Sosok Amir Jamin dimasa Penjajahan Jepang

Belanda menyerakan daerah kekuasaannya di Hindia Belanda  kepada Jepang melalui perjanjian Kali Jati tanggal 8 Maret 1942.  Sebelumnya sepanjang akhir 1940 dan awal 1941 sudah membombardir wilayah-wilayah penting di Sumatra. Kemudian Jepang mendarat di Sumatra dengan menerjunkan pasukan payungnya di Palembang Februari 1942. Tanpa perlawanan yg berarti akhirnya Belanda pun bertekuk lutut.Tanggal 17 Maret 1942 Jepang masuk ke daerah Sumatra  barat. Invasi Jepang di sumatra begitu cepat. Karena mereka sudah menguasai seluk beluk Sumatra  dan daerah-daerah di Hindia Belanda karena jauh sebelum invasinya ini Jepang sudah menebar agen-agen rahasianya terlebih dahulu untuk memetakan kondisi daerah-daerah yang akan mereka kuasai.

Sawahlunto termasuk dalam target penting Jepang karena terkenal dengan kota tambang penghasil batubara. Setelah menguasai Sawahlunto lalu nasib para pekerja tambang berkebangsaan Belanda ini tidak langsung mereka singkirkan. Inilah cerdiknya Jepang. Serdadu Jepang tetap mempekerjakan karyawan berkebangsaan Belanda karena mereka butuh keahliannya. Baru setelah Jepang benar-benar menguasai segala aspek di Tambang Batubara Ombilin itu maka orang-orang Belanda (Eropa) itu lalu mereka Tawan lalu dibuang ke kamp-kamp tawanan ( akhir 1943).

Sejak masa-masa awal Jepang masuk di Sawahlunto itu Amir Jamin sudah berada kembali di Sawahlunto setelah 7 tahun merantau. Saat itu ia baru pulang dari Metro Lampung. Pepatah Minang berbunyi "Karatau Madang di hulu babuah babungo balun. Marantau bujang dahulu dirumah baguno balun", benar-benar dia implementasikan. Setelah menimba ilmu dan pengalaman dirantau maka Sekarang saatnya memulai pengabdian ke kampung halaman.

Setiap perkembangan yg terjadi dari invasi Jepang ke Sumatra selalu dia ikuti. Tak terkecuali kampung halamannya Sawahlunto. Sebagai seorang  anak muda  (21 tahun) tapi sudah cukup banyak makan asam garam di perantauan tidaklah sulit baginya untuk membaca situasi dan perkembangan yang terjadi dari kampung halamannya.
 
Pada Oktober 1943 Jepang memerintahkan pembentukan Gyugun untuk membantu pertahanan mereka. Waktu itu pemerintahan militer pendudukan Jepang wilayah sumatra   yang terkenal dg tentara ke 25 sudah memindahkan markasnya besarnya dari Singapura  ke Bukitinggi ( 1 Mai 1943 ). 

Semboyan yg dikumandangkan oleh Sukarno dan orang-orang pergerakan sejak awal invasi Jepang ke Indonesia adalah bahwa "Jepang merupakan saudara tua yg akan membantu mewujudkan cita-cita kemerdekaan" maka sosok  Amir Jamin melihat ini sebagai peluang untuk ikut bergabung dengan Gyugun. Ilmu yg didapat selama masa masa pendidikan di kepolisian Belanda di Sukabumi akan berguna kembali dan bisa membantu memudahkannya dalam penerimaan sebagai siswa Gyugun yg seleksinya cukup ketat. Alhasil akhirnya Amir diterima sebagai seorang siswa perwira Gyugun angkatan pertama (1943).
          Dalam pembentukan Gyugun di Padang, Penguasa militer Jepang menggandeng para pemuka-pemuka Sumatra Barat sehingga didapat sebuah kompromi bahwa Gyugun adalah serdadu Jepang tetapi selama pendidikan mereka juga di persiapkan sebagai ujung tombak dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia. Kaum pergerakan Sumatra Barat sperti Chatib Sulaiman dll. tidak mau para siswa Gyugun ini dibiayai Jepang selama pendidikannya, tetapi siswa Gyugun dibiayai oleh masyarakat Sumatra Barat dengan cara iuran. Karena itu selama menjalani pendidikan di Gyugun itu, kaum pergerakan dan petinggi-petinggi Minangkabau berupaya menyelipkan pesan-pesan perjuangan kemerdekaan dan membentuk pribadi-pribadi yang mempunyai rasa nasionalisme yang tinggi.
          Dimasa-masa awal menjalani gemblengan Gyugun di Padang Amir Jamin mendapat banyak pengalaman baru. Suatu kali saat menjalani latihan di Kota Padang  para instruktur militer Jepang menantang siswa-siswa Gyugun ini untuk mengoperasikan meriam-meriam rampasan dari sekutu. Menurut Amir, sebenarnya serdadu-serdadu Jepang itupun belum bisa mengoperasikannya. Sebab meriam-meriam itu sudah memakai teknologi mutakhir dan semua petunjuknya berbahasa inggris. Termasuk bagaimana cara mengatur koordinatnya dan lain-lain. Seorang rekan Amir bernama Alwi Mustafa dengan berani mengangkat tangannya dan mengatakan dengan meyakinkan bahwa dia bisa mengoperasikan persenjataan itu. Namun naas baginya meriam itu meledak sebelum di luncurkan karena kesalahan teknis. Alwi Mustafa gugur dalam peristiwa itu. Tetapi adik Alwi Mustafa bernama Kemal Mustafa ikut mendaftarkan diri sebagai siswa Gyugun diangkatan berikutnya (1944), dan dia diterima. Kemal Mustafa akhirnya menjadi seorang perwira TNI yang disegani di Sumatra Barat.
           Beberapa waktu kemudian instruktur mereka kembali menantang siapa lagi yang berani mencoba. Amir Jamin pun kemudian mengangkat tangannya dan mengatakan dengan berbahasa Jepang yang fasih bahwa dia bisa mengoperasikan meriam itu, sehingga mengagetkan instrukturnya. Sebenarnya Amir telah mempelajari petunjuk operasionalnya, dan dia yakin bisa mengoperasikannya.Ternyata benar, Amir bisa mengoperasikannya dengan sukses dan memuaskan. Dalam suasana yg masih berduka, komandan mereka saat itu diam-diam memberikan aplaus kepada Amir. Sejak itu Amir Jamin pun di jadikan penerjemah atau juru bahasa sejak masa pendidikan itu hingga dimasa-masa tugas sebagai perwira Gyugun di Padang. Dalam masa pendidikan sebagai siswa Gyugun itu, hanya Amir Jamin lah satu-satunya yg punya latar belakang pendidikan militer (Sekolah kepolisia  Belanda Sukabumi 1937-1939). Tak heran disetiap pelajara baik teori maupun praktek, Amir Jamin selalu mendapat nilai terbaik. Penguasaan bahasa Jepang adalah hal lain kelebihan nya. Maka saat dilantik sebagai  perwira Gyugun itu Amir jamin mendapat prediket kelulusan terbaik berpangpakat cui (letnan satu) satu tingkat diatas kira-kira 30-an orang perwira-perwira angkatan pertama Gyugun dari pribumi lainnya yang berpangkat shoi (letnan dua). Cui adalah pangkat tertinggi yang pernah diberikan Jepang kepada siswa Gyugun di Sumatra. Setelah pelantikan itu para perwira ini kembali masuk pendidikan selama tiga bulan. Selesai pendidikan tambahan ini maka ada beberapa orang dari mereka yang mendapat promosi kenaikan pangkat menjadi cui (letnan satu). 
          Audrey Kahin didalam bukunya Perjuangan Kemerdekaan Sumatra Barat Dalam Revolusi Nasional Sumatra Barat 1945-1950, menulis bahwa, "Jumlah serdadu Gyugun di Sumatra Barat pada mulanya di perkirakan 1000 orang, dan jumlah paling tinggi barangkali adalah antara 1500 sampai 2000 orang. Sekitar Lima orang Indonesia, semua adalah angkatan pertama, sempat mencapai letnan satu sampai kejatuhan Jepang. Ada sekitar 30 sampai 40 orang yang mencapai pangkat letnan dua sampai pertengahan Agustus 1945 dan selebihnya ada kira-kira 80 orang yang berpangkat lebih rendah, yaitu Bintara". Menurut AmirJamin kelima Cui Gyugun itu adalah Amir Jamin, Ismail Lengah, Dahlan Djambek, Dahlan Ibrahim dan Sjarif Usman.
          Akhir pendudukan jepang di Indonesia secara operasional sebenarnya tejadi saat bom atom  dijatuhkan sekutu di Hiroshima dan Nagasaki ( 6 dan 9 Agustus 1945). Maka tanggal 14 Agustus 1945 praktis serdadu-serdadu Jepang diseluruh dunia diperintahkan oleh kaisarnya Hirohito agar menyerah. Tanggal 14 Agustus 1945 itu pimpinan tertinggi tentara Jepang datang ke Padang lalu mengumpulkan semua serdadu mereka yang kebetulan sedang berada di markas mereka di Padang. Jendral itu berdiri di panggung didampingi oleh Amir Jamin sebagai juru bahasanya. Saat itulah Jendral itu mengumumkan bahwa  perang telah selesai. Amir Jamin lalu menerjemahkannya kedalam bahasa Indonesia setiap apa yang dispaikan Jendral itu yang didengar oleh seluruh serdadu Jepang yang ada di markas itu, baik serdadu Jepang sendiri maupun yang dari pribumi. Jendral itu juga mengatakan bahwa serdadu-serdadu yang dari pribumi silahkan pulang ke kampung masing-masing.

Namun ketika sang jendral selesai berpidato maka Amir Jamin sebagai jurubahasa yang berdiri dipanggung di sampingnya bertanya kepada jendral itu. Dua hal yg ditanyakan Amir Jamin saat itu yaitu: "  Jadi bagaimana nasib kami ini ( serdadu pribumi )  selanjutnya jendral?". Sang jendral menjawab : " Terserah !". Kemudian Amir kembali bertanya : " Kalau begitu Indonesia boleh merdeka, Jendral?". Kembali sang Jendral menjawab tegas : "Terserah !". Dari situlah Amir berpikir inilah saatnya kita merdeka sesuai dengan jargon yang selalu dikatakan Bung Karno. 

Saat sebelum pulang ke daerah masing-masing maka Amir Jamin, Ismail Lengah dan Dahlan Djambek berkumpul dan sepakat akan mengumpulkan pemuda didaerah masing-masing sambil terus memantau keadaan serdadu Jepang dan akan bertindak sesuai perkembangan dilapangan. Tanggal 15 Agustus Amir Jamin pulang ke Sawah lunto.

Sesampainya di Kubang Sawahlunto Amir melihat bendera Jepang masih berkibar di batu tajam kenagarian Kubang Sawahlunto. Tempatnya tak jauh dari halaman rumahnya. Hanya kira-kira 75 meter saja. Di tempat bendera itu berkibar ada bangunan lapau (warung) ayahanya persis di pinggir jalan. Warung itu adalah tempat berhenti dan istirahat orang-orang Kubang, lunto, Lumindai dan kajai kalau pergi ke pasar Sawahlunto. Jalanan itu akan lebih ramai di hari-hari pakan (hari pasar) Sawahlunto yakni hari Rabu dan Sabtu. Warung itu ibaratnya adalah Alun-alun nya Batu Tajam Nagari Kubang Sawahlunto waktu itu.

Dilantai dua warung itu adalah asrama pemuda Batu Tajam. Bila malam tempat itu adalah tempat para pemuda berkumpul dan tidur. Di Minangkabau jaman dulu adalah suatu kejanggalan kalau seorang anak muda selalu tidur dirumah. Boleh dikatakan aib didalam adat apabila anak muda Minang selalu tidur dirumahnya apalagi bila dia sudah punya sumando ( ipar / suami dari kakak atau adik perempuan). 

Malam itu spontan saja Amir langsung mengumpulkan para pemuda  dan teman-temannya lalu mengatakan bahwa Jepang sudah kalah dan kita sudah Merdeka.  Malam itu disusun rencana dan besoknya tanggal 16 Agustus 1945 bertepatan setelah 24 tahun usianya ( lahir 14 Agustus 1921 ) merekapun menurunkan bendera Hinomoru dan menaikkan bendera Merah Putih dengan upacara sederhana. Walau dilakukan dengan sederhana namun Amir tetap memberikan latihan baris berbaris secara singkat kepada para pemuda itu.

Para pemuda di kenagarian Kubang sangat percaya dan antusias dengan kabar dari Amir Jamin karena dia adalah seorang perwira Jepang dan selama ini juga merupakan panutan mereka. Bagi mereka mengibarkan bendera Merah Putih di samping bendera Hinomoru sudah pernah dilakukan di tahun pertama pendudukan jepang di Sawahlunto. Waktu awal pendudukan Jepang hal itu di perbolehkan oleh pihak Jepang karena Jepang adalah "saudara tua" yg akan membantu cita-cita kemerdekaan Indonesia. Namun belakangan Jepang melarang Merah Putih itu berkibar disamping bendera mereka. Malahan siapa yg menentangnya maka akan diberi sangsi berat.

Ternyata peristiwa di Batu Tajam siang itu menggema keseluruh penjuru nagari-nagari sekitar. Para Pemuda dan masyarakat sudah lama menunggu-nunggu hari kemenangan itu. Begitu pedihnya penderitaan masyarakat selama pendudukan Jepang walau hanya selama tiga tahun lebih. Sekarang, hari itu akhirnya datang juga.

Peristiwa adanya penaikan bendera Merah Putih dan issu Indonesia sudah merdeka itu langsung disambut oleh para pemuda di nagari-nagari sekitar Kubang.
Beberapa orang pemuda dari Silungkang langsung datang ke Kubang hari itu juga dan menyakan kebenaran berita itu langsung kepada Amir. Setelah itu mereka kembali ke Silungkang dan menyampaikan kabar gembira ini kepada masyarakat Silungkang. Berita itu jg akhirnya sampai ke Nagari Lunto, Padang Sibusuk dan lain-lain. Di Sawahlunto berita itu juga disambut dengan suka cita oleh pemuda sehingga ada beberapa pemuda yang dipimpin oleh Karnelis yang berkeliling disekitar pemukiman warga di tanah lapang dan tangsi sambil meneriakkan yel-yel kemerdekaan.

Tanggal 18 Agustus 1945 Amir Jamin mengumpulkan para pemuda dari berbagai nagari itu untuk mengadakan rapat umum secara diam-diam. Seperti sebuah gerakan bawah tanah lalu membentuk sebuah kepengurusan kepemudaan sebagai bentuk kesiapan para pemuda untuk ikut dalam barisan perjuangan kemerdekaan Indonesia. Dari sinilah cikal bakal terbentuknya BKR di Sawahlunto dibawah kepemimpinan Amir Jamin. 

Apa yang dilakukan Amir Jamin di Sawahlunto dalam hal rapat umum pemuda tanggal 18 Agustus 1945 ternyata sama dengan apa yang dilakukan temannya Ismail Lengah ( teman sesama Gyugun ) di Padang. Yaitu mengadakan rapat pemuda juga. Namun bedanya Ismail Lengah membentuk Badan Penerangan Pemuda Indonesia (BPPI) yang bertujuan membentuk sebuah badan kepemudaan untuk menyebarkan informasi ke masyarakat agar tidak terjadi simpang siur mengenai informasi kemerdekan 17 Agustus 1945.

 Di Sawahlunto informasi mengenai proklamasi kemerdekaan itu tak perlu diberitakan lagi oleh pemuda karena adanya peristiwa penaikan bendera merah putih tanggal 16 Agustus 1945 menjadikan peristiwa itu bagaikan suara tabuh ( bedug) yg bersahut-sahutan dari nagari ke nagari. Masyarakat sudah mencari tahu sendiri tentang proklamasi itu.
Sehingga rapat pemuda di Sawahlunto yang digagas Amir Jamin tanggal 18 Agustus 1945 itu lebiih kepada rencana pembentukan semacam Badan Keamanan Rakyat. Pemuda yang digerakkan oleh Amir Jamin di Sawahlunto adalah pemuda Nagari. Lebih kurang sebelas nagari disekitar Sawahlunto ikut andil dalam pembentukan BKR ini. Setelah itu berduyun-duyun pemuda dari berbagai nagari di Sawahlunto Sijunjung sampai Dharmasraya sekarang dan sebagian Solok ikut bergabung bersama BKR Sawahlunto.

Sesuatu yang dilakukan secara spontan oleh Amir Jamin dan Ismail Lengah di Sawahlunto dan Padang ini merupakan wujud komitmen mereka sebagai sesama Cui Gyugun sesaat sebelum dipulangkan dari kedinasan kedaerah masing-masing oleh pimpinan mereka  di Gyugun Padang tanggal 14 Agustus 1945 itu. Inilah bukti bahwa perwira-perwira besutan Gyugun di Padang ini adalah pejuang-pejuang yang tangguh  dan pelopor-pelopor pembentukan embrio TNI di Sumatra Tengah. Sejarah juga membuktikan bahwa Divisi Banteng besutan mantan-mantan Gyugun di Padang ini adalah yang terbaik dalam perjuangan mempertahankan kemerdekaan saat Agresi Belanda di Sumatra.

Kepengurusan yang digagas Amir Jamin di Sawahlunto Tanggal 18 Agustus 1945 akhirnya benar-benar menjadi pengurus BKR Sawahlunto setelah Sukarno (23 Agustus 1945) menyerukan pembentukan BKR di daerah-daerah.

Adapun susunan pengurus BKR Sawahlunto adalah sebagi berikut:
- Ketua                               : Amir Jamin
- Wakil Ketua                     : Harun Rajo
                                             Sampono
- Seksi Kota Sawahlunto. : Karnelis
- Seksi Kolok, Talawi dan 
  Sijantang.                         : Bur Yusuf
- Seksi Padang Sibusuk
   Batumanjulur dan 
    Pamuatan.                      : Mak Illa
- Seksi Muaro Bodi dan
   Palangki                          : H. Mardani
- Seksi Silungkang.           : Agusmar dan                                                   Alibi
- Seksi Kubang dan Lunto : Amir Jamin 

Bagi sosok Amir Jamin peristiwa ini baru sebagian dari beberapa hal yang sudah beliau perbuat dengan ikhlas buat negara dan buat kota kecil kelahirannya. Masih ada hal-hal lain yang semuanya hilang dalam catatan sejarah. Tulisan-tulisan ini merupakan upaya merangkai serpihan-serpihan yang tercecer dalam bingkai sejarah Indonesia  khususnya Sumatra Barat dan Sawahlunto.

Wallahu a'lam bisshawab

Kapten Amir Jamin Dt. Rajo Nan Sati dan keluarga di jemabatan Jamatar Batu Tajam tahun 1975.


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Perang Tahun 1908 (Perang Belasting) di Sawahlunto

Sejarah JALAN PERJUANGAN di Nagari Kubang Sawahlunto (Batutajam - Lughajuai - Sawahlunto)

IBUK (Kisah Istri Seorang Prajurit)