategis" yaitu "penguasaan dan pengambil alihan" tanah ulayat masyarakat adat nagari Kubang secara masif. Berbagai upaya tipu muslihat, adu domba dan intimidasi mereka lakukan terhadap masyarakat adat nagari Kubang (melebihi cara-cara kolonia dulu) untuk menggolkan agenda mereka itu. Mulai dari memelintir tanda tangan niniak mamak, membelah sikap antar sesama niniak mamak dan membelah sikap antar sesama masyarakat adat. Akhirnya  sampailah pada pemasangan plang "hak miliknya" atas tanah Ulayat nagari Kubang itu dengan memakai tangan-tangan kekuasaan. Ini mereka lakukan adalah utuk menggolkan misi Gubernur Jendral Hindia Belanda tanggal 26 Maret 1892 no. 1695 yang "tetunda", karena selalu ditentang masyarakat adat sejak ratusan tahun lalu. Kehinaan yang dilakukan perusahaan tambang ini karena "diperkuda" INALUM , telah melebihi kehinaan yang dilakukan oleh Gubernur Jendral  Hindia Belanda dulu. Sebab dulu dilakukan oleh pemerintah Kolonial hanya untuk menguras perut bumi ibu pertiwi, tapi sekarang dilakukan oleh perusahaan negara terhadap masyarakatnya disaat kekayaan di perut ibu kandungnya sudah habis dikurasnya. Maka kini Pusako (tanah ulayat) ibu kandungnya, yang telah melahirkan dan membesarkannya pula yang dia rampas. Sungguh anak durhaka, melebihi durhakanya "si Malin Kundang".
         Dulu masyarakat adat nagari Kubang memberikan julukan atas peritiwa ini dengan istilah Balando Mintak tanah yang artinya sama dengan Belanda merampok tanah. Walaupun yang punya tanah tak mau memberikan, tetapi tanahnya tetap di kuasai dengan berbagai cara. Rupanya disaat negara ini mau merayakan 75 tahun kemerdekaannya, ternyata kolonialisme itu terbukti masih nyata menindas masyarakat adat nagari Kubang Sawahlunto. Inilah "alkisah" Balando mintak tanah itu, ternyata masih bercokol menindas masyarakat adat nagari Kubang hingga kini.

Wallahu a'lam bisshawab
Keterangan gambar :
Surat balasan dari PTBA tanggal 27 Juli 2020 terhadap protes Tim Penyelesaian Tanah Ulayat dan Aset-aset Nagari Kubang Sawahlunto, atas pemasangan "palang hak milik" oleh PTBA di atas tanah ulayat masyarakat adat nagari Kubang Sawahlunto, seluas lebih kurang 350 ha di pusat kota Sawahlunto.
           
          

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)